Kota Kediri: Warga Pun Didorong Mandiri

Senin, 27 Juli 2015 | 15:00 WIB
KOMPAS/DEFRI WERDIONO Suasana salah satu sudut Kota Kediri, Jawa Timur, Kamis (23/7). Kediri dikenal sebagai kota dagang, jasa, dan pendidikan. Dalam hal perdagangan, Kediri menjadi magnet bagi masyarakat dari daerah lain di sekitarnya.


Oleh Defri Werdiono


Senin (27/7) ini Kota Kediri, Jawa Timur, berulang tahun yang ke-1.136. Dengan moto "Kediri Tersenyum", aneka kegiatan pun digelar, mulai dari upacara, festival, pameran, pentas seni dan budaya, hingga perhelatan jazz. Kota ini seolah ingin tetap menunjukkan semangatnya sebagai kota niaga, jasa, dan pendidikan.

Jemari keriput Chamin (55) lihai memainkan alat tenun bukan mesin. Helai demi helai benang dominan merah dan hitam ia susun hingga menjadi selembar kain sarung. Dari pekerjaan inilah, mantan pegawai stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) itu menafkahi keluarganya.

Selain Chamin, ada beberapa karyawan lain yang siang itu sibuk menenun sarung di tempat Anwar Sugiyono (62) di Gang VIII, Kelurahan Bandar Kidul, Kecamatan Mojoroto. Seorang petenun rata-rata menyelesaikan satu lembar kain sarung setiap hari dengan upah Rp 47.000 per lembar.

Anwar mengirimkan sarung produksinya ke pedagang besar di Surabaya. Dari Surabaya, sarung dengan motif antara lain botolan, melinjon, gigi walang, dan rangrang itu dikirim ke sejumlah daerah, termasuk beberapa negara di Timur Tengah. Udara panas Timur Tengah menjadi alasan warga di sana menyukai sarung goyor buatan Kediri yang terasa dingin saat dipakai.

Sudah puluhan tahun Anwar menggeluti usaha tenun. Di Bandar Kidul kini masih ada belasan perajin dengan jumlah pekerja mencapai ratusan orang. Tenun ikat hanyalah salah satu dari ribuan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Kediri. UMKM lainnya di antaranya kuliner, sandang, dan kerajinan.

Adalah Jalan Doho dan sekitarnya yang selama ini menjadi etalase untuk melihat sekilas yang ada di Kediri. Doho telah lama dikenal sebagai tempat belanja warga setempat dan kabupaten di sekitarnya, seperti Blitar, Nganjuk, Tulungagung, Trenggalek, dan Jombang. Kawasan ini pun disebut-sebut sebagai "Malioboro"-nya Kediri.

Pada masa libur Lebaran, Jalan Doho dan Yos Sudarso menjadi tujuan warga dari luar daerah untuk transit. Di tempat ini mereka bisa berburu oleh-oleh khas Kediri, yakni tahu takwa (tahu kuning), getuk pisang, dan varian makanan lainnya. Di kawasan ini pula mereka bisa menikmati kuliner kaki lima yang banyak dijajakan saat malam.

Meski di kota dagang ini berdiri sejumlah mal dan pusat perbelanjaan modern, kehidupan pertokoan di pinggiran jalan "Kota Tahu" ini masih bersinar. Begitu pula pasar tradisional, seperti Pasar Setono Betek dan Pasar Induk Ngronggo, yang terkenal hingga luar daerah. Pasar-pasar tradisional ini akan terus dikembangkan. Pasar Ngronggo, misalnya, akan dilengkapi dengan eskalator dan fasilitas penunjang lain.

Wali Kota Kediri Abdullah Abu Bakar, awal Juli lalu, mengatakan, pihaknya berusaha mempertahankan pasar tradisional dan membatasi toko ritel yang di kota lain keberadaannya menjamur hingga tengah perkampungan. Kota Kediri tidak lagi memberi izin pendirian toko ritel karena hal itu dianggap akan mematikan kios kecil yang menjadi sumber penghidupan warga.

