Ini yang Harus Dilakukan Investor Saat IHSG dalam Tren “Bearish”

Jumat, 13 Mei 2022 | 15:30 WIB

Karyawan melintas di dekat layar pergerakan Index Harga Saham Gabungan (IHSG) saat merebaknya wabah Covid-19 di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Kamis (28/4/2020).ANTARA FOTO/GALIH PRADIPTA Karyawan melintas di dekat layar pergerakan Index Harga Saham Gabungan (IHSG) saat merebaknya wabah Covid-19 di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Kamis (28/4/2020).


JAKARTA, KOMPAS.com – Sejak awal pembukaan perdagangan pada awal pekan, pasca libur panjang lebaran Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berada dalam trend penurunan atau bearish. Dalam sepekan bahkan IHSG turun lebih dari 8 persen, di bawah level psikologisnya 7.000.

Menurut Head of Technical Analyst Research BNI Sekuritas, Andri Zakaria Siregar, indeks akan mengalami tren bearish selama masih berada di bawa level 6.902.

“Berdasarkan indikator MACD, IHSG masih dalam trend Bearish, dari indikator stochastic menunjukkan kecenderungan masih oversold dan dominan sell power,” kata Andri, Jumat (13/5/2022).

Baca juga: IHSG Sesi I Naik Tipis, Saham–Saham “Big Caps” Masih Ramai Dilepas Asing

Senior Investment Information Mirae Aset Sekuritas Indonesia, Nafan Aji Gusta mengatakan, pergerakan indeks pekan ini sudah menyentuh titik support di level 6.550. Menurut dia, level tersebut merupakan level idean pasar melakukan akumulasi.

“Kalau di level tersebut termasuk ideal bagi pelaku pasar untuk melakukan aksi akumulasi. Selama IHSG mengalami penurunan, memang 'Sell on May and Go Away' maish relevan. Penurunan IHSG juga dipengaruhi faktor sikap investor dalam merespon kebijakan The Fed saat market Indonesia libur,” tambah dia.

Selain itu, sentimen global kenaikan suku bunga The Fed dan juga dampak perang Rusia–Ukraina menjadi salah satu penyebab pelemahan IHSG. Pelaku pasar juga masih mencermati inflasi, dan laporan pendapatan kuartalan emiten juga masih menjadi sebab pelemahan.

Baca juga: Rupiah dan IHSG Bergerak di Zona Merah Pagi Ini

“Walaupun data kita oke, dengan tingkat keperacaan konsumen masih tinggi, ekspektasi pelaku pasar, adalah Bank Indonesia akan mendukung kebijakan suku bunga The Fed,” kata Nafan kepada Kompas.com.

Menurut dia, Bank Indonesia sudah seharusnya mendukung kebijakan kenaikan suku bunga The Fed, untuk stabilitas pertumbuhan ekonomi. Selain itu, intervensi Bank Indonesia juga bisa dilakukan dengan membeli obligasi yang dilepas oleh asing.

Aksi panic selling juga masih terjadi di bursa saham tanah air. Maka dari itu, investor perlu jeli memilah mana saham yang memiliki prospek bagus kedepannya. Nafan menjelaskan, memasuki musim laporan keuangan kuartalan emiten, ada baiknya investor mencermati saham–saham yang berkinerja baik untuk dikoleksi.

“Kalau ada laporan keuangan yang bagus, itu boleh dicermati atau investor bisa lakukan akumulasi,” tegas Nafan.

Sebagai informasi, dalam sepekan aksi jual bersih asing mencapai Rp 8,2 triliun. Adapun total transaksi menapai Rp 94,3 triliun dengan volume 111,7 miliar. Sementara saham yang paling banyak dilepas asing dalam sepekan mencakup Bank Central Asia (BBCA) dan Bank Rakyat Indonesia (BBRI) masing – masing Rp 3,4 triliun dan Rp 1,6 triliun.

Baca juga: IHSG Anjlok, Harta Crazy Rich RI Menyusut Rp 18,89 Triliun dalam Sehari


Penulis : Kiki Safitri
Editor : Akhdi Martin Pratama