MK: Permohonan Uji Materi Setya Novanto Terkait UU KPK Tak Relevan

By Kristian Erdianto - Rabu, 21 Februari 2018 | 12:11 WIB
Terdakwa kasus korupsi pengadaan KTP elektronik Setya Novanto menjalani sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (8/2/2018). Sidang lanjutan itu beragenda mendengarkan keterangan saksi dari Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum.
Terdakwa kasus korupsi pengadaan KTP elektronik Setya Novanto menjalani sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (8/2/2018). Sidang lanjutan itu beragenda mendengarkan keterangan saksi dari Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum. (KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG)

JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan permohonan uji materi yang diajukan mantan Ketua DPR, Setya Novanto, terkait Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) tidak dapat diterima.

Pasal tersebut mengatur mengenai kewenangan KPK memerintahkan instansi terkait pelarangan ke luar negeri dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

"Pokok permohonan tidak dipertimbangkan. Mahkamah menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," ujar Ketua MK Arief Hidayat dalam sidang pembacaan putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (21/2/2018).

Baca juga: MK Nyatakan Tak Menerima Uji Materi UU KPK yang Diajukan Setya Novanto

Permohonan Novanto berawal saat KPK mengeluarkan permintaan kepada pihak Imigrasi terkait pencegahan Novanto ke luar negeri pada 10 April 2017 dan 3 Oktober 2017.

Saat itu, Novanto belum berstatus tersangka dan masih menjalani proses penyidikan.

Suasana sidang pembacaan putusan permohonan uji materi yang diajukan oleh Setya Novanto di gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (21/2/2018).
Suasana sidang pembacaan putusan permohonan uji materi yang diajukan oleh Setya Novanto di gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (21/2/2018). (KOMPAS.com/KRISTIAN ERDIANTO)

Kuasa hukum Novanto, Fredrich Yunadi, menilai, pencegahan seseorang ke luar negeri tanpa penetapan status hukum atas suatu tindak pidana telah menghilangkan hak dan kebebasan warga negara.

Dalam pertimbangan hukumnya, MK berpendapat bahwa Novanto dapat mendalilkan permohonan tersebut dengan anggapan telah mengalami kerugian konstitusional.

Namun, menurut MK, Novanto telah kehilangan relevansinya untuk mempermasalahkan adanya anggapan telah mengalami kerugian konstitusional.

Baca juga: KPK: Wewenang Usut Korupsi Pihak Swasta Tak Perlu Sampai Revisi UU KPK

Alasannya, permohonan tersebut diajukan setelah status Novanto telah menjadi tersangka.

"Mahkamah membaca dengan cermat permohonan a quo ternyata permohonan Pemohon diajukan setelah status Pemohon menjadi tersangka, bahkan saat ini telah berstatus menjadi terdakwa yang sedang menjalani sidang pada Pengadilan Tipikor Jakarta," kata Hakim Suhartoyo saat membacakan pertimbangan hukum.

"Mahkamah berpendapat Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum selaku Pemohon dalam permohonan pengujian Undang-Undang a quo," ujar Suhartoyo.

Kompas TV Menurut tim pembela advokasi, laporan ini sebagai tindak lanjut laporan SBY kepada Firman Wijaya yang dilayangkan pekan lalu.



Editor : Inggried Dwi Wedhaswary
Artikel Terkait


Close Ads X