Soal Pembacokan 10 Orang di Kediri, Akademisi Menduga Pelaku Tak Terkoneksi Sistem Masyarakat

Kamis, 17 Maret 2022 | 19:55 WIB

Suasana rumah Kasianto, salah korban pembacokan, di Desa Pojok, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.KOMPAS.com/M.AGUS FAUZUL HAKIM Suasana rumah Kasianto, salah korban pembacokan, di Desa Pojok, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.

KOMPAS.com - Penyerangan membabi buta yang dilakukan seorang warga berinisial R di Desa Pojok, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, meninggalkan duka bagi para korban.

Penyerangan yang terjadi Senin (8/3/2022) tersebut menyebabkan tiga warga tewas dan tujuh orang terluka termasuk orangtua pelaku.

Setelah menyerang warga, R kabur ke area perkebunan. Penangkapan R sempat membuat petugas kewalahan. Bahkan petugas harus mengeluarkan tembakan peringatan saat mengamankan R.

Baca juga: Tetangga Tolak Pelaku Pembacokan 10 Orang di Kediri Pulang ke Desanya

Saat dikejar R juga masuk ke rumah orangtuanya dari pintu belakang dan duduk diam di kamar seperti orang sembayang.

R yang saat itu sudah tidak membawa parang, terlibat adu fisik dengan dua orang petugas polisi yang hendak menangkapnya.

Sementara itu Kepala Desa Pojok Darwanto mengatakan warga menolak jika R pelaku pembacokan 10 orang itu dipulangkan ke desa.

Penolakan dilakukan karena lingkungan tetangga merasa trauma dengan perbuatan R.

Ia mengatakan penolakan murni dari masyarakat, sedangkan pihak desa hanya menampung aspirasi.

Untuk proses hukum yang saat ini dijalani R, pihak desa menyerahkan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum.

Baca juga: Motif Pelaku Pembacokan terhadap 10 Korban di Kediri Masih Misterius

Akademisi sebut pelaku tak terkoneksi dengan sistem

Gerbang masuk Desa Pojok, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.KOMPAS.com/M.AGUS FAUZUL HAKIM Gerbang masuk Desa Pojok, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
Nurul Hidayat, akademisi dari Fisip Universitas Jember mengatakan kejadian di Kediri jika dijelaskan menggunakan prespektif anomi terjadi karena ada kesenjangan antara yang dibayangkan berupa harapan, keinginan, ekspetasi atau harapan dengan kehidupan yang dihadapi setiap hari.

"Dalam banyak kasus hal tersebut formula utamanya. Pelaku pengangguran dan ia membayangkan idealnya punya pekerjaan, punya uang. Faktanya tidak sama dengan bayangan idealnya," kata Nurul Hidayat saat dihubungi Kompas.com, Kamis (19/3/20221).

Ia mengatakan jika seseorang terlalu sering dalam kondisi semacam itu akan memicu sosial disorder.

"Pada dasarnya Tuhan dan alam sudah menjamin keberlangsungan manusia. Namun sebuah sistem yang bekerja dengan dengan logika tertentu sehingga ada orang yang terpaksa termarjinalkan," kata dia.

Baca juga: Cerita Kasianto, Korban Pembacokan Sadis di Kediri, Sempat Tak Tahu Istrinya Tewas

Perasaan termajinalkan yang berkonflik dengan naluri dasar manusia menurut Nurul Hidayat bisa keluar dalam bentuk pemberontakan.

"Ini struktur sosial. Namun dalam level pribadi gampangannya adalah yang punya perut semua orang tapi yang kenyang hanya sebagian orang. Jadi ada pertanyaan salah saya apa," ungkap dosen Fisip Unej tersebut.

Pelaku, kata Nurul Hidayat bisa jadi tak memiliki kecerdasan lingustik sehingga tak bisa menyampaikan apa yang ia rasakan. "Akhirnya diwakili pedang atau senjata tajam," kata dia.

Namun yang terpenting menurut Nurul adalah akar perbedaan yang ada di masyarakat. "Kalau dia dari warga miskin harus terjawab mengapa miskin," ujar Nurul.

Baca juga: Detik-detik Penangkapan Pelaku Pembacokan 10 Orang di Kediri, Polisi kewalahan hingga Keluarkan Tembakan

Ia mengatakan setiap orang seharusnya terkoneksi dengan sistem di masyarakat yang disebut struktur sosial. Dalam struktur tersebut setiap individu memiliki peran masing-masing.

"Seseorang seharusnya tidak boleh terasing dengan lingkungan, masyarakat bahkan dengan dirinya sendiri. Pelaku saya duga dia mengalami keterasingan tersebut dan karena ada kendala, dia merasa terputus," kata dia.

"Dengan kondisi semacam itu dia ingin menghancurkan sistem yang sudah ada. Sistem harus dilawan sistem. Jika sistem dihadang dengan indivisu maka dia akan dimakan sama sistem pada akhirnya dia ditangkap," tambah dia.

Baca juga: Kesaksian Nur Kholis, Ketua RT yang Jadi Sasaran Pertama Pembacokan Sadis di Kediri

Ia menduga pelaku berusaha melawan sistem sendirian. "Ia frustasi dan mengalami kebingungan tingkat tinggi sehingga tidak bisa kontrol lagi dan menimbang untung rugi," ungkap dia.

Untuk itu Nurul Hidyat mengatakan seharusnya sebagai anggota masyarakat harus lebih peduli dengan lingkungannya.

"Saling memberikan dukungan dan saling membantu itu mencegah orang merasa keluar dan terputus dari sistem," kata dia.

SUMBER: KOMPAS.com (Penulis: M Agus Fauzul Hakim | Editor : Dheri Agriesta)


Penulis : Rachmawati
Editor : Rachmawati