Kediri yang wilayahnya dibelah Sungai Brantas memang memiliki industri besar, yakni pabrik rokok Gudang Garam dan dua pabrik gula, masing-masing Pesantren Baru dan Meritjan, yang telah memberi dampak ekonomi pada puluhan ribu warga di sekitarnya. Namun, tidak serta-merta seluruh warga Kota Kediri yang berjumlah 267.310 (2013) menggantungkan hidup pada industri tersebut. Sebagian karyawan berasal dari Kabupaten Kediri.

Gudang Garam tahun lalu menawarkan pensiun dini bagi 4.000 lebih tenaga kerjanya dari divisi borongan sigaret kretek tangan. Sebagian dari mereka kemudian diarahkan untuk bisa berwiraswasta. "Bagaimanapun kita tidak bisa menggantungkan hidup sepenuhnya pada industri rokok. Masyarakat harus bisa mandiri dengan mencipta lapangan kerja sendiri," ujar Abdullah.

Karena itulah, kota yang memiliki pendapatan asli daerah Rp 207 miliar dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Rp 1,3 triliun ini memberikan perhatian besar dalam pemberdayaan masyarakat. Pelatihan dan bantuan peralatan diberikan terhadap pengusaha kecil dan menengah agar mereka memiliki daya saing dan mampu berkembang.

Partisipasi masyarakat

Untuk memancing kreativitas dan partisipasi masyarakat, sejak April lalu Pemerintah Kota Kediri juga memberikan bantuan kepada setiap rukun tetangga (RT) sebesar Rp 50 juta melalui program pemberdayaan masyarakat (prodamas). Dana tersebut untuk membangun lingkungan RT, yakni 60 persen untuk fisik, 20 persen untuk ekonomi, dan 20 persen untuk sosial.

Selain memberdayakan masyarakat, pemkot juga terbuka kepada investor. Tidak mengherankan apabila pada 2010 sebuah majalah ekonomi menobatkan Kediri dalam urutan teratas sebagai Indonesia Most Recommended City for Investment.

Sebagai gambaran masuknya investor ke Kediri terlihat pada 2013-2014 paling tidak ada empat hotel yang berdiri. Kemudian satu rumah sakit nasional, pusat perbelanjaan modern, penyedia jasa telekomunikasi, dan apartemen akan segera masuk. Untuk hotel, Kediri hanya memberi izin bagi berdirinya hotel berbintang, bukan kelas melati. Pertimbangannya lebih pada dampak sosial yang mana hotel kelas melati sering disalahgunakan.

Abdullah mengatakan, pemkot memang berusaha membangun daerah dan membuat warganya nyaman di kota sendiri. Ini menyadari bahwa tanggung jawab semua pihak untuk mewujudkan itu semua.

Pembangunan sumber daya manusia pun diperhatikan, salah satunya dengan mengalokasikan 33 persen APBD untuk pendidikan. Pemkot menggratiskan biaya untuk sekolah dasar dan sekolah menengah pertama serta anak dari keluarga tidak mampu. Namun untuk sekolah menengah tingkat atas, SMA dan SMK, ditempuh dengan pendidikan murah berkualitas. Siswa asal Kota Kediri dikenai bayaran Rp 30.000 per bulan, sedangkan siswa dari luar kota dikenai Rp 100.000.

Warga pun berpartisipasi. Salah satunya adalah Endang Pertiwi (43), warga Kelurahan Bujel, Kecamatan Mojoroto, yang tergerak hatinya untuk memfasilitasi pendidikan bagi anak-anak kurang mampu di sekitarnya dalam sekolah alam Hijau Daun untuk kelompok bermain dan TK. Endang mempersilakan orangtua murid yang tidak mampu untuk membayar biaya sekolah menggunakan sampah sisa rumah tangga.

Endang mengatakan, apa yang ia kerjakan sejak 2011 itu bukan semata-mata mewujudkan tanggung jawabnya sebagai warga kota, melainkan juga dalam rangka kecintaannya terhadap lingkungan. Ia pun merelakan sebagian dari 1,5 hektar lahan pekarangannya untuk sekolah alam.

"Hasil positif dari sekolah ini ialah pemahaman warga sekitar tentang lingkungan makin meningkat," ujarnya, Jumat (24/7).

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Juli 2015, di halaman 22 dengan judul "Warga Pun Didorong Mandiri".

Comments: