Cegah Kejahatan Laut, Pemerintah Disarankan Susun Indeks Warna dan Nomor Seri Kapal

Jumat, 6 April 2018 | 07:00 WIB

Dekan Fakultas Manajemen Pertahanan Universitas Pertahanan Laksda TNI Amarulla Octavian di Hotel Borobudur, Kamis (5/4/2018). DYLAN APRIALDO RACHMAN/KOMPAS.com Dekan Fakultas Manajemen Pertahanan Universitas Pertahanan Laksda TNI Amarulla Octavian di Hotel Borobudur, Kamis (5/4/2018).

JAKARTA, KOMPAS.com - Dekan Fakultas Manajemen Pertahanan Universitas Pertahanan, Laksda TNI Amarulla Octavian, menyarankan pemerintah untuk menyusun indeks warna dan registrasi nomor seri pada kapal-kapal di Indonesia.

"Jadi setiap provinsi nanti harus ada warnanya, kemudian ada nomor serinya. Dari jauh nanti kita sudah lihat, bahwa ini kapal dari provinsi mana dari wilayah mana," ujar Amarulla di Hotel Borobudur, Kamis (5/4/2018).

Ia mengungkapkan, langkah itu memudahkan aparat hukum dalam melakukan pengawasan di lapangan akan potensi tindak pidana di laut. Selain itu, kedua hal itu juga bisa mendeteksi keberadaan kapal ilegal masuk ke wilayah perairan Indonesia.

"Ya ini juga untuk mencegah masuknya kapal ilegal. Kalau semua tertib otomatis ada kapal yang tidak diketahui ya kita semua alert," kata Amarulla.

Amarulla mencontohkan, kedua langkah itu telah diterapkan di sejumlah negara.

(Baca juga: TNI Ingin Tegas Tertibkan Kapal Ilegal, tetapi...)

Ia mengungkapkan, kapal Indonesia yang mendekati wilayah perairan negara lain sering dianggap melakukan usaha penyerangan. Karena, kapal tersebut tak memiliki indeks warna maupun nomor seri dari negara asal.

Dengan demikian, kedua langkah itu juga untuk memperkuat identitas kapal-kapal Indonesia.

"Yang registrasi laut itu untuk kapal dalam negeri, baik itu kapal nelayan tradisional di bawah 5 ton, di atas 5-10 ton sampai yang besar," kata dia.

Selain itu, kedua langkah itu akan memudahkan para nelayan Indonesia untuk mengawasi adanya kapal-kapal ilegal.

"Nelayan dan awak kapal lainnya akan jadi perpanjangan tangan aparat keamanan begitu ada yang enggak sesuai dia akan kasih tahu," kata dia.

Membayar pajak

Selain itu, pemerintah juga disarankan menerapkan pajak yang hanya dibayarkan sekali saja oleh pemilik kapal. Adapun besaran pajak menyesuaikan dengan ukuran kapal Namun, Amarulla juga mengakui bahwa saran ini bisa saja dianggap menyulitkan.

"Mungkin akan dilihat menyulitkan. Tapi seperti sekarang aturan yang berjalan, kalau sudah dipahami dan dirasakan manfaatnya ya berarti bisa berjalan dengan aman," kata dia.

Pajak tersebut, nantinya juga berlaku bagi kapal-kapal internasional yang memasuki wilayah perairan Indonesia. Pemerintah bisa menentukan gerbang-gerbang masuk bagi kapal internasional.

"Jadi sama kayak jalan tol kita siapkan infrastrukturnya baru orang lewat baru bayar. Nah sama dengan perairan Indonesia, kita tetapkan dulu pintu masuknya di mana, kapal (internasional) yang lewat bisa dimonitor, dan bayar pajaknya," ujar Amarulla.

 

(Baca juga: Menteri Susi: Sejak 2014, 363 Kapal "Illegal Fishing" Ditenggelamkan)

Menurut dia, pajak itu juga bisa memberikan jaminan kepada pihak negara asal bahwa Indonesia bisa melindungi kapal-kapal tersebut selama di perairan Indonesia. Langkah ini juga bisa menghalau masuknya kapal-kapal asing yang berpotensi melakukan tindak pidana di laut Indonesia.

"Aturannya yang berlaku di internasional, itu kewajiban negara pantai untuk menjamin keselamatan. Keselamatannya juga untuk diri kita dan juga negara," ucap Amarulla.

Amarulla mengungkapkan, ketiga rencana ini masih harus dikembangkan lebih lanjut demi mewujudkan keadilan dan keamanan di laut Indonesia. Saat ini, tim Universitas Pertahanan telah menyerahkan penelitian rencana kebijakan itu kepada Kementerian Pertahanan.

"Kami sampaikan mekanismenya kepada pimpinan yakni Kemhan. Nanti akan dibahas lagi sama pimpinan. Ini belum dilaksanakan, kita melaksanakan penelitian itu, di banyak negara sudah jadi praktik yang umum," kata dia.

Kompas TV Kapal pengawas Kementerian Kelautan dan Perikanan RI kembali mendapati kapal ilegal memasuki perairan Indonesia.




Penulis : Dylan Aprialdo Rachman
Editor : Bayu Galih