Bertambah Dua Tersangka, Ini Daftar Mereka yang Terjerat Kasus e-KTP

By Robertus Belarminus - Kamis, 1 Maret 2018 | 12:39 WIB
Ilustrasi: e-KTP yang telah selesai dicetak, Kamis (30/8/2012).
Ilustrasi: e-KTP yang telah selesai dicetak, Kamis (30/8/2012). (KOMPAS/WISNU WIDIANTORO)

JAKARTA, KOMPAS.com - Daftar mereka yang terjerat kasus korupsi pada proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) kini bertambah.

Komisi Pemberantasan Korupsi, Rabu (1/3/2018), menetapkan dua orang lagi sebagai tersangka kasus tersebut.

Dengan demikian, sudah ada delapan orang yang terjerat kasus korupsi yang merugikan negara Rp 2,3 triliun tersebut.

(Simak VIK Jejak Korupsi e-KTP)

'Pendatang baru' yang terjerat dalam kasus korupsi proyek e-KTP ini ialah pengusaha Made Oka Masagung dan mantan Direktur PT Murakabi Sejahtera Irvanto Hendra Pambudi Cahyo.

Made Oka Masagung saat bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (22/1/2018).
Made Oka Masagung saat bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (22/1/2018). (KOMPAS.com/ABBA GABRILLIN)

1. Made Oka

Made Oka diduga menjadi perantara jatah proyek e-KTP sebesar 5 persen bagi Setya Novanto melalui kedua perusahaan miliknya.

Total dana yang diterima Made Oka berjumlah 3,8 juta dollar AS yang diteruskan kepada Novanto.

Pertama, perusahaan OEM Investment menerima 1,8 juta dollar AS dari Biomorf Mauritius, perusahaan asing yang menjadi salah satu penyedia produk biometrik merek L-1.

Produk tersebut digunakan dalam proyek e-KTP. Kemudian melalui rekening PT Delta Energy sebesar 2 juta dollar AS.

Peran Made Oka Masagung mulai terungkap dalam persidangan kasus e-KTP. Dalam persidangan, nama Made Oka disebut-sebut sebagai orang dekat Setya Novanto.

Menurut keterangan terdakwa Andi Agustinus alias Andi Narogong, Setya Novanto meminta jatah uang untuk dirinya dan anggota DPR diberikan melalui Made Oka.

Dalam catatan perbankan yang disita KPK, Made Oka pernah menerima 6 juta dollar AS dari pihak-pihak yang terkait dengan proyek pengadaan e-KTP. Padahal, mantan bos Gunung Agung itu tidak mengikuti proyek e-KTP.


 

Mantan Direktur PT Murakabi Sejahtera, Irvanto Hendra Pambudi, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (27/4/2017).
Mantan Direktur PT Murakabi Sejahtera, Irvanto Hendra Pambudi, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (27/4/2017). (KOMPAS.com/ABBA GABRILLIN)

2. Irvanto Hendra Pambudi

Keponakan Novanto itu diduga menjadi peratara suap bagi Mantan Ketua DPR itu.

Irvanto diduga menerima total 3,5 juta dollar AS pada periode 19 Januari 2012 sampai 19 Februari 2012 yang diperuntukkan bagi Novanto.

Uang tersebut merupakan fee sebesar 5 persen untuk mempermudah pengurusan anggaran e-KTP.

Irvanto diduga sejak awal mengikuti proses pengadaan e-KTP melalui perusahaannya, yakni PT Murakabi Sejahtera.

Dia juga ikut beberapa kali dalam pertemuan di Ruko Fatmawati bersama tim penyedia barang proyek e-KTP.

Irvanto diduga mengetahui adanya permintaan fee sebesar 5 persen untuk mempermudah pengurusan anggaran e-KTP.

Keikutsertaan Irvan dalam proyek e-KTP diawali undangan yang ia terima untuk berkumpul di Ruko Fatmawati.

Ruko tersebut milik Vidi Gunawan, yang merupakan adik kandung pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong.

Di Ruko tersebut berkumpul sejumlah pengusaha di bidang percetakan. Dalam pertemuan itu dibahas soal rencana pekerjaan berupa pengadaan KTP nasional.

Dalam prosesnya, menurut Irvan, ia dan beberapa perusahaan bersatu membentuk Konsorsium Murakabi dan mengikuti lelang proyek e-KTP yang diadakan Kementerian Dalam Negeri.

Konsorsium Murakabi menjadi satu dari tiga konsorsium dalam lelang. Dua lainnya, yakni Konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) dan Konsorsium Astragraphia.

