Kota Administratif Jakarta Selatan: Kawasan Hijau Dipertahankan...

Jumat, 26 Juni 2015 | 15:00 WIB
KOMPAS/PRIYOMBODO Suasana asri di Taman Matraman di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (25/6). Lokasi taman yang masih tergolong baru itu dulunya adalah area SPBU yang kemudian dikembalikan ke fungsinya sebagai jalur hijau. Taman baru sebagai ruang terbuka hijau (RTH) tumbuh di kawasan Jakarta Selatan.


Oleh Denty Piawai Nastitie


Dahulu Jakarta Selatan dikenal sebagai daerah resapan air yang hijau, teduh, dan tenang. Namun, seiring pesatnya perkembangan kota, kini gedung bertingkat tumbuh menjamur. Sejumlah program pun dibuat untuk mempertahankan ruang terbuka hijau yang kian terbatas.

Noviansyah (17), lulusan SMA Gita Kirti, Jakarta Selatan, berlatih marawis di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Bahari atau Taman Bahari di Jalan Bahari, Kelurahan Gandaria Selatan, Jakarta Selatan, Selasa (23/6) sore. Bagi warga yang biasa tinggal di permukiman padat penduduk, RPTRA seperti oase di tengah padang gurun. "Udara di sini segar, banyak angin, dan tanaman hijau," katanya.

Dia berlatih marawis bersama puluhan remaja Masjid Darul Falah. Di dekat mereka puluhan anak dan remaja lain bermain ayunan, perosotan, dan sepak bola. Ada pula orang dewasa yang menggendong anak balita sambil melihat air mancur.

Rosidah (30), ibu rumah tangga, menuturkan, keberadaan ruang terbuka hijau (RTH) seperti RPTRA Bahari sangat dirindukan warga. "Di lingkungan saya nyaris tidak ada lagi lahan terbuka. Biasanya anak-anak bermain di gang permukiman warga," kata ibu yang datang ke RPTRA Baharu bersama kedua anaknya, Vina (6) dan Adit (1).

Taman Bahari dulu merupakan bekas lapangan futsal milik Dinas Olahraga DKI Jakarta. Bekerja sama dengan sejumlah perusahaan swasta, sejak awal tahun 2015, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membangun lapangan itu menjadi ruang terbuka, RPTRA Bahari.

Aneka tumbuhan vertikal dan sayuran ditanam. Taman itu dilengkapi fasilitas permainan anak, seperti perosotan dan ayunan, selain ada juga lapangan bulu tangkis, lapangan futsal, panggung pertunjukan, dan bangunan dua lantai yang dipakai untuk perpustakaan, ruang pendidikan anak usia dini, posyandu, dan ruang laktasi.

Tahun ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merencanakan membangun 60 RPTRA di Ibu Kota. Di Jakarta Selatan, lokasi pembangunan tersebar di 13 lokasi, antara lain di Kelurahan Petukangan Selatan, Jagakarsa, Ciganjur, Pejaten Timur, Pejaten Barat, dan Kebagusan. Keberadaan RPTRA adalah salah satu contoh pembangunan RTH yang berkontribusi penting untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman warga.

Penyimpangan RTRW

Dengan kondisi geografis yang berbukit-bukit dan berada jauh dari laut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan Jakarta Selatan sebagai kawasan hijau dan daerah resapan air. Dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW), pengembangan daerah selatan Jakarta dibatasi. Meski aturan sudah dibuat, penyimpangan rencana tata ruang itu masih terjadi.

Setiap tahun ada kecenderungan peningkatan proporsi lahan terbangun di Jakarta Selatan. Tahun 1983, areal terbangun di kota ini masih 26 persen dari luas total. Dua puluh tahun berikutnya, kawasan terbangun meningkat menjadi 72 persen. Persentase ini lebih besar dibandingkan dengan proporsi daerah terbangun di Jakarta Utara dan Timur (Kompas, 20 Desember 2013)

Kawasan Kemang, misalnya, dahulu dikenal sebagai kawasan permukiman alami. Sampai 1987, wilayah itu masih sangat nyaman dihuni karena terdapat banyak tanah lapang dan pohon yang subur. Rumah dibangun dengan halaman yang luas. Jarak satu rumah dengan rumah lain berjauhan.

