Kompas.com
Sabtu, 18 Mei 2024

Rayakan Perbedaan

TAG

Memperjelas Sejarah Bangsa yang Samar

Senin, 15 Juni 2015 | 15:00 WIB

 

Kesimpangsiuran soal tempat kelahiran Soekarno tergambar pula dari beragamnya pendapat publik dalam menyebut tempat lahir Sang Proklamator. Lebih dari separuh bagian responden menyebut Blitar sebagai kota tempat Soekarno lahir. Sementara itu, hanya dua dari sepuluh responden menyebut Kota Surabaya sebagai tempat kelahiran Soekarno. Jika menilik tingkat pendidikan responden, mereka yang menyebut Blitar sebagai kota kelahiran Soekarno cenderung lebih banyak dari kelompok pendidikan tinggi. Proporsinya mencapai separuh lebih responden.

Polemik tempat kelahiran Soekarno tidak berdiri sendiri. Empat dari 10 responden menyatakan, hal itu akibat dari upaya pengaburan sejarah Soekarno yang dilakukan Orde Baru. Alih-alih menggali lebih dalam sosok dan ajaran Soekarno, Orde Baru justru berusaha membatasi penyebarluasan pengetahuan tentang peran politik Soekarno.

Pelarangan buku-buku mengenai biografi Soekarno terjadi sejak dimulainya era Orde Baru. Pada saat itu, pemerintah mulai melakukan de-Soekarnoisasi, termasuk pelarangan memperingati hari lahir Pancasila pada 1 Juni 1945. Soekarno sebagai penggagas Pancasila juga dikaburkan.

Pengerdilan peran Soekarno dalam sejarah nasional Indonesia tampak pula dari penganugerahan gelar Pahlawan Nasional bagi Soekarno yang baru diberikan pada November 2012.

Tidak serius

Tak hanya sosok Soekarno, beberapa peristiwa sejarah lainnya hingga kini menurut enam dari 10 responden juga belum terang informasinya. Peristiwa tentang Gerakan 30 September 1965 dan pembantaian massal yang mengikutinya hingga kini belum terungkap jelas. Meski ada buku Putih G30S 1965 yang dikeluarkan Sekretariat Negara 1994, banyak terbit buku lain yang berisi kesaksian korban dan keluarganya yang dibunuh ataupun dipenjarakan tanpa pengadilan oleh Orde Baru.

Kasus penculikan aktivis 1998, meski telah masuk pengadilan, masih menyisakan tanya tentang nasib 13 aktivis yang hingga kini belum diketahui keberadaannya. Setali tiga uang dengan kasus kerusuhan Mei 1998 dan pembunuhan Munir. Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) menyebutkan peristiwa kerusuhan dan pembakaran pusat perbelanjaan beserta orang-orang di dalamnya yang terjadi pada Mei 1998 sebagai sistematis, bahkan diduga ada yang menggerakkan. Demikian pula kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir pada 7 September 2004, juga dinilai publik belum tuntas.

Page:

Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:

Editor : Laksono Hari Wiwoho
Sumber: Harian Kompas