Praktisi: Kalau HTI Dibawa ke Pengadilan Pemerintah Pasti Kalah

Senin, 10 Juli 2017 | 18:21 WIB

Anggota Hizbut Tahrir Indonesia menolak penyelenggaraan kontes Miss World dengan berunjuk rasa di Kota Bandung, 4 September 2013. Indonesia menjadi tuan rumah kontes kecantikan dunia Miss World untuk pertama kalinya di Bali dan Bogor pada 1-14 September.AFP PHOTO / TIMUR MATAHARI Anggota Hizbut Tahrir Indonesia menolak penyelenggaraan kontes Miss World dengan berunjuk rasa di Kota Bandung, 4 September 2013. Indonesia menjadi tuan rumah kontes kecantikan dunia Miss World untuk pertama kalinya di Bali dan Bogor pada 1-14 September.

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah dinilai perlu hati-hati dalam merealisasikan wacana pembubaran ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dianggap berideologi anti-Pancasila.

Praktisi hukum sekaligus pengacara, Saleh mengatakan, tidak dipungkiri posisi pemerintah sangat lemah jika upaya pembubaran HTI dilakukan melalui jalur pengadilan.

Mengacu pada pernyataan Juru Bicara HTI Ismail Yusanto, pemerintah belum menjalankan mekanisme pembubaran ormas berbadan hukum yang diatur dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas).

"Kalau dibawa ke pengadilan (pemerintah) pasti kalah. Sanksi administratif tidak pernah dilakukan sebagaimana pernyataan Jubir HTI. Hukum acaranya sendiri belum ditempuh oleh pemerintah. Maka jelas akan ditolak kalau diajukan ke pengadilan," ujar Saleh dalam sebuah diskusi bertajuk 'Pembubaran HTI dan Amanat Konstitusi Kita' di gedung PBNU, Jakarta Pusat, Senin (10/7/2017).

 

(baca: 14 Ormas Islam Desak Pemerintah Percepat Pembubaran HTI)

Meski demikian, lanjut Saleh, masih ada langkah-langkah yang bisa ditempuh untuk mempercepat pembubaran HTI.

Pertama, pemerintah bisa menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu.

Namun, cara itu dinilai memerlukan upaya ekstra. Sebab, pemerintah harus mampu melobi DPR agar menyetujui Perppu tersebut.

"Perppu butuh lobi dengan DPR agar menyetujui," tuturnya.

(baca: Yusril Yakin HTI Bakal Menang Melawan Pemerintah)

Jika upaya penerbitan Perppu tidak juga berhasil, maka organisasi kemasyarakatan yang selama ini mendesak pembubaran HTI seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Gerakan Pemuda Ansor harus berperan dalam mendesak pemerintah.

Menurut Saleh, masyarakat bisa mengajukan gugatan kepada pemerintah melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) agar menjalankan mekanisme yang diatur dalam UU Ormas, mulai dari pemberian surat peringatan hingga surat penghentian sementara.

"Apa yang bisa dilakukan masyarakat? Bisa dengan kirim surat ke pemerintah, jika selama 10 hari tidak diindahkan, maka bisa ajukan ke PTUN dan memaksa pemerintah mengeluarkan surat peringatan seperti diatur dalam UU Ormas," kata Saleh.

(baca: Pemerintah Pilih Jalur Cepat Bubarkan HTI )

Sanksi pembubaran ormas diatur dalam Pasal 60 sampai Pasal 82 UU Ormas. Pembubaran ormas berbadan hukum harus melalui beberapa tahapan, yaitu pemberian sanski administratif.

Bentuknya tiga kali peringatan tertulis.

Disebutkan dalam Pasal 64, jika surat peringatan ketiga tidak digubris, pemerintah bisa menghentikan bantuan dana dan melarang sementara kegiatan mereka selama enam bulan. 

Dengan catatan, jika ormas tersebut berskala nasional, harus ada pertimbangan Mahkamah Agung.

Namun, jika sampai 14 hari tidak ada balasan dari Mahkamah, pemerintah punya wewenang menghentikan sementara kegiatan mereka.

Dalam Pasal 68, jika ormas masih berkegiatan padahal sudah dihentikan sementara, pemerintah bisa mencabut status badan hukum mereka, asal mendapat persetujuan dari pengadilan.

Kompas TV Koalisi menyebut ada calon anggota Komnas HAM menjadi simpatisan Hizbut Tahrir Indonesia yang dilarang pemerintah.




Penulis : Kristian Erdianto
Editor : Sandro Gatra