Dalam Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) 2005 (1985-2005), kawasan yang menjadi bagian daerah aliran Sungai Krukut ini ditetapkan sebagai kawasan permukiman dengan pengembangan terbatas karena mengemban fungsi sebagai daerah resapan air. Namun, sejak pertengahan 1990-an, kawasan ini berubah menjadi kawasan komersial yang disesaki kafe, restoran, hotel, dan pertokoan.

Untuk menghindari perubahan fungsi lahan yang kian parah, Kemang ditetapkan sebagai kampung modern. Luas bangunan dibatasi hanya 20 persen dari keseluruhan tanah. Tinggi bangunan maksimal tiga lantai.

Kenyataannya, Kemang kini semakin padat bangunan. Jika curah hujan tinggi, muncul genangan dan banjir di lokasi yang rendah. Kemacetan juga sering terjadi karena jalan yang tak terlalu lebar di daerah ini diperuntukkan bagi jalan lingkungan permukiman.

Kondisi serupa juga terjadi di kawasan Tebet. Dalam 5-10 tahun terakhir, kecamatan itu berkembang dari daerah hunian menjadi pusat bisnis dan kuliner. Sejumlah kos, hotel, pusat perbelanjaan, rumah makan, salon, dan kafe menjamur.

Tebet berada di lokasi yang strategis karena berbatasan dengan Sungai Ciliwung dan jalan raya, seperti Jalan MT Haryono dan Casablanca. Kawasan ini juga berdekatan dengan Stasiun dan Terminal Terintegrasi Manggarai, Stasiun Tebet, dan Stasiun Cawang. Kemudahan akses itulah yang mendorong pesatnya perkembangan Tebet.

Beberapa waktu lalu, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menyatakan, pembangunan Tebet menyalahi peruntukan. Sejumlah bangunan di Kelurahan Tebet Timur berdiri di lahan yang semestinya untuk ruang terbuka hijau. Lebih dari 800 keluarga yang tinggal di daerah itu terancam digusur karena tak memiliki izin mendirikan bangunan. Wali Kota Jakarta Selatan diminta membongkar bangunan yang menyalahi peruntukan itu.

Namun, membongkar bangunan di Tebet ternyata tidak mudah. Wali Kota Jakarta Selatan Syamsudin Noor mengatakan, pembongkaran bangunan harus diiringi dengan penyediaan tempat tinggal berupa rumah susun bagi warga.

Dipacu infrastruktur

Pengamat tata kota Yayat Supriyatna mengatakan, pertumbuhan wilayah selatan dipacu pembangunan infrastruktur jalan. Sejak ada Jalan Raya TB Simatupang, misalnya, gedung bertingkat tumbuh menjamur di kiri dan kanan jalan itu.

Selain tumbuh kawasan bisnis baru, permintaan lahan untuk hunian juga meningkat. Pembangunan kereta massal cepat (MRT), jembatan layang khusus bus transjakarta Koridor XIII, dan jembatan layang Kuningan Selatan akan mendorong pertambahan pusat bisnis baru di Jakarta Selatan.

Menurut Yayat, pembangunan di Jakarta Selatan sudah meninggalkan aspek konservasi lingkungan. "Saya tidak melihat ada kebijakan pendukung untuk menambah resapan air. Harusnya ada kebijakan yang memaksa pengusaha membuat resapan air di sekitar bangunan yang didirikannya," paparnya.

Pembangunan taman yang gencar dilakukan Pemerintah Kota Jakarta Selatan, jelasnya, hanyalah usaha mempercantik lingkungan. Pembangunan tidak diimbangi alokasi anggaran yang memadai untuk merawat dan mempertahankan fungsi taman. Akibatnya, banyak taman yang rusak dan dibiarkan tak terawat. Pengerukan situ, waduk, dan rawa untuk dijadikan permukiman juga memperparah kondisi wilayah Jakarta Selatan.

Untuk menjadikan Jakarta Selatan sebagai wilayah yang nyaman dihuni, Pemerintah Kota Jakarta Selatan harus lebih aktif menangani berbagai masalah yang ada.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Juni 2015, di halaman 26 dengan judul "Kawasan Hijau Dipertahankan...".

Comments: