Saat Ojek Online Bicara soal Arti Solidaritas yang Sesungguhnya...

By Rima Wahyuningrum - Rabu, 7 Maret 2018 | 07:13 WIB
31 pengendara ojek online berkumpul untuk membacakan ikrar mencegah aksi persekusi di Palmerah, Jakarta Barat pada Selasa (6/3/2018).
31 pengendara ojek online berkumpul untuk membacakan ikrar mencegah aksi persekusi di Palmerah, Jakarta Barat pada Selasa (6/3/2018). (RIMA WAHYUNINGRUM)

JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah pengemudi ojek online angkat bicara soal maraknya aksi persekusi maupun main hakim sendiri yang terjadi beberapa waktu lalu.

Salah satunya kasus perusakan mobil Nissan X-Trail oleh massa ojek online di underpass Senen pada Rabu (28/2/2018) malam. Pengemudi ojek online, Gusti (35) menyayangkan aksi brutal tersebut.

"Pertama, mungkin karena situasi di lapangan kondisinya dipacu jadi panas. Kedua, kenapa sih enggak pakai kepala dingin. Itu yang kami sayangkan banget," kata Gusti.

Aksi tersebut berawal dari iring-iringan pengantar jenazah pengendara ojek online yang meninggal dunia karena kecelakaan di jalan layang Pesing.

Gusti menceritakan, perkumpulan ojek online memang memiliki jiwa solidaritas tinggi ketika ada rekan mereka yang mengalami musibah.

"Kalau pengawalan itu memang sudah komitmen kita. Solidaritas aja. Biasanya tiap komunitas punya aturan buat pengawalan jenazah. Kayak enggak boleh bikin suara sirine, kan sirine punya polisi," terang Gusti.

Baca juga : Cegah Persekusi, Polisi Kumpulkan Pengemudi Ojek Online

Pengeroyokan dan perusakan mobil Nissan X-Trail oleh para pengemudi ojek online di Underpass Senen, Jakarta.
Pengeroyokan dan perusakan mobil Nissan X-Trail oleh para pengemudi ojek online di Underpass Senen, Jakarta. (INSTAGRAM/JKTINFO)

Namun, ia menyayangkan aksi solidaritas malam itu berubah menjadi aksi brutal karena emosi.

Hal senada dikatakan ojek online lainnya, Tiwi (31). Menurut Tiwi, massa yang melakukan perusakan tidak mengerti makna dari kata solidaritas yang diartikan sebagai ikatan kuat dalam hubungan kemanusiaan.

"Kalau ngerti arti solidaritas pasti enggak bakal begitu," kata Tiwi.

Ia berasumsi bahwa emosi pengemudi ojek online dalam aksi tersebut terpancing karena kelelahan setelah seharian bekerja dan mengantar jenazah rekannya yang meninggal dunia.

Aksi ojek online lainnya yang menjadi sorotan adalah pengeroyokan terhadap anak jalanan di Jalan Pangeran Tubagus Angke, Tambora, Jakarta Barat pada 13 Febuari 2018. Enam ojek online menyerang dengan menewaskan seorang anak jalanan.

Kejadian itu juga berawal dari rasa ingin membantu teman ojek online yang pernah menjadi korban penjambretan. Namun, cara yang dilakukan mereka tidak dibenarkan.

Baca juga : Kapolsek Palmerah Gandeng Ojek Online Atasi Kasus Curanmor

Beno (50) sebagai pembina komunitas ojek online Komando Lintas Barat (KLB) Tambora mengatakan kalau pelaku bukanlah dari kelompoknya.

"Itu bukan anggota kami. Mereka oknum preman yang merusak nama baik ojek online," kata Beno.

Beno bersama anggotanya memegang komitmen untuk tidak bertindak gegabah di jalanan. Ia mengatakan, anggota dari KLB sebanyak 30 orang yang berasal dari perusahaan ojek berbeda yakni GoJek, Grab dan Uber. 

Mereka berkomitmen agar perkumpulannya bermanfaat. Misalnya, mereka melakukan aksi penggalangan dana untuk membantu korban longsor di Brebes, Jawa Tengah selama sepekan terakhir. Mereka telah mengumpulkan sekira Rp 3 juta dari target Rp 8 juta.

Beno menambahkan harapannya agar para ojek online atau dikenal dengan sebutan ojol bisa menyalurkan aksi positif.

"Menurut saya beberapa (pengemudi) ojol merasa punya pasukan dan solid. Tapi kesolidannya disalahartikan. Kalau solid ya harusnya bisa membenahi yang salah, mereka enggak perlu sembarangan bertindak," terang Beno.

Baca juga : Ojek Online Kejar Mobil X-Trail sampai Underpass Senen Sejauh 1 Km

Selain itu, ada pula pengemudi yang memilih tidak ikut kegiatan berkelompok. Supriadi misalnya, ia mengaku telah tiga tahun menjadi ojek online. Namun, ia menolak untuk mengikuti kegiatan berkelompok yang dilakukan oleh teman-temannya. 

"Saya enggak ikutan yang begitu-begitu. Saya single fighter enggak gabung kegiatan komunitas. Saya yang penting cari rezeki halal bener-bener dan istri tahu," kata Supriadi.

Ia pun enggan bergabung dengan grup aplikasi WhatsApp yang biasa digunakan komunitas untuk berkoordinasi. 

"Saya cuma ikut satu, itu juga karena tempat pangkalan dekat rumah. Tapi saya menolak buat dimasukin ke grup WA. Saya enggak mau ikutan yang kumpul-kumpul, mending pulang ke rumah," kata Supriadi. 

Editor : Dian Maharani
Artikel Terkait


Close Ads X