Kritik Wiranto, Setara Punya Alasan Tolak TNI Ikut Berantas Terorisme

Senin, 29 Mei 2017 | 12:36 WIB

KOMPAS.com/Abba Gabrillin Ketua Setara Institute Hendardi, seusai konferensi pers di Kantor Setara, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Rabu (4/3/2015).

JAKARTA, KOMPAS.com - Setara Institute mengkritik pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto yang menepis kekhawatiran atas usulan keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme.

Ketua Setara Institute, Hendardi, mengatakan, usul ini mengancam akuntabilitas sistem peradilan pidana terorisme.

"Ini usulan yang membahayakan bagi akuntabilitas sistem peradilan pidana terorisme dan berpotensi menggeser pendekatan hukum menjadi pendekatan militer dalam pemberantasan terorisme," kata Hendardi, melalui keterangan tertulis, Senin (29/5/2017).

Hendardi mengatakan, meski mendukung pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan revisi Rancangan Undang-Undang Anti-terorisme, Setara mengingatkan, agar percepatan pengesahan RUU itu tidak mengubah pendekatan pemberantasan terorisme dari sistem peradilan pidana menjadi pendekatan non hukum.

"Terorisme adalah kejahatan yang hanya bisa diberantas dengan pendekatan hukum dengan kewenangan preventif yang lebih luas jangkauannya," ujar Hendardi.

Baca: Polri Anggap Upaya Pencegahan Terorisme Masih Lemah

Setara menilai, gagasan memasukkan TNI sebagai aktor dalam pemberantasan terorisme dipastikan akan keluar dari mekanisme sistem peradilan pidana terpadu.

Sebab, TNI bukanlah aparat penegak hukum yang bertugas memberantas kejahatan, termasuk kejahatan terorisme.

"Pelibatan TNI dalam RUU Anti-terorisme harus tetap dalam skema perbantuan sebagai tugas operasi militer selain perang, yang mekanismenya diatur dengan UU Perbantuan Militer," kata Hendardi.

Selain itu, ia menilai, pelibatan TNI sebagai penegak hukum atas kejahatan terorisme akan melemahkan akuntabilitas pemberantasan terorisme karena tidak adanya kontrol sistemik yang melekat dalam sistem peradilan pidana terpadu bagi TNI.

"Sebaiknya fokus utama revisi RUU Anti-terorisme adalah pada penguatan kewenangan pre-trial bagi aparat kepolisian dan intelijen," kata dia.

Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto meminta revisi UU Terorisme tidak dimaknai akan disalahgunakan.

Meski, ada beberapa pihak khawatir revisi UU Terorisme tersebut berpotensi memunculkan pelanggaran HAM.

Terlebih dengan usulan masuknya kewenangan TNI dalam Revisi Undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme.

"Undang-Undang ini bukan ditujukan ke masyarakat sipil secara umum, tapi betul-betul ditujukan ke terorisme dan jaringannya. Kami akan menjamin itu," ujar Wiranto, seusai rapat koordinasi terbatas di kantor Kemenkopolhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Jumat (26/5/2017).


Penulis : Moh. Nadlir
Editor : Inggried Dwi Wedhaswary