Kompas.com
Jumat, 10 Mei 2024

Rayakan Perbedaan

TAG

"Bangsa Kita Pandai Mengelola Perbedaan"

Sabtu, 15 Agustus 2015 | 13:23 WIB
(Wicak Hidayat/KompasTekno) ilustrasi
JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat politik Mochtar Pabottinggi menilai, sudah sejak lama Bangsa Indonesia hidup dalam perbedaan. Sehingga, isu-isu perbedaan yang kerap dihembuskan pihak tertentu, dianggap sulit untuk meretakkan persatuan yang telah terbangun.

"Bangsa kita dari ratusan tahun lalu sudah terbiasa hidup dalam perbedaan, dan terbiasa mengelola perbedaan itu," kata Mochtar saat diskusi bertajuk 'Membaca 70 Tahun Indonesia' di Jakarta, Sabtu (15/8/2015).

Hadir dalam diskusi itu wartawan senior Kompas, Ninok Leksono, peneliti Survei Meter Teguh Yudo dan pengamat politik dari Populi Center Nico Harjanto. Mochtar pun membandingkan kondisi Indonesia dengan Uni Soviet ketika dilanda krisis.

"Pada tahun 2001 saya bertemu dengan seorang profesor dari Rusia yang mengatakan Indonesia akan collapse mengikuti jejak Uni Soviet," ujarnya.

Kondisi ekonomi Indonesia pasca krisis 1998 memang cukup terpuruk. Nilai tukar rupiah terhadap dollar pun melemah cukup tajam. Kondisi ekonomi saat itu juga tidak berbeda jauh dengan kondisi ekonomi saat ini.

Namun, ia mengatakan, ada perbedaan mendasar antara Indonesia dan Uni Sovyet. Sebagai Uni, Soviet sejak awal merupakan gabungan sejumlah negara.

Ketika negara itu hancur, maka negara-negara yang awalnya bergabung, akan kembali ke posisi lama mereka.

"Indonesia beda. Ketika mesinnya tidak berfungsi, mereka tidak memiliki negara lain untuk keluar. Lalu mereka mau ke mana? Mereka akan kembali ke Indonesia," ujarnya.

Sementara itu, Ninok mengatakan, perbedaan merupakan penghargaan tertinggi yang dimiliki Indonesia sejak merdeka hingga saat ini. Kepiawaian para pemimpin Indonesia dalam mengelola perbedaan tersebut, membuat negara ini sulit untuk dipecah belah.

"Saya bertemu dengan seorang profesor dari Columbia University yang kagum dengan Indonesia. 'Enggak mungkin perbedaan dikelola sebaik itu'. Itulah achievement 70 tahun Indonesia," katanya.

Peneliti Survei Meter, Teguh Yudo mengatakan, bukan kali ini saja Indonesia diprediksi oleh sejumlah kalangan akan hancur. Kondisi ekonomi yang lemah lah yang membuat banyak kalangan memprediksi hal itu.

"Tahun 1960-an diprediksi besar akan bubar tetapi sebaliknya. Lalu waktu krisis 1998 juga, tetapi sebaliknya justru ekonomi kita tumbuh dan kita bisa masuk G-20," ujarnya.

Menurut Yudo, krisis ekonomi sedikit banyak justru memberikan efek positif menyatukan perbedaan yang terjadi. Sehingga kecil kemungkinan Indonesia akan hancur akibat krisis ekonomi.

Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:

Penulis: Dani Prabowo
Editor : Desy Afrianti