6 Fakta Sidang soal Rencana Kongkalikong Proyek E-KTP

By Abba Gabrillin - Selasa, 27 Februari 2018 | 09:52 WIB
Terdakwa kasus korupsi pengadaan KTP elektronik Setya Novanto menjalani sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (8/2/2018). Sidang lanjutan itu beragenda mendengarkan keterangan saksi dari Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum.
Terdakwa kasus korupsi pengadaan KTP elektronik Setya Novanto menjalani sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (8/2/2018). Sidang lanjutan itu beragenda mendengarkan keterangan saksi dari Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum. (KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG)

JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan empat saksi dalam sidang kasus korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP) di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (26/2/2018).

Mereka yang bersaksi untuk terdakwa Setya Novanto itu yakni, pengacara Elza Syarief dan mantan Direktur Utama Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) Isnu Edhi Wijaya.

Kemudian, mantan anggota dewan pengawas PNRI Yudi Permadi. Satu saksi lainnya yakni, pengusaha Jimmy Iskandar Tedjasusila alias Bobby.

Berikut enam fakta yang terungkap dalam persidangan:

1.  Elza Syarief sebut keterangan Nazaruddin kadang berubah-ubah

Advokat Elza Syarief saat memenuhi panggilan MKD DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (2/10/2017).
Advokat Elza Syarief saat memenuhi panggilan MKD DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (2/10/2017). (KOMPAS.com/Nabilla Tashandra)
Advokat Elza Syarief mengakui bahwa keterangan kliennya, Muhammad Nazaruddin, kadang suka berubah-ubah. Menurut Elza, hal itu yang membuat keterangan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat itu kadang sulit diyakini kebenarannya.

Ia pertama kali mengetahui proyek e-KTP dari Nazaruddin sekitar tahun 2011. Pada waktu itu, Nazar membuat skema dan gambar tentang korupsi dalam proyek e-KTP.

Baca juga : Cerita Elza Syarief soal Anas dan Nazaruddin yang Saling Cinta hingga Benci

Dalam berita acara pemeriksaan (BAP), Elza mengatakan, Nazaruddin pernah bercerita bahwa Anas Urbaningrum bertugas memuluskan persetujuan eksekutif dan legisatif, karena Partai Demokrat yang berkuasa.

Kemudian Setya Novanto bertugas mencari pengusaha untuk mensukseskan proyek. Adapun, keuntungan akan dibagi dua, Anas dan Setya Novanto.

2. Gunakan bahasa Jawa, keponakan Novanto bicarakan 7 persen untuk Senayan

Keponakan Setya Novanto, Irvanto Hendra Pambudi, pernah membicarakan adanya rencana pembagian fee ke Senayan, yang diduga untuk anggota DPR RI. Hal itu dikatakan Jimmy Iskandar Tedjasusila alias Bobby saat bersaksi

Menurut Bobby, pada waktu itu sekitar jam 16.00 atau jam17.00, ia sedang berada di ruang kerja Irvanto di Gedung Menara Imperium, Kuningan, Jakarta. Ia dan Irvanto yang merupakan Direktur PT Murakabi Sejahtera itu sedang menunggu dokumen prakualifikasi lelang yang harus ditandatangani.

Baca juga : Gunakan Bahasa Jawa, Keponakan Novanto Bicarakan 7 Persen untuk Senayan

"Sewaktu sedang bicara tentang pekerjaan kami yang berat, tiba-tiba dia bilang 'Abot. Sing kono njaluk pitu'," kata Bobby.

Menurut Bobby, kata-kata itu memaksudkan bahwa Irvanto merasa berat, karena ada bagian 7 persen yang harus diberikan.

Saat mengucapkan kata-kata dalam bahasa Jawa itu, menurut Bobby, Irvanto sambil menunjuk ke luar jendela. Ternyata, Irvanto memaksudkan 7 persen untuk Senayan.


Mantan Direktur Utama Perum PNRI, Isnu Edhi Wijaya, bersaksi dalam sidang kasus korupsi pengadaan e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (23/10/2017).
Mantan Direktur Utama Perum PNRI, Isnu Edhi Wijaya, bersaksi dalam sidang kasus korupsi pengadaan e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (23/10/2017). (KOMPAS.com/ABBA GABRILLIN)
3. Mantan Dewan Pengawas akui Perum PNRI tak mampu kerjakan proyek e-KTP

Yudi Permadi mengakui bahwa Perum PNRI sebenarnya tidak mampu menangani proyek sebesar pengadaan e-KTP.

"Saya agak surprise Perum PNRI dapat proyek besar," ujar Yudi kepada majelis hakim.

Menurut Yudi, sumber daya manusia di PNRI tidak memadai untuk mengerjakan proyek e-KTP. Ia pun telah menyarankan kepada pimpinan PNRI untuk segera memperkuat kemampuan sumber daya manusia.

Menurut Yudi, pimpinan PNRI kemudian mengirim surat kepada Dewan Pengawas bahwa PNRI telah menunjuk konsultan untuk melakukan analisis risiko (risk profile).

4. Setelah diperiksa KPK, Elza Syarief pernah dihubungi istri Setya Novanto

Elza Syarief mengaku pernah dihubungi oleh istri Setya Novanto, Deisti Astriani Tagor. Komunikasi melalui pesan WhatsApp tersebut terjadi setelah Elza diperiksa oleh KPK pada 5 April 2017.

Saat itu, Elza diperiksa sebagai saksi terkait kasus pemberian keterangan palsu dengan tersangka Miryam S Haryani. Kemudian, pada 7 April 2017, Deisti mengirim pesan melalui WhatsApp kepada Elza.

Dalam berita acara pemeriksaan (BAP) untuk perkara Novanto, Elza mengatakan kepada penyidik bahwa Deisti menyampaikan permintaan Setya Novanto untuk bertemu. Namun, Elza akhirnya tidak jadi bertemu dengan Novanto.

5. Mantan Dirut PNRI tak bisa jawab soal sisa uang Rp 600 miliar terkait e-KTP

Mantan Dirut Perum PNRI Isnu Edhi Wijaya tak bisa menjawab saat ditanya jaksa soal uang Rp 600 miliar. Menurut jaksa, uang itu merupakan sisa uang negara dalam proyek pengadaan e-KTP.

Menurut jaksa, pemerintah awalnya menyetorkan uang Rp 1,17 triliun kepada Konsorsium PNRI. Kemudian, konsorsium melalui PT Quadra Solution membayarkan sejumlah Rp 400 miliar kepada perusahaan penyedia produk biometrik, Biomorf.

Baca juga : Konsultan Sarankan PNRI Dekati Parpol di DPR untuk Amankan Anggaran E-KTP

Uang Rp 400 miliar itu untuk membayar pembelian produk Automated Finger Print Identification System (AFIS) merek L-1. Menurut jaksa, seharusnya masih ada sisa sekitar Rp 600 miliar dari uang yang diberikan pemerintah.

6. Konsultan sarankan PNRI dekati parpol di DPR untuk amankan anggaran e-KTP

Mantan Dirut PNRI Isnu Edhi Wijaya mengaku pernah meminta jasa konsultan untuk menganalisis risiko perusahaannya jika mengerjakan proyek e-KTP. Hasilnya, konsultan menyebut bahwa salah satu risiko yang bisa dihadapi PNRI yakni, anggaran proyek tidak disetujui DPR.

Menurut konsultan, penyebabnya adalah partai politik di DPR. Hal itu dikhawatirkan bisa menyebabkan tidak adanya perpanjangan proyek.

Kemudian, konsultan menyarankan agar PNRI atau konsorsium membangun hubungan proaktif dengan anggota DPR. Hal itu untuk memastikan PNRI mendapat informasi apabila anggaran tidak disetujui.

Jaksa KPK Abdul Basir merasa heran, sebab tidak ada kaitannya PNRI dengan pembahasan anggaran di DPR. Jaksa menduga hasil analisis konsultan terkait risiko politik itu terkait informasi soal suap kepada anggota DPR.

Namun, kecurigaan jaksa itu dibantah oleh Isnu. Menurut Isnu, masalah anggaran adalah kewenangan pemerintah dan DPR.

Kompas TV Agenda sidang Setya Novanto masih seputar pemeriksaan saksi.



Editor : Sabrina Asril
Artikel Terkait


Close Ads X