Kini Waktu Membangun Bitung

Kamis, 9 Juli 2015 | 15:00 WIB
KOMPAS/DEFRI WERDIONO Suasana jalan lengang di Kota Bitung, Sulawesi Utara, Selasa (23/6). Selama ini Bitung, yang berhadapan langsung dengan Laut Maluku, dikenal sebagai kota pelabuhan yang erat dengan industri perikanan.

Oleh Jean Rizal Layuck dan Defri Werdiono


Kota Bitung di Sulawesi Utara menjadi kota pelabuhan penting di Tanah Air. Kota berpenduduk sekitar 190.000 jiwa itu adalah gerbang utama negeri ini di utara. Pemerintah menetapkannya sebagai Kawasan Ekonomi Khusus tahun 2014. Bitung dikenal sebagai kota industri perikanan maju, dengan memiliki 17 unit pengolahan ikan dan terbanyak di Indonesia.

Kini Bitung bercita-cita menjadi kota tuna internasional, mengalahkan General Santos di Filipina selatan. Momentum memajukan Bitung tentu hal baik dilakukan dari sekarang. Kondisi masyarakat stabil dan pemerintahan relatif jujur jadi modal penting meraih kepercayaan dunia usaha.

Pemerintah Kota Bitung meraih empat kali penilaian wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Bitung juga meraih tiga besar sebagai kota berintegritas di Indonesia dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2012, 2013, dan 2014.

Bitung malah "mengalahkan" Kota Surabaya, Jawa Timur, tahun 2013 ketika meraih ranking pertama kota berintegritas, kota tempat mereka belajar sistem perizinan satu atap.

Di bawah kepemimpinan Wali Kota Hanny Sondakh, Bitung meraih 200 lebih penghargaan sebagai kota dengan aneka kemajuan di bidang kesehatan, pendidikan, tenaga kerja, lingkungan, dan pemerintahan dalam kurun waktu lima tahun.

Kerja transparan dan akuntabilitas publik yang baik menjadikan Bitung sebagai kota investasi terbaik di Tanah Air. Laju investasinya mencapai Rp 5,5 triliun dalam kurun lima tahun, terdiri dari Rp 2 triliun investasi asing dan Rp 3,5 triliun investasi dalam negeri.

Hanny Sondakh menjamin tak ada pungutan di luar ketentuan ketika pengusaha atau warga mengurus izin. "Kalau pegawai kami melakukan pungli (pungutan liar) saat ini juga saya pecat," katanya.

Kepala Bidang Humas Pemerintah Kota Bitung Erwin Kontu mengatakan, penerapan pengurusan izin satu atap di kota itu dilakukan sejak tahun 2010, memberi inspirasi kepada warganya untuk hidup jujur. Sistem izin satu atap itu melingkupi 20 urusan, antara lain mulai akta lahir, akta keluarga, izin mendirikan usaha, dan izin mendirikan bangunan.

"Masyarakat mengurus izin tidak perlu bertatap muka dengan pegawai, cukup memasukkan berkas sesuai persyaratan, izin dijamin terbit sesuai target hari. Kami memakai sistem SMS gateway selalu melaporkan perkembangan izin kepada warga," katanya.

Dengan kondisi pemerintah dan warga yang baik dan stabil, sesungguhnya bukan hal sulit untuk membangun Bitung. Paradigma Bitung sebagai pintu gerbang Indonesia di kawasan Asia Pasifik telah diketahui seluruh warganya.

Jargon membangun Bitung sama artinya membangun Indonesia juga menjadi pola pikir dan pola tindak dari 3.928 birokrat Pemkot Bitung dan pemangku kepentingan lainnya. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menaruh harapan besar pada Bitung menjadi kota utama perikanan tuna di Indonesia dan internasional.

Susi prihatin keberadaan Bitung kalah pamor dengan General Santos, kota di Filipina Selatan. Ekspor ikan tuna dari Bitung setiap tahun hanya bernilai Rp 40 miliar, kalah jauh dari General Santos yang memiliki nilai ekspor tuna 2 miliar dollar Amerika Serikat (AS). Padahal, sebagian ikan tuna itu ditangkap di perairan Sulawesi.

