Menyoal Waktu Penetapan Tersangka KPK dalam Praperadilan Novanto

Senin, 2 Oktober 2017 | 06:24 WIB

Hakim tunggal Cepi Iskandar (kanan) memimpin sidang perdana gugatan praperadilan yang diajukan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto (Setnov) di PN Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (12/9/2017). Sidang praperadilan yang diajukan tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan proyek E-KTP Setya Novanto itu ditunda hingga tanggal 20 September karena pihak KPK meminta penundaan sidang untuk menyiapkan dokumen dan administrasi. ANTARA FOTO/Reno Esnir/Spt/17ANTARA FOTO/RENO ESNIR Hakim tunggal Cepi Iskandar (kanan) memimpin sidang perdana gugatan praperadilan yang diajukan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto (Setnov) di PN Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (12/9/2017). Sidang praperadilan yang diajukan tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan proyek E-KTP Setya Novanto itu ditunda hingga tanggal 20 September karena pihak KPK meminta penundaan sidang untuk menyiapkan dokumen dan administrasi. ANTARA FOTO/Reno Esnir/Spt/17

JAKARTA, KOMPAS.com - Hakim tunggal Cepi Iskandar menyatakan penetapan tersangka Setya Novanto oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak sah. Ada beberapa pertimbangan hakim dalam membuat putusan.

Salah satunya, hakim menilai penetapan tersangka Novanto oleh KPK sudah dilakukan di awal penyidikan. Padahal, menurut hakim, harusnya penetapan tersangka dilakukan di akhir tahap penyidikan suatu perkara.

Hal itu harus dilakukan untuk menjaga harkat dan martabat seseorang.

"Menimbang bahwa dari hal-hal tersebut, hakim berpendapat bahwa proses penetapan tersangka di akhir penyidikan, maka hak-hak tersangka bisa dilindungi," ucap Cepi dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (29/9/2017).

(Baca juga: Analogi Tiga Maling Ayam dan Putusan Praperadilan Setya Novanto...)

Ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia Ganjar Laksamana memiliki pendapat yang tak jauh berbeda terkait hal tersebut. Menurut Ganjar, penerbitan surat perintah penyidikan (sprindik) dan penetapan tersangka adalah dua peristiwa hukum yang berbeda.

Untuk itu, menurut Ganjar, penerbitan sprindik dan penetapan tersangka seharusnya dilakukan secara terpisah, tidak di dalam satu dokumen yang sama.

"Seharusnya keluarkan dulu sprindik, baru setelah dilakukan penyidikan, KPK menetapkan tersangka," kata Ganjar saat ditemui di Jakarta, Minggu (1/10/2017).

Menurut Ganjar, saat penyidikan baru dimulai, belum ada alat bukti yang dapat menetapkan seseorang sebagai tersangka. Sebab, bukti permulaan yang ditemukan dalam masa penyelidikan perlu diverifikasi ulang di tahap penyidikan.

Apabila bukti permulaan yang ditemukan masih valid dalam proses penyidikan, maka KPK dapat menetapkan seseorang sebagai tersangka.

Selain itu, Ganjar mengatakan, tahap penyelidikan tidak pro justicia. Sementara, pemeriksaan saksi-saksi yang termasuk pro justitia baru dimulai pada tahap penyidikan.

(Baca juga: Novanto Lolos Jerat Hukum Lewat Praperadilan, Jokowi Enggan Berkomentar)

Jawaban KPK

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK mengatur bahwa sejak masih tahap penyelidikan, KPK telah dapat mencari alat bukti.

Menurut Pasal 44 UU KPK, ketika ada minimal 2 alat bukti di tahap penyelidikan, maka penanganan perkara ditingkatkan ke tahap penyidikan.

"Sehingga, ketika sebuah perkara naik ke penyidikan, maka pada saat itu sudah diketahui siapa yang diduga pelaku tindak pidana," kata Febri.

Febri mengatakan, meski UU KPK bersifat lex specialist atau khusus, dalam Pasal 39 diatur bahwa penyelidikan, penyidikan dan penuntutan KPK juga mengikuti hukum acara pidana yang berlaku umum atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

(Baca juga: ICJR: Putusan Praperadilan Novanto Dampak Hukum Acara yang Abu-abu)

Waktu penetapan tersangka

Menurut Febri, sebenarnya tidak ada alasan untuk menilai bahwa tidak tepat jika KPK menetapkan tersangka bersamaan dengan dimulainya penyidikan.

Pasal 1 angka 14 KUHAP menyebutkan bahwa tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

Jika menghubungkan definisi tersangka dalam KUHAP tersebut dengan Pasal 44 ayat 1 dan 2 UU KPK, maka seharusnya KPK berwenang menetapkan tersangka di awal penyidikan. Sebab, penyelidikan telah menghasilkan bukti permulaan sebagai salah satu syarat penetapan tersangka.

(Baca juga: Penjelasan KPK Terkait Penetapan Tersangka Novanto di Awal Penyidikan)


Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Rabu (6/9/2017)Kompas.com/Robertus Belarminus Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Rabu (6/9/2017)
Diperkuat putusan MK

Mahkamah Konstitusi (MK) bahkan secara tidak langsung memperkuat penetapan tersangka yang dilakukan KPK saat memulai penyidikan.

Dalam putusan uji materi nomor 21/PUU-XII/2014, MK menafsirkan bahwa frasa "bukti permulaan", "bukti permulaan yang cukup", dan "bukti yang cukup" dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP adalah minimal dua alat bukti.

MK bahkan mengadopsi bunyi Pasal 44 ayat 2 UU KPK, mengenai bukti permulaan untuk penetapan tersangka yang sekurang-kurangnya adalah dua alat bukti.

"Kalau di penyelidikan KPK sudah menemukan minimal 2 alat bukti tersebut, apakah itu bukan berarti sudah memenuhi syarat penyidikan sekaligus penetapan tersangka?" kata Febri.

Dalam sidang putusan praperadilan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (30/9/2017), hakim tunggal Cepi Iskandar menilai penetapan tersangka Setya Novanto dalam kasus dugaan korupsi kartu tanda penduduk elektronik (E-KTP) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi tidak sah.

Ada sejumlah pertimbangan yang mendasari Hakim Cepi membuat putusan tersebut. 

(Baca: Ini Pertimbangan Hakim Cepi Batalkan Status Tersangka Setya Novanto)

Pertama, Cepi menilai penetapan tersangka Novanto oleh KPK sudah dilakukan di awal penyidikan. Menurut Cepi, harusnya penetapan tersangka dilakukan di akhir tahap penyidikan suatu perkara. Hal itu untuk menjaga harkat dan martabat seseorang.

Selain itu, Cepi juga menilai alat bukti yang diajukan berasal dari penyidikan terhadap Irman dan Sugiharto, mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri yang sudah divonis bersalah melakukan korupsi E-KTP.

Menurut Cepi, alat bukti yang sudah digunakan dalam perkara sebelumnya tidak bisa digunakan untuk menangani perkara selanjutnya.

(Baca juga: ICW Kemukakan 6 Kejanggalan Putusan Hakim Praperadilan Setya Novanto)

Kompas TV Benarkah Setya Novanto "sakti" atau jangan-jangan KPK yang "miskin" strategi? Berikut Catatan KompasTV minggu ini. 




Penulis : Abba Gabrillin
Editor : Bayu Galih