Berani Terobos Angka Pidana Minimum, Hakim Kasus Fidelis Diapresiasi

Rabu, 2 Agustus 2017 | 13:08 WIB

Fidelis Arie Sudewarto (36) saat berada di sel tahanan Pengadilan Negeri Sanggau usai sidang pembacaan putusan, Rabu (2/8/2017).KOMPAS.com/YOHANES KURNIA IRAWAN Fidelis Arie Sudewarto (36) saat berada di sel tahanan Pengadilan Negeri Sanggau usai sidang pembacaan putusan, Rabu (2/8/2017).

JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat cukup memandang positif Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sanggau yang memutus perkara Fidelis dengan pidana penjara 8 bulan ditambah denda 1 milyar rupiah subsider 1 bulan penjara.

Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat, Yohan Misero mengatakan, putusan hakim ini memang lebih besar dari angka tuntutan Jaksa Penuntut Umum, yakni 5 bulan ditambah denda 800 juta rupiah subsider 1 bulan penjara.

Namun, Majelis Hakim telah melakukan sesuatu yang patut dipuji, yakni menerobos angka pidana minimum.

Meski dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum memandang bahwa yang terbukti adalah Pasal 111 Ayat 2 Undang-Undang Narkotika, namun Majelis Hakim memandang bahwa pasal yang terbukti ialah Pasal 116 Ayat 1 Undang-Undang Narkotika yang memiliki besaran pidana minimum 5 tahun dan maksimum 15 tahun penjara, ditambah denda 1 milyar rupiah sampai dengan 10 milyar rupiah.

Pasal 116 ayat 1 sendiri adalah pasal yang memidanakan penggunaan atau pemberian narkotika golongan 1 pada orang lain secara tanpa hak atau melawan hukum.

"Walau kami berharap Majelis Hakim bisa memutus di bawah atau setidaknya sama dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, namun keberanian Majelis Hakim untuk menerobos pidana minimum ini patut dipuji," kata Yohan dalam keterangan tertulisnya kepada kompas.com, Rabu (2/8/2017).

(Baca: Fidelis Divonis 8 Bulan Penjara dan Denda Rp 1 Miliar)

Menurut Yohan, putusan ini selaras dengan nilai yang coba dibangun melalui dua surat edaran Mahkamah Agung, Nomor 7 Tahun 2012 dan Nomor 3 Tahun 2015, yang secara literal membuka ruang penerobosan ketika dihadapkan dengan pemakai narkotika yang dikenakan pasal lain yang tidak pas.

"Dari kasus ini, kita juga melihat sebuah aspek advokasi yang sungguh penting, yakni pemanfaatan narkotika golongan 1 untuk kesehatan. Namun, hal-hal tersebut dapat ditunda sampai setidaknya muncul respons keluarga dan juga jaksa dalam menyikapi putusan ini, terutama dalam aspek upaya hukum, jika diperlukan," ucap Yohan.

Untuk analisis putusan secara keseluruhan, lanjut Yohan, pihaknya akan menunggu salinan putusan yang akan diberikan pada keluarga terlebih dahulu.

Namun, secara garis besar, menurut dia nilai-nilai keluarga dan kemanusiaan juga turut memberikan andil pada nilai putusan yang kita lihat hari ini.

"Putusan ini membuat Fidelis harus menunggu sedikit lebih lama untuk kembali pada keluarganya," ujar Yohan.

LBH Masyarakat juga mengapresiasi atas dukungan dan perhatian publik dalam kasus ini. Publik dinilai turut membantu memperlihatkan penting dan mendasarnya nilai-nilai kemanusiaan yang hadir di dalam kasus yang menimpa Fidelis dan keluarga.

(Baca juga: Fidelis Dengarkan Vonis Hakim Sambil Berdiri dan Menunduk)

Fidelis menjadi terdakwa setelah ditahan BNN pada 19 Februari 2017. Ganja itu ia gunakan untuk mengobati sang istri yang menderita penyakit langka syringomyeila.

Penyakit tersebut mulai dirasakan Yeni sejak tahun 2013, ketika sedang mengandung anak mereka yang kedua. Upaya pengobatan pun dilakukan, mulai dari rumah sakit hingga terapi tradisional, namun tak membuahkan hasil.

Hingga akhirnya Fidelis mendapatkan informasi dan literatur dari luar jika penyakit yang diderita istrinya itu bisa disembuhkan dengan menggunakan ekstrak ganja. Namun, sang istri akhirnya meninggal dunia, tepat 32 hari setalah Fidelis ditangkap BNN.

Kompas TV Pria yang menanam 39 batang pohon ganja untuk pengobatan istrinya menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Sanggau.




Penulis : Ihsanuddin
Editor : Bayu Galih