Susi menduga banyaknya pabrik dan unit pengolahan ikan di Bitung bagian dari kamuflase dari pengusaha ikan tuna di Filipina. "Mereka mendapatkan izin pabrik, tetapi ikan ditangkap dibawa ke Filipina. Moratorium memang sakit, tetapi saya ingin Bitung mengalahkan General Santos", katanya.

Kebijakan moratorium dari Susi berdampak pada aktivitas usaha perikanan masyarakat setempat sehingga terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) ribuan pekerja. Wakil Wali Kota Bitung Max Lomban meminta pemerintah mengeluarkan petunjuk teknis atau pelaksanaan agar moratorium itu menjadi jelas di lapangan.

Namun, Lomban mengatakan, Bitung tidak larut dengan persoalan moratorium. Banyak persoalan harus dikerjakan untuk masyarakat di kotanya.


Poros Pasifik

Sekitar 50 tahun lalu, Bitung berasal dari nama sebuah pohon di sebuah desa sepi. Seiring dengan berjalannya waktu, desa itu berubah menjadi kecamatan di Kabupaten Minahasa. Pada dekade 1960-an, Gubernur Sulut Hein Victor Worang mengubah Bitung menjadi kota pelabuhan. Ia memindahkan pelabuhan utama Sulut dari Amurang ke Bitung, dengan posisi pelabuhan di Selat Lembeh.

Bitung bergeliat ketika tahun 1980-an menjadi kota administratif pertama di Indonesia, dengan Wali Kota SH Sarundajang. Tahun 1990, Bitung dikukuhkan menjadi wilayah otonomi.

Sarundajang kini Gubernur Sulut. Ia pernah memimpin Bitung selama 15 tahun sejak tahun 1985 dan juga bermimpikan Bitung nan maju. Pada masa pemerintahannya, Sarundajang membangun jalan utama kota Bitung selebar 50 meter sepanjang 5 kilometer (km).

Kemajuan Bitung di depan mata, dengan penetapan pemerintah pusat sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) tahun 2014. Hal ini membuat pemerintah setempat bekerja keras dengan mendirikan sejumlah prasarana. Satu hal menonjol, yakni membangun sekolah berbasis perikanan, antara lain Akademi Komunitas Logistik. Di Indonesia, akademi seperti ini hanya ada di Bitung dan Batubara, Sumatera Utara. Akademi itu sudah berjalan dua tahun dengan siswa sekitar 200 orang.

Letak Bitung di bibir Samudra Pasifik sebenarnya menguntungkan Indonesia untuk bisa menumbuhkan daya saing ekonomi di Asia Timur yang prospektif. Kota seluas 304 km persegi itu menjadi sentral dari percaturan ekonomi kawasan Pasifik dengan ekonomi Asia Timur. Garis ekonomi itu ditandai dengan kehadiran koridor selatan-utara. Jalur itu menyatukan Selandia Baru, Australia, Indonesia serta Filipina, Tiongkok, Taiwan, Korea, dan Jepang.

Ahli ekonomi regional dari Universitas Sam Ratulangi, Manado Agus Poputra, melihat, penyatuan ekonomi Asia Timur menempatkan Indonesia pada posisi strategis menjadi titik temu penyatuan dan Bitung berada pada titik itu. Jarak dari Bitung ke pusat ekonomi di kawasan Pasifik, seperti Kaosiung, Hongkong, Shanghai, Busan, Tokyo, dan Los Angeles, lebih dekat sekitar 50 persen dibandingkan dari Jakarta atau Surabaya.

Waktu tempuh dari Bitung ke kota-kota itu, dengan kapal, juga lebih hemat rata-rata 350 jam atau hampir 15 hari. Pelayaran dari Pelabuhan Bitung ke enam kota utama di Pasifik menghemat rata-rata 2,9 juta dollar AS dibandingkan dengan dari Tanjung Priok, Jakarta.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Juli 2015, di halaman 22 dengan judul "Kini Waktu Membangun Bitung".

Comments: