Pergulatan Kota Perbatasan

Senin, 13 Juli 2015 | 15:00 WIB
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO Salah satu sudut kompleks Keraton Kasepuhan yang merupakan daya tarik wisata utama di Kota Cirebon, Jawa Barat, Senin (23/3). Keraton Kasepuhan kini memiliki laman resmi yang sekaligus memberikan pelayanan pembelian tiket masuk secara elektronik.


Oleh Rini Kustiasih


Beroperasinya Jalan Tol Cikopo-Palimanan yang melintasi Cirebon, Jawa Barat, 14 Juni 2015, telah memberikan warna baru bagi kota pesisir seluas 37 kilometer persegi itu. Sejarah panjang Kota Cirebon sebagai sebuah kota percampuran yang unik dan berbeda menemukan tantangan dan peluang baru.

Berada di perlintasan antara Jakarta dan Jawa Barat, sekaligus jembatan menuju Jawa Tengah dan Jawa Timur, Kota Cirebon secara geografis adalah daerah perbatasan. Cirebon juga jadi pintu, karena itu kota tersebut menerima pengaruh dari banyak penjuru. Posisinya yang berada di tepian laut juga memudahkan Cirebon menerima pengaruh dari jalur perdagangan samudra, tidak hanya dari negeri sendiri, tetapi juga negeri asing.

Dari corak budayanya, Cirebon adalah entitas unik dan berbeda. Ia bukan Jawa, bukan pula Sunda. Dalam cara berpikir yang hitam-putih, melihat Cirebon adalah menatap yang lain, yang tak termaktub ke dalam kedua kategori itu. Ia entitas kebudayaan yang liyan (lain).

Jejak-jejak pengaruh budaya yang masuk ke Cirebon, baik dari dalam maupun luar itu menyatu dalam bentukan bangunan dan benda sekaligus dalam pola pikir dan peri kehidupan warganya yang menghargai perbedaan. Keberadaan benda-benda seni pada tiga keraton Cirebon, yakni Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan, mewakili akulturasi tersebut.

Keraton Kasepuhan dan Kanoman, misalnya, memiliki kereta kencana yang satu sama lain mirip dan sama-sama memadukan bentuk burung (paksi/burung), naga, dan gajah. Di Keraton Kasepuhan, kereta kencana itu dinamai Singa Barong, sedangkan di Kanoman disebut dengan Paksinagaliman. Burung dalam kereta itu mewakili buraq yang dalam Islam dikenal sebagai kendaraan Nabi Muhammad dalam Isra Mi'raj, yakni peristiwa hijrahnya Nabi dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa dan selanjutnya Nabi naik ke Sidratal Muntaha (langit ketujuh). Naga mewakili pengaruh Tiongkok. Liman atau gajah simbol Ganesha dalam Hindu.

Bentukan akulturasi itu tersebar di Kota Cirebon. Termasuk masjid-masjid yang dibangun pada abad ke-16, pada masa Sunan Gunung Jati. Masjid Merah Panjunan, misalnya, dibangun dengan tonggak dan soko guru yang mewakili bangunan Jawa, dengan atap sirap dan bentuknya yang joglo. Masjid itu dikelilingi pagar tembok berwarna merah dan pintu masuknya berupa gerbang sebuah pura Hindu. Di dalam masjid itu terdapat ornamen piring-piring dari Tiongkok.

Nurdin M Noer, penulis dan penggiat basa Cerbon (bahasa Cirebon), dalam bukunya berjudul Menusa Cerbon (2009), menerangkan kawin-mawin kebudayaan di Cirebon itu tidak disertai dengan satu sifat yang gelisah.

"Perwujudan kesenian mereka licin dan tegas sehingga unsur yang berbeda akhirnya tidak hanya menghasilkan satu benda kesenian, tetapi satu kesatuan yang mempunyai tempatnya sendiri. Keseluruhannya jauh lebih agung daripada jumlah bagian-bagiannya," urainya.

Dalam pergulatannya di tingkat lokal, berbicara soal Cirebon juga lebih adil jika menyertakan lingkup daerah yang lebih luas dan menjadi penyangganya, yakni Indramayu. Cirebon dan Indramayu berbagi kesamaan karakter seni dan budaya, tapi tetap memiliki kekhasan.


