Pemerintah Tak Ingin UU Anti-Terorisme seperti "Internal Security Act"

Minggu, 28 Mei 2017 | 20:15 WIB

KOMPAS.com/HENDRIK YANTO HALAWA Menkumham Yasonna H Laoly, meminta seluruh peserta aksi 1000 Lilin NKRI Harga Mati tetap berlangsung kondusif dan tidak menimbulkan hal yang tidak diinginkan.

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan, revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bukan untuk menerapkan internal security act (ISA).

Konsep ISA banyak digunakan di sejumlah negara, di antaranya Malaysia dan Singapura, yang menerapkan kebijakan keras untuk memerangi terorisme.

"(Revisi UU Anti-Terorisme) tidak sampai separah itu. Kalau kita melihat Singapura dan Malaysia, itu kan sangat represif," kata Yasonna saat ditemui di Rumah Sakit Premier Jatinegara, Jakarta Timur, Minggu (28/5/2017).

(baca: Kepala BIN: Jangan Biarkan Indonesia seperti Irak dan Suriah)

Menurut Yasonna, revisi UU Anti-Terorisme yang masih dalam pembahasan di DPR ini lebih kepada memberi ruang bagi aparat penegak hukum untuk mengantisipasi tindak pidana terorisme.

Berdasarkan UU saat ini, polisi hanya berwenang menindak ketika tindak pidana terorisme sudah terjadi.

"Mungkin kita tidak seperti yang dilakukan di Malaysia, tetapi paling tidak ada perbaikan untuk penegak hukum mengambil langkah pencegahan agar tidak terjadi tindak terorisme," tutur Yasonna.

(baca: UU Terorisme Harus Jerat Orang yang Bergabung dengan Kelompok Teroris)

Perihal pertanyaan mengenai penerapan ISA melalui revisi UU Anti-Terorisme sebelumnya sudah dibahas oleh Menko Polhukam Wiranto.

Saat itu Wiranto memastikan, ISA tidak akan diterapkan karena revisi UU Anti-Terorisme akan fokus pada teroris dan jaringannya, sehingga tidak menyasar dan melanggar HAM warga sipil.

Adapun model ISA yang dimaksud mirip seperti Undang-Undang Subversif yang sudah dihapuskan di Indonesia.

Menurut Wiranto, revisi UU Anti-Terorisme bukan berarti akan mengembalikan ke pola lama atau cara keras seperti yang masih dipakai di beberapa negara yang dia maksud.

"Tentu kita tidak seekstrem itu, tapi kalau ada indikasi penggunaan-penggunakan atribut yang menjurus pada radikalisme, ujaran-ujaran kebencian yang menjurus pada radikalisme, ajakan-ajakan latihan-latihan yang menjurus ke sana, harus bisa ditangkap, diatasi dulu," ujar Wiranto pada Jumat (26/5/2017).


Penulis : Andri Donnal Putera
Editor : Sandro Gatra