Salah satu anggota Tim Fatmawati yang pernah bersaksi di pengadilan, Jimmy Iskandar Tedjasusila alias Bobby mengatakan, Konsorsium PNRI memang disiapkan untuk menjadi pemenang lelang.

Sementara, konsorsium Astragraphia dan Murakabi hanya sebagai konsorsium pendamping lelang.

Terpidana kasus korupsi KTP Elektronik Sugiharto menaiki tangga menuju ruang pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Selasa (10/10). Sugiharto diperiksa sebagai saksi dalam kasus korupsi KTP Elektronik dengan tersangka Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/kye/17.
Terpidana kasus korupsi KTP Elektronik Sugiharto menaiki tangga menuju ruang pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Selasa (10/10). Sugiharto diperiksa sebagai saksi dalam kasus korupsi KTP Elektronik dengan tersangka Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/kye/17. (ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN)

3. Sugiharto

Mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri itu merupakan tersangka awal kasus e-KTP.

Pada 22 April 2014, dia ditetapkan tersangka oleh KPK. Menurut jaksa KPK, Sugiharto terlibat dalam pemberian suap terkait proses penganggaran proyek e-KTP di DPR RI, untuk tahun anggaran 2011-2013.

Dia kemudian dituntut 5 tahun penjara. Ia juga dituntut membayar denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan.

Sugiharto kemudian divonis 5 tahun penjara dan membayar denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan. Sugiharto terbukti diperkaya sebesar 50.000 dollar AS.

Ia diwajibkan membayar uang pengganti 50.000 dollar AS dikurangi 30.000 dollar AS dan dikurangi satu unit Honda Jazz senilai Rp 150 juta.

Dalam kasus e-KTP, Sugiharto menjadi justice collaborator. Dia dinilai mau mengakui kesalahan dan bersedia mengungkap peran pelaku lain yang terlibat dalam kasus ini.


 

Dua terdakwa mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (12/7/2017).
Dua terdakwa mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (12/7/2017). (KOMPAS.com/ABBA GABRILLIN)

4. Irman

Berikutnya ialah mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Irman. Dia menjadi tersangka pada 30 September 2016 lalu.

Menurut jaksa, bersama-sama dengan Sugiharto, Irman terlibat dalam pemberian suap terkait proses penganggaran proyek e-KTP di DPR RI, untuk tahun anggaran 2011-2013.

Oleh jaksa, Irman dituntut 7 tahun penjara dan membayar denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan.

Hakim kemudian memvonis 7 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan kepada Irman. Ia terbukti diperkaya sebesar 500.000 dollar AS.

Irman diwajibkan membayar uang pengganti sebesar 500.000 dollar AS dikurangi 300.000 dollar AS dan Rp 50 juta.

Terdakwa Andi Agustinus alias Andi Narogong menjalani sidang lanjutan kasus korupsi KTP Elektronik di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (6/11/2017). Sidang lanjutan mengagendakan mendengarkan keterangan dua saksi kasus korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP). KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG
Terdakwa Andi Agustinus alias Andi Narogong menjalani sidang lanjutan kasus korupsi KTP Elektronik di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (6/11/2017). Sidang lanjutan mengagendakan mendengarkan keterangan dua saksi kasus korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP). KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG (KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG)

5. Andi Narogong

Andi Agustinus atau yang dikenal sebagai Andi Narogong merupakan pengusaha pelaksana proyek e-KTP.

Dia ditetapkan sebagai tersangka pada 23 Maret 2017, dan menjadi tersangka ketiga pada kasus e-KTP.

Dia dituntut delapan tahun penjara dan membayar denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.

Pada 21 Desember 2017, Andi divonis delapan tahun penjara oleh majelis hakim pada Pengadilan Tipikor Jakarta.

Andi diwajibkan membayar denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan. Selain itu, Andi juga dikenai pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti yang dihitung dari nilai hasil korupsi.

Dalam putusan, Andi wajib membayar 2,5 juta dollar AS dan Rp 1,1 miliar. Uang pengganti itu dikurangi uang yang telah diserahkan Andi kepada KPK sebesar 350.000 dollar AS.

Menurut majelis hakim, uang pengganti harus dibayar minimal satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Jika tidak, harta benda milik Andi akan disita dan dilelang.

Namun, apabila jumlah harta tidak mencukupi, akan diganti dengan pidana penjara selama 2 tahun.

Andi terbukti terlibat dalam pemberian suap terkait proses penganggaran proyek e-KTP di DPR RI, untuk tahun anggaran 2011-2013.

Selain itu, ia terlibat dalam mengarahkan dan memenangkan perusahaan tertentu untuk menjadi pelaksana proyek pengadaan e-KTP.


 

Terdakwa kasus korupsi pengadaan KTP elektronik Setya Novanto menjalani sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (8/2/2018). Sidang lanjutan itu beragenda mendengarkan keterangan saksi dari Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum.
Terdakwa kasus korupsi pengadaan KTP elektronik Setya Novanto menjalani sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (8/2/2018). Sidang lanjutan itu beragenda mendengarkan keterangan saksi dari Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum. (KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG)

6. Setya Novanto

Mantan Ketua DPR itu didakwa menyalahgunakan kewenangan selaku anggota DPR dalam proyek pengadaan KTP elektronik.

Menurut jaksa, Novanto secara langsung atau tidak langsung mengintervensi penganggaran serta pengadaan barang dan jasa dalam proyek e-KTP tahun 2011-2013.

Penyalahgunaan kewenangan itu dilakukan untuk menguntungkan diri sendiri serta memperkaya orang lain dan korporasi.

Novanto didakwa telah memperkaya diri sendiri sebanyak 7,3 juta dollar AS atau sekitar Rp 71 miliar (kurs tahun 2010) dari proyek pengadaan e-KTP.

Uang 7,3 juta dollar AS tersebut berasal dari perusahaan anggota konsorsium yang sengaja dimenangkan dalam lelang proyek e-KTP.

Selain itu, Novanto juga diperkaya dengan mendapat jam tangan merek Richard Mille seri RM 011 seharga 135.000 dollar AS atau sekitar Rp 1,3 miliar (kurs 2010).

Dalam dakwaan, korupsi yang dilakukan Novanto bersama-sama keponakannya Irvanto Hendra Pambudi.

Novanto mengancam tak mau membantu pengurusan anggaran jika DPR tak diberikan fee sebesar 5 persen.

Kemudian, Novanto juga meminta penyedia produk biometrik merek L-1 memberikan diskon 50 persen. Akhirnya, Johannes Marliem memberikan diskon 40 persen.

Keuntungan dari selisih harga produk L-1 yang sudah mendapat diskon akan diberikan kepada Novanto dan anggota DPR lainnya.

Anggota DPR RI, Markus Nari saat bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (6/4/2017).
Anggota DPR RI, Markus Nari saat bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (6/4/2017). (KOMPAS.com/ABBA GABRILLIN)

7. Markus Nari

Anggota DPR Markus Nari ditetapkan sebagai tersangka terkait kasus e-KTP, Rabu (19/7/2017).

Penetapan Markus sebagai tersangka setelah KPK mencermati fakta persidangan kasus e-KTP di kasus mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto.

Markus diduga meminta uang kepada Irman sebesar Rp 5 miliar. Sebagai realisasi permintaan tersebut, Markus diduga telah menerima sekitar Rp 4 miliar.

Dia diduga berperan dalam memuluskan pembahasan dan penambahan anggaran proyek e-KTP di DPR.

Pada tahun 2012, saat itu dilakukan proses pembahas anggaran untuk perpanjangan proyek e-KTP sekitar Rp 1,4 triliun.

Markus Nari juga diduga secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau sebuah korporasi dalam pengadaan e-KTP.

Sebelumnya dia juga berstatus tersangka pada perkara menghalangi atau merintangi penyidikan yang dilakukan KPK di kasus e-KTP.

Markus diduga memengaruhi anggota DPR Miryam S Haryani untuk memberikan keterangan tidak benar dalam persidangan kasus korupsi e-KTP.

Meski sudah berstatus tersangka, Markus Nari hingga, Kamis (1/3/2018) ini masih belum ditahan.

Komisi Pemberantasan Korupsi menahan Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo (ASS), Kamis (9/11/2017)
Komisi Pemberantasan Korupsi menahan Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo (ASS), Kamis (9/11/2017) (Kompas.com/Robertus Belarminus)

8. Anang Sugiana Sudiharjo

Direktur Utama PT Quadra Solution itu ditetapkan sebagai tersangka kasus ini pada 27 September 2017 lalu.

Anang diduga ikut menyuap anggota DPR, termasuk Setya Novanto. Proses penyidikan masih berjalan. Anang telah ditahan KPK di Rutan Guntur.

Editor : Sandro Gatra
Artikel Terkait


Close Ads X