Belum diolah

Segenap potensi itu adalah modal penting untuk menjadikan Cirebon sebagai Kota Wisata. Itu sebabnya, Wali Kota Cirebon Nasrudin Azis berkali-kali menegaskan ingin membawa Cirebon menjadi Kota Wisata.

Sejak tahun 2013, investor berduyun-duyun menanamkan modal di bidang perhotelan dan restoran. Tercatat lebih dari 50 hotel baru yang mendaftarkan izin untuk berdiri di Cirebon. Investor melihat potensi wisata Cirebon yang besar itu berlandaskan pada kekayaan seni-budayanya. Di sisi lain, infrastruktur di Cirebon Raya, meliputi juga Indramayu, Majalengka, dan Kuningan, maju pesat dengan rencana pengoperasian Bandara Kertajati di Majalengka tahun 2017, serta beroperasinya Tol Cikopo-Palimanan sejak Juni 2015.

Akan tetapi, belum terlihat geliat berarti Pemkot Cirebon untuk mewujudkan kota wisata itu. Jika lengah, potensi wisatawan yang besar itu bisa hilang.

"Persaingan hotel di sini gila-gilaan. Tidak hanya hotel besar dan kecil yang berdiri, tetapi juga penginapan kecil juga ikut bertarung. Di satu sisi, ceruk pasar amat terbatas. Cirebon belum mengembangkan daya tarik berskala nasional yang bisa membuat orang datang ke sini," kata Imam Reza Hakiki, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Cirebon.

Benda dan bangunan cagar budaya di Cirebon belum optimal dikemas menjadi paket wisata yang menarik. Orang hanya lewat Cirebon untuk makan nasi jamblang, empal gentong, dan nasi lengko. Akan tetapi, para pengunjung itu mungkin tidak akan menginap, membeli oleh-oleh, dan berbelanja di sentra-sentra kerajinan Cirebon jika kota itu tidak memiliki daya tarik yang kuat.

"Banyak bangunan bersejarah dan unik, tapi tidak dikemas. Cirebon juga punya banyak kesenian, seperti sandiwara, tari, dan musik, tetapi semua tidak diolah menjadi satu sajian pertunjukan yang rutin dan berskala nasional. Jika orang datang ke sini, tanpa ada event apa-apa, mereka pasti ingin cepat pulang. Apalagi ada Tol Cipali yang bisa dua-tiga jam saja ke Jakarta dan Bandung," ujar Reza resah.

Selama ini okupasi hotel di Cirebon saat akhir pekan sekitar 50 persen, sedangkan saat hari kerja sampai 70 persen. Tamu adalah pebisnis, pedagang, dan pegawai pemerintah.

Masalah lain, menurut Mustaqim Asteja, Koordinator Kendi Pertula, komunitas pencinta sejarah Cirebon, hilangnya ruang publik dan bangunan cagar budaya yang kini berubah menjadi mal dan hotel. Padahal, itulah kekayaan Cirebon.

"Kantor Wali Kota Cirebon dulunya juga merupakan balai kota terindah di Jawa Barat. Balai Kota Cirebon selesai dibangun tahun 1927, di bawah kepemimpinan Wali Kota RA Schotman (1925-1928). Gedung dibangun mengikuti bentuk kapal dengan dermaga yang melintang di kedua sisinya," kata Mustaqim.

Bangunan lain adalah bekas pabrik rokok British American Tobacco (BAT) di Jalan Pasuketan. Bangunan ini seperti tiada arti lagi. Sepi. Almarhum Wali Kota Cirebon Ano Sutrisno pernah berupaya menjadikan kawasan di sekitarnya itu sebagai area jajanan anak muda di malam hari. Namun, nilai historis bangunan beserta kekayaan budayanya di kawasan pecinan itu belum dioptimalkan. Padahal, di Surabaya mengembangkan pecinan di Kembang Jepun menjadi sentra makanan bertema Tionghoa, Kya Kya.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Juli 2015, di halaman 22 dengan judul "Pergulatan Kota Perbatasan".

Comments: