Kota Administratif Jakarta Utara: Pergulatan Kota 13 Muara

Senin, 22 Juni 2015 | 15:00 WIB
KOMPAS/PRIYOMBODO Waduk Pluit di Penjaringan, Jakarta Utara, yang terus dinormalisasi melalui pembersihan sampah dan pengerukan lumpur, Rabu (4/3/2015).


Oleh Saiful Rijal Yunus


Banjir adalah hal akrab bagi warga di Jakarta, terlebih di wilayah utara provinsi khusus ini. Dengan muka tanah yang lebih rendah dari permukaan laut, bangunan yang terus tumbuh, dan semakin hilangnya pesisir, membuat wilayah ini paling rentan terendam. Sejumlah program pun dilakukan agar dapat meminimalisasi dampak dari rendaman banjir yang semakin parah.

Telah puluhan tahun Luki (27) menetap di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Bersama keluarganya, karyawan swasta ini menempati salah satu kawasan yang saat ini semakin sesak oleh bangunan. Selama itu pula, semenjak ia mampu mengingat masa kecilnya, banjir rutin menyapa kediamannya.

"Kalau banjir semata kaki hingga betis itu biasa, rutin terjadi setiap tahun. Banjir pada awal tahun ini lumayan, karena mencapai pinggang," ucapnya, di Jakarta, Rabu (17/6).

Bahkan, lanjut Luki, pada banjir 2007 lalu, tinggi air di dalam rumahnya mencapai dada atau lebih dari 1 meter. Untuk membersihkan rumah, harus menghabiskan waktu selama seminggu karena tebal lumpur mencapai 15 sentimeter.

Kawasan Kelapa Gading hanya salah satu wilayah yang rentan banjir dari enam kecamatan di Jakarta Utara. Wilayah Pademangan, Koja, Cilincing, Tanjung Priok, hingga Penjaringan setiap tahun tak lepas dari hantaman banjir.

Kapuk Muara, Kamal Muara, dan sebagian Sunter merupakan beberapa wilayah yang memiliki masalah lain. Saat air laut pasang, wilayah tersebut selalu ikut terendam karena terkena banjir rob.

Sebagai daerah pesisir, Jakarta Utara menjadi muara 13 sungai yang mengalir di wilayah Jakarta. Hal itu juga berarti wilayah yang memiliki luas daratan 154,11 kilometer persegi ini sekaligus menjadi pintu gerbang gelombang pasang yang tak jarang menimbulkan banjir rob.

Sejak dari Masa Tarumanagara, sekitar 1.600 tahun lalu, pembuatan saluran air telah menjadi salah satu strategi raja. Prasasti Tugu yang ditemukan di Kampung Batutumbuh (sekarang wilayah Kelurahan Tugu Selatan, Kecamatan Koja, Jakarta Utara), tahun 1911, mengisahkan hal itu.

Purnawarman disebut membangun dua saluran air yang diberi nama Chandrabhaga dan Gomati (dua nama sungai di India) melintasi istananya. Panjang saluran air 6.122 tombak atau sekitar 11 kilometer (Kompas, 27 Juli 2013).

Saat ini, data Pemerintah Kota Jakarta Utara menunjukkan, jumlah panjang saluran air makro (kali dan sungai) yang terdapat di wilayah ini sepanjang 99,9 kilometer.

Sementara itu, total panjang semua saluran air, baik makro, mikro, maupun saluran penghubung, mencapai 799 kilometer. Faktanya, tidak semua saluran air ini berfungsi dengan baik karena tertutup sedimentasi. Sebagian di antaranya bahkan diokupasi bangunan.

"Oleh karena itu, perbaikan saluran air itu harus terus dilakukan. Air pasti tidak bisa mengalir apabila penuh lumpur, yang akan berujung pada tergenangnya wilayah sekitar. Normalisasi saluran juga terus diupayakan," kata Wali Kota Jakarta Utara Rustam Effendi.

Normalisasi sejumlah saluran, baik makro maupun mikro, memang terus dilakukan. Pada saluran makro, normalisasi yang dilakukan pemprov dan pemerintah pusat, terhitung sebagian besar kali dan sungai, telah dikerjakan, seperti Kali Sunter, Kali Angke, Kali Adem, Kali Asin, Kali Tanjungan, juga Kali Sentiong.

Selain saluran, tambah Rustam, hal yang mendesak lainnya ialah penambahan waduk dan sistem polder. Air yang melimpah ditampung terlebih dahulu, lalu dialirkan ke kali menuju laut dengan mesin berkapasitas besar.

Butuh waduk

Waduk memang sangat diperlukan wilayah ini karena wilayah utara merupakan daerah cekungan dengan sekitar 60 persen wilayah berada di bawah permukaan laut. Akibatnya, sebagian besar wilayah ini seperti menjadi cawan penampung air. Oleh karena itu, prinsip dasar pengendalian banjir di DKI menggunakan sistem waduk.

Berdasarkan data Pemkot Jakarta Utara, terdapat sekitar 11 waduk dengan kapasitas yang berbeda. Beberapa yang berkapasitas besar adalah Waduk Pluit, Waduk Sunter Barat, dan Waduk Rawa Barat.

Namun, jumlah waduk ini masih kurang, terutama saat debit air melimpah. Kepala Suku Dinas Tata Air Jakarta Utara Kasna menyampaikan, pembangunan tiga waduk menjadi prioritas tahun ini.

Tiga waduk itu adalah Waduk Marunda seluas 40 hektar, Waduk Karang Kendal seluas 20 hektar, dan Waduk Kelapa Gading Barat dengan luas 3,8 hektar. Waduk yang terakhir saat ini dalam pengerjaan Dinas Tata Air Pemprov DKI Jakarta.

"Dua yang lain berlokasi di Cilincing dan masih terkendala pembebasan lahan. Semoga cepat kelar dan bisa segera berfungsi. Sebab, daerah timur, yaitu Kelapa Gading, Koja, dan Cilincing memiliki waduk yang terbatas," ujarnya.

Tidak hanya waduk, tambah Kasna, sistem pengendali air laut juga perlu dilakukan. Hal itu dapat dilakukan dengan peninggian tanggul juga pemasangan pintu air di muara 13 sungai yang ada.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Juni 2015, di halaman 22 dengan judul "Pergulatan Kota 13 Muara".

Comments: