Perjalanan Kasus Bakamla, dari OTT KPK hingga Dijeratnya Korporasi

Jumat, 1 Maret 2019 | 21:02 WIB

Dua penyidik KPK menunjukan barang bukti saat konferensi pers terkait operasi tangkap tangan  di Lapas Sukamiskin di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (21/7/2018). KPK menetapkan empat orang tersangka yaitu Kalapas Sukamiskin Wahid Husen, staf Lapas Hendri Saputra sebagai penerima suap, Fahmi Darmawansyah terpidana korupsi, dan Andri Rahmad terpidana umum sebagai pemberi suap, dengan barang bukti berupa uang senilai Rp 279.920.000 dan USD 1.410, serta satu unit mobil Mitsubishi Triton Exceed dan satu Unit Mitsubishi Pajero Sport Dakkar.ANTARA FOTO/RIVAN AWAL LINGGA Dua penyidik KPK menunjukan barang bukti saat konferensi pers terkait operasi tangkap tangan di Lapas Sukamiskin di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (21/7/2018). KPK menetapkan empat orang tersangka yaitu Kalapas Sukamiskin Wahid Husen, staf Lapas Hendri Saputra sebagai penerima suap, Fahmi Darmawansyah terpidana korupsi, dan Andri Rahmad terpidana umum sebagai pemberi suap, dengan barang bukti berupa uang senilai Rp 279.920.000 dan USD 1.410, serta satu unit mobil Mitsubishi Triton Exceed dan satu Unit Mitsubishi Pajero Sport Dakkar.

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan perusahaan PT Merial Esa sebagai tersangka. 

Penetapan tersangka ini hasil pengembangan kasus dugaan suap kepengurusan anggaran Badan Keamanan Laut (Bakamla) untuk proyek pengadaan satelit monitoring dan drone dalam APBN-P Tahun 2016.

Kasus ini mulai berjalan sejak 2016.

1. Berawal dari OTT

Perjalanan kasus ini berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada 14 Desember 2016. Saat itu KPK mengamankan pejabat Bakamla dan sejumlah pihak swasta. Tim KPK juga mengamankan uang Rp 2 miliar.

Usai OTT, KPK menetapkan empat orang sebagai tersangka. Mereka adalah Deputi Informasi, Hukum, dan Kerja Sama Bakamla Eko Susilo Hadi, Direktur PT Merial Esa Fahmi Darmawansyah, dan dua orang swasta bernama Hardy Stefanus dan Muhammad Okta.

2. Vonis

Keempatnya sudah divonis oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta dalam rentang waktu berbeda

Eko Susilo Hadi

Pada Senin (17/7/2017) Eko Susilo Hadi divonis 4 tahun dan 3 bulan penjara. Eko juga diwajibkan membayar denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan.

Baca juga: Pejabat Bakamla Eko Susilo Hadi Divonis 4 Tahun 3 Bulan Penjara

Eko terbukti menerima suap dari PT Melati Technofo Indonesia. Eko terbukti menerima 10.000 dollar AS, 10.000 Euro, 100.000 dollar Singapura, dan 78.500 dollar AS.

Fahmi Darmawansyah

Fahmi Darmawansyah divonis 2 tahun 8 bulan pada Rabu (24/5/2017).

Ia juga diwajibkan membayar denda Rp 150 juta subsider 3 bulan kurungan.

Tersangka kasus suap Fahmi Darmawansyah memakai rompi tahanan seusai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (21/7/2018). Selain Fahmi, KPK juga menahan Kepala Lapas Sukamiskin Wahid Husen dan terpidana Andri Rahmad pasca-operasi tangkap tangan terkait suap atas pemberian fasilitas dan perizinan di lapas tersebut.ANTARA FOTO/RIVAN AWAL LINGGA Tersangka kasus suap Fahmi Darmawansyah memakai rompi tahanan seusai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (21/7/2018). Selain Fahmi, KPK juga menahan Kepala Lapas Sukamiskin Wahid Husen dan terpidana Andri Rahmad pasca-operasi tangkap tangan terkait suap atas pemberian fasilitas dan perizinan di lapas tersebut.
Menurut hakim, Fahmi terbukti menyuap sejumlah pejabat Bakamla, termasuk Eko Susilo. Suap tersebut terkait proyek pengadaan monitoring satelit di Bakamla.

Baca juga: Menyuap Pejabat Bakamla, Fahmi Darmawansyah Divonis 2 Tahun 8 Bulan

Kemudian, Bambang Udoyo, selaku Direktur Data dan Informasi pada Deputi Bidang Informasi, Hukum dan Kerjasama Bakamla sebesar 105.000 dollar Singapura.


Selanjutnya, Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla Nofel Hasan sebesar 104.500 dollar Singapura, dan Tri Nanda Wicaksono selaku Kepala Sub Bagian Tata Usaha Sestama Bakamla sebesar Rp 120 juta.

Pemberian uang untuk memenangkan perusahaan yang dimiliki Fahmi, yakni PT Melati Technofo Indonesia, dalam pengadaan monitoring satelit.

- M Adami Okta dan Hardy Stefanus

Mantan pegawai PT Melati Technofo Indonesia, Muhammad Adami Okta dan Hardy Stefanus, divonis 1,5 tahun penjara, Rabu (17/5/2017). Keduanya juga diwajibkan membayar denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.

Baca juga: Dua Terdakwa Penyuap Pejabat Bakamla Divonis 1,5 Tahun Penjara

Menurut hakim, Hardy Stefanus dan Muhammad Adami Okta terbukti ikut menyuap empat pejabat Bakamla.

3. Tetapkan tiga tersangka lain

Seiring perjalanannya, penanganan kasus ini berlanjut.

KPK menetapkan tiga orang sebagai tersangka, yaitu mantan anggota Komisi I DPR Fayakhun Andriadi, Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla Nofel Hasan dan Manager Director PT Rochde & Swarz Indonesia Erwin Sya'af Arief.

Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Golkar, Fayakhun Andriadi (tengah), menunggu untuk diperiksa di gedung KPK, Jakarta, Selasa (10/10). Fayakhun diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan suap pengadaan satelit monitoring atau pengawasan di Badan Keamanan Laut (Bakamla) untuk tersangka mantan Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla Nofel Hasan. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/kye/17.ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Golkar, Fayakhun Andriadi (tengah), menunggu untuk diperiksa di gedung KPK, Jakarta, Selasa (10/10). Fayakhun diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan suap pengadaan satelit monitoring atau pengawasan di Badan Keamanan Laut (Bakamla) untuk tersangka mantan Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla Nofel Hasan. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/kye/17.
-Fayakhun Andriadi

Ia diduga menerima suap berupa hadiah atau janji yang terkait dengan jabatannya.

Suap diduga merupakan fee atas jasa Fayakhun dalam memuluskan anggaran pengadaan satelit monitoring di Bakamla pada APBN-P tahun anggaran 2016.

-Nofel Hasan

Ia diduga bersama-sama menerima hadiah atau janji yang diduga diberikan terkait jabatannya sebagai PPK. Dia diduga menerima 104.500 dollar AS terkait proyek pengadaan monitoring satelit Bakamla.

-Erwin Sya'af Arief

Erwin diduga menjadi perantara dana suap dari Fahmi Darmawansyah kepada Fayakhun Andriadi yang saat itu anggota Komisi I DPR RI.

Suap itu bertujuan memuluskan pembahasan penambahan anggaran Bakamla tahun 2016 di DPR. Erwin saat ini masih menjalani penyidikan di KPK.

4. Hadapi vonis

Dua dari tiga tersangka tersebut sudah divonis oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta dalam kurun waktu yang berbeda.

-Fayakhun Andriadi

Fayakhun divonis 8 tahun penjara. Ia juga dihukum membayar denda Rp 1 miliar subsider 4 bulan kurungan.

Baca juga: Politisi Golkar Fayakhun Andriadi Divonis 8 Tahun Penjara

Fayakhun terbukti menerima suap 911.480 dollar Amerika Serikat. Uang tersebut diberikan oleh Fahmi Darmawansyah.

Uang diberikan agar Fayakhun selaku anggota Komisi I DPR mengupayakan alokasi atau ploting penambahan anggaran pada Bakamla. Anggaran tersebut diusulkan pada APBN-P 2016.

-Nofel Hasan

Ia divonis empat tahun penjara. Nofel diwajibkan membayar denda Rp 200 juta subsider dua bulan kurungan.

Baca juga: Mantan Pejabat Bakamla Nofel Hasan Divonis Empat Tahun Penjara

Novel terbukti menerima uang 104.500 dollar Singapura dari Fahmi Darmawansyah.


5. PT Merial Esa tersangka

Setelah mencermati fakta-fakta persidangan sebelumnya, KPK menemukan dugaan keterlibatan korporasi. Perusahaan milik Fahmi Darmawansyah, PT Merial Esa (ME) ditetapkan sebagai tersangka.

"KPK membuka penyidikan baru dan menetapkan sebuah korporasi sebagai tersangka, yaitu PT ME (Merial Esa)," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (1/3/2019) sore.

Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata (kanan) bersama juru bicara KPK Febri Diansyah (kiri) memberikan keterangan kepada wartawan terkait dengan penetapan tersangka baru, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Jumat (1/3/2019). KPK kembali menetapkan korporasi PT. Merial Esa sebagai tersangka baru terkait pengembangan penanganan perkara dugaan suap terhadap anggota DPR RI periode 2014-2019 Fayakhun Andriadi, dalam tindak pidana korupsi proyek pengadaan alat monitoring satelit di Bakamla yang dibiayai APBN-P tahun 2016 . ANTARA FOTO/Reno Esnir/pd. *** Local Caption ***   RENO ESNIR Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata (kanan) bersama juru bicara KPK Febri Diansyah (kiri) memberikan keterangan kepada wartawan terkait dengan penetapan tersangka baru, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Jumat (1/3/2019). KPK kembali menetapkan korporasi PT. Merial Esa sebagai tersangka baru terkait pengembangan penanganan perkara dugaan suap terhadap anggota DPR RI periode 2014-2019 Fayakhun Andriadi, dalam tindak pidana korupsi proyek pengadaan alat monitoring satelit di Bakamla yang dibiayai APBN-P tahun 2016 . ANTARA FOTO/Reno Esnir/pd. *** Local Caption ***
PT Merial Esa diduga memberikan uang kepada Fayakhun Andriadi sebesar 911.480 dollar Amerika Serikat secara bertahap.

Baca juga: Pengembangan Kasus Bakamla, KPK Tetapkan PT Merial Esa sebagai Tersangka Korporasi

Uang tersebut dikirim oleh Direktur PT Merial Esa Fahmi Darmawansyah sebanyak 4 kali lewat rekening di Singapura dan Guangzhou, China.

PT ME merupakan korporasi yang disiapkan mengerjakan proyek satelit monitoring di Bakamla setelah dianggarkan dalam APBN-P Tahun 2016.

6. Keberadaan misterius Ali Habsyi

Salah satu sosok yang masih ditelusuri oleh KPK adalah Ali Fahmi alias Ali Habsyi.

Pada persidangan Rabu (26/9/2018), salah seorang anggota majelis hakim menilai Kepala Bakamla saat itu, Laksamana Madya Arie Soedewo lalai mengangkat Ali Habsyi sebagai narasumber bidang perencanaan serta pengadaan barang dan jasa.

Sebelumnya, Arie menjelaskan, Ali Habsyi pernah mendatanginya pada saat dia dilantik sebagai kepala Bakamla pada Maret 2016. Ali menjelaskan, bahwa dia cukup berpengalaman di Kementerian Pertahanan dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Setelah itu, Arie mengaku mengangkat Ali Habsyi sebagai narasumber untuk membantunya menjalankan tugas-tugas selaku kepala Bakamla. Namun, tugas Ali hanya sebatas perencanaan dan pengadaan.

Baca juga: Hakim Anggap Kepala Bakamla Lalai Angkat Ali Habsyi sebagai Narsum

Tetapi, menurut Arie, dia baru tahu belakangan bahwa Ali mengurus usulan anggaran Bakamla di DPR. Arie juga baru mengetahui bahwa Ali menerima uang dari PT Merial Esa terkait pengusulan anggaran tersebut.

Hakim kemudian menanyakan apakah Arie mengetahui keberadaan Ali saat ini. Sebab, menurut hakim, keberadaan Ali menjadi misterius karena tidak ada yang mengetahuinya.

"Saya tidak tahu dia di mana. Tapi dulu alamatnya di Depok," kata Arie di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (26/9/2018).

7. Ali Habsyi diduga terlibat

Dugaan keterlibatan Ali Habsyi juga terungkap dari kesaksian mantan pegawai PT Merial Esa M Adami Okta di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (27/8/2018).

Adami mengatakan, agar anggaran proyek dapat diberikan pemerintah, Fahmi Darmawansyah diminta untuk memberikan fee kepada Ali Habsyi.

Menurut dia, Ali Habsyi meminta fee yang harus diberikan sebesar 7 persen dari nilai anggaran yang diperkirakan sebesar Rp 1,5 triliun.

Baca juga: Kasus Bakamla, Fayakhun Andriadi Kembalikan Uang Rp 2 Miliar ke KPK

Tahap pertama, PT Merial Esa menyerahkan fee sebesar 911.480 dollar Amerika Serikat kepada Fayakhun. Sementara, Ali Habsyi diberikan Rp 54 miliar.

Di sisi lain, KPK masih terus mencari keberadaan Ali Habsyi. Sebab, ia beberapa kali tak pernah memenuhi pemeriksaan KPK terkait kasus Bakamla ini.

"Ketika kami cek ke lokasi tempat yang bersangkutan berada itu tidak ada. KPK juga lakukan proses pencarian karena kami masih butuh pemeriksaan terhadap yang bersangkutan dalam penyidikan," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Kamis (27/12/2018).

Febri memastikan pihaknya akan terus melacak keberadaan Ali Habsyi.

Kompas TV Sidang kasus suap perizinan mantan Kalapas Sukamiskin Wahid Husein di Bandung, Jawa Barat, kemarin, mengungkap adanya bilik asmara pribadi di lapas khusus koruptor. Berdasarkan dakwaan yang dibacakan jaksa, bilik asmara ini adalah milik terpidana kasus Bakamla yang adalah suami artis Inneke Koesherawati, Fahmi Darmansyah. Bilik itu dibuat oleh Fahmi agar dapat digunakan saat mendapat kunjungan dari istrinya.




Penulis : Dylan Aprialdo Rachman
Editor : Krisiandi