Kota Administratif Jakarta Barat: Pendulang Uang dan Kenangan

Selasa, 23 Juni 2015 | 15:00 WIB
KOMPAS/ RADITYA HELABUMI Sentra perdagangan di Glodok, Jakarta Barat.


Oleh Windoro Adi/Dian Dewi Purnamasari


Sentra perdagangan grosir dan tempat hiburam malam, menjadi pendulang uang terpenting Jakarta Barat. Menurut Wali Kota Jakbar Anas Efendi, dari sentra perdagangan dan tempat hiburan malam, setiap tahun kota ini meraup pendapatan asli daerah sebesar Rp 10 triliun, terbesar di antara kota lain di DKI Jakarta.

Kota Tua Jakarta, yang memiliki luas lahan 846 hektar dengan 284 bangunan cagar budaya, sebagian besar di wilayah Jakarta Barat (Jakbar). "Sebanyak 80 persen di antaranya berada di Jakbar, 20 persen sisanya ada di Jakarta Utara," tutur Candrian Attahiyat, pemerhati cagar budaya Jakarta, Senin (22/6), di Jakarta.

Berbeda dengan tempat lain di Provinsi DKI Jakarta, usia sebagian besar sentra perdagangan di Jakbar, yang tumbuh dari kawasan pecinan, bisa dibilang sama dengan Batavia. Inilah yang membuat beberapa lokasi di sentra perdagangan itu diwarnai romantisme masa lalu yang bisa dijual sebagai paket kunjungan wisata.

Sentra perdagangan Glodok misalnya. Kawasan ini mulai berkembang pasca peristiwa pembantaian Tionghoa pada 9-11 Oktober 1740 di era Gubernur Jenderal Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda atau Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) Adrian Valckenier (1737-1741).

"Wilayahnya membentang dari Pancoran-Asemka-Toko Tiga-Perniagaan hingga persimpangan pertama Jalan Tubagus Angke-Jalan Layang Asemka-KH Moh Mansyur. Kita bisa menandai dengan keberadaan rumah berarsitektur Tionghoa dan wihara berusia tua," tutur Mona Lohanda, sejarawan Jakarta, beberapa waktu lalu.

Oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin, sentra perdagangan grosir dari kawasan Pecinan ini pada 1970-an diperluas hingga kawasan Mangga Besar yang awalnya menjadi sentra kegiatan kesenian komersial Princen Park (kini Lokasari). Kawasan di seberang Glodok pun diperluas, yang kini dikenal sebagai kawasan Jalan Blustru.

Kawasan ini terdiri dari kompleks pertokoan Glodok Blustru, Glodok Metro, HWI Lindeteves, Sinar Laut Abadi, dan pertokoan sepanjang Jalan Mangga Besar 1. Kawasan ini sejak awal dikenal sebagai sentra perkakas teknik dan pertukangan terlengkap dan termurah di Tanah Air.

Sentra perdagangan Asemka yang membentang dari Jalan Perniagaan Timur sampai Jalan Pintu Kecil dikenal sebagai pusat grosir mainan dan perlengkapan sekolah anak, aksesori perempuan, perlengkapan olahraga, dan perlengkapan pada musim hujan. Tak jauh dari situ terdapat kawasan Toko Tiga yang populer sebagai sentra perdagangan mesin jahit sejak 1973. Kawasan ini awalnya memasok mesin jahit bagi industri konfeksi di Kecamatan Tambora. Di Jalan Cengkeh, sejak 1950-an, pedagang asal Aceh menjadikan tempat ini sebagai sentra pembuatan dan perdagangan terpal dan tenda. Hingga kini, sentra itu masih belum tertandingi dibandingkan sentra lain serupa.

Pendulang uang lainnya di Jakbar, adalah bisnis tempat hiburan malam. Jakbar memiliki 60 persen dari total tempat hiburan malam di Jakarta yang jumlahnya mencapai 1.350 unit. Dari angka itu, hampir seluruhnya di kawasan Mangga Besar.

Menurut Ketua Perhimpunan Pengusaha Tempat Rekreasi dan Hiburan Umum Adrian Maelite, sampai sekarang pajak hiburan masih di peringkat ketiga dalam hal pemasukan pajak di DKI Jakarta. "Dari target pajak hiburan sebesar Rp 2,3 triliun tahun ini, sekitar Rp 300 miliar berasal dari tempat hiburan malam," jelasnya di Jakarta, Minggu.


Kota Tua

Bagi Jakbar, Kota Tua menjadi pendulang uang berikutnya. Ada banyak museum di kawasan ini, seperti Museum Jakarta, Museum Keramik, Museum Wayang, Museum Bank Mandiri, dan Museum Bank Indonesia. Cagar budaya berupa rumah ibadah pun bertebaran.

Menyusuri Jalan Perniagaan Raya menuju Jalan Tubagus Angke, ada beberapa masjid dan langgar yang berusia lebih dari 100 tahun. Di tepi Kali Angke, di Jalan Pekojan, tampak gedung Langgar Tinggi yang dibangun tahun 1833 atau 1249 Hijriah. Tak jauh dari langgar itu terdapat masjid tertua di Jakarta yang masih berdiri, Masjid Al Anshor (1648) di Jalan Pengukiran II dan Masjid Annawar (1760) di Jalan Pekojan 71. Di seberang Kali Angke, di Gang Mesjid 1, berdiri Masjid Angke atau Masjid Al Anwar (1761).

Beberapa cagar budaya berupa kelenteng atau wihara, adalah Kelenteng Arya Marga atau Nan Jing Miao yang dibangun tahun 1824 di Jalan Tambora 8, Kelenteng Tian-Hou atau Wihara Dewi Samudera (1784), dan Kelenteng Lu ban Gong (1784) di Jalan Bandengan Selatan. Di Jalan Kemenangan III/48 ada Kelenteng Feng-shan Miao (1751). Di Jalan Perniagaan Selatan berdiri Kelenteng Li Tie - guai atau Wihara Budhidharma.

Cagar budaya lain berupa Gereja di Jakbar, antara lain Gereja Sion yang dibangun 1695, yang berdiri di Jalan Pangeran Jayakarta 1. Cagar budaya berupa rumah seorang mayor Tiongkok adalah Gedung Candra Naya (1807 atau 1867).

Kota Batavia dirancang arsitek Simon Stevius dalam bentuk kota kembar yang dibelah Kali Besar. Kota terbagi empat bagian, yaitu Benteng Batavia di utara dekat pantai, Batavia Timur, Batavia Barat di Kalibesar, dan kawasan selatan di luar tembok benteng kota.

PT Jakarta Old Town Revitalization Corp (JOTRC), konsorsium swasta, akan merevitalisasi Oud Batavia. Ada 27 gedung yang akan direvitalisasi dan difungsikan sebagai pusat kegiatan publik. Gedung yang sudah direvitalisasi adalah Gedung Jasindo dan Kantor Pos Indonesia. Dana revitalisasi berasal dari saham yang ditanamkan sembilan perusahaan.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Juni 2015, di halaman 22 dengan judul "Pendulang Uang dan Kenangan".

Comments: