Merayakan Imlek, Merenungi Semangat Kebangsaan

Jumat, 16 Februari 2018 | 14:22 WIB

Ilustrasi lampion yang jamak dipakai dalam setiap perayaan ImlekTHINKSTOCKS/JOKO HARISMOYO Ilustrasi lampion yang jamak dipakai dalam setiap perayaan Imlek


MERAYAKAN
Imlek sejatinya adalah merayakan kebinekaan dalam kedamaian. Di negeri ini, Imlek tidak hanya menjadi renungan bagi orang-orang Tionghoa tetapi juga oase bagi mereka yang meyakini kedamaian dan kebaikan sebagai tujuan interaksi antar-manusia.

Makna Imlek melintasi batas-batas etnis dan agama karena telah menjadi bagian dari interaksi antar-budaya.

Dalam sejarah panjangnya, tradisi Imlek merupakan perayaan musim semi. Usia tradisi ini sudah lebih dari 3.800 tahun, tepatnya dimulai pada masa pemerintahan Dinasti Shang.

Pada perkembangannya, sejak zaman pemerintahan Kaisar Wudi dari masa Dinasti Han (202 SM-220 M), penetapan tahun baru Imlek mulai mengikuti kalender China, berlanjut hingga kini.

Intinya, Imlek menjadi ruang bersyukur dalam tradisi masyarakat China, yang pada masa awalnya bersandar pada kultur agraris. Seiring waktu, Imlek menjadi ritual budaya, dirayakan sebagai bagian dari budaya komunitas Tionghoa di seluruh dunia.

(Baca juga: Mendadak Bandeng di Rawa Belong)

Pada tahun ini, kita merayakan Imlek pada suasana turbulensi politik, yang sering disebut sebagai "Tahun Politik". Di tengah kontestasi, seringkali orang-orang Tionghoa menjadi korban dari politik etnis dan agama.

Masih segar dalam ingatan, bagaimana persaingan politik pada Pilkada DKI Jakarta pada 2017 menimbulkan ketegangan. Isu etnis dan agama berembus kencang, melebihi presentasi kepemimpinan tentang kinerja, program strategis, dan kebijakan yang memihak rakyat.

Persaingan politik ini rentan menjadikan orang Tionghoa sebagai korban dari psywar dan diskriminasi etnis. Meski demikian, harus diakui bahwa jurang ekonomi yang demikian lebar— antara pengusaha-pengusaha Tionghoa dengan warga di sekitarnya—membutuhkan upaya untuk mencipta kemaslahatan publik.

Jika jurang tersebut semakin lebar, isu etnis dan agama akan sangat mudah berembus dalam ruang kontestasi politik di beberapa kawasan negeri ini.      

(Simak juga: Ketimpangan, Ketidakadilan, dan Tahun Politik)

Sering kali, dalam perdebatan-perdebatan di media sosial dan ruang publik keagamaan yang muncul adalah framing bahwa Tionghoa itu kafir. Citra Tionghoa sebagai kelompok etnis digeser menjadi interaksi agama, yaitu sebagai non-muslim.

Padahal, dalam keseharian, orang-orang Tionghoa memeluk beragam agama, yaitu Konghucu, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Dari interaksi penulis dengan beragam komunitas Tionghoa, identitas keagamaan yang ditampilkan ke publik tidaklah tunggal.

Perjuangan kemerdekaan

Di sisi lain, kontestasi politik juga kerap meminggirkan sejarah perjuangan orang-orang Tionghoa. Seolah-olah, orang-orang Tionghoa sebagai "orang asing" di negeri ini, tidak mempunyai saham dalam perjuangan kemerdekaan.

Isu pribumi dan non-pribumi menghantam dengan keras, meski secara konsep mengalami cacat logika.

(Baca juga: Faktanya, Semua Orang Indonesia "Imigran", Tidak Ada yang Pribumi)

Jika merujuk pada riset-riset antropolog dan sejarawan, Nusantara ini tersusun dari interaksi antar-kebudayaan besar dunia—yaitu Tiongkok, India, Persia, dan Arab—yang bertemu dengan kultur Jawa, Batak, Bugis, Melayu, Aceh, dan budaya-budaya lokal di seluruh penjuru wilayah ini.

Interaksi tersebut berpengaruh pada akumulasi peradaban yang tidak bisa dipecah dalam sebuah kultur dominan, sembari menegasikan interaksi budaya yang berlangsung selama beradab-abad.

Pengukuhan KRI John Lie oleh Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal) Laksamana TNI DR Marsetio MM, Sabtu (13/12/2014).TRIBUNMANADO/CHRISTIAN WAYONGKERE Pengukuhan KRI John Lie oleh Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal) Laksamana TNI DR Marsetio MM, Sabtu (13/12/2014).

Dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, pengabdian orang-orang Tionghoa jangan sampai pula tenggelam dari catatan sejarah. Kita mengingat kisah-kisah perjuangan John Lie Tjeng Tjoan, Liem Koen Hian, dan segenap pejuang Tionghoa pada masa kemerdekaan.

Kisah-kisah mereka harus diwariskan secara proporsional, dalam upaya membentuk keseimbangan serta kejernihan membaca perjuangan kemerdekaan.  

John Lie merupakan pahlawan yang berjasa besar dalam perjuangan kemerdekaan negeri ini. Ia lahir di Manado pada 9 Maret 1911. John Lie dikenal juga dengan nama Jahja Daniel Dharma.

Mengawali karier sebagai buruh di pelabuhan di Jakarta, John Lie kemudian kursus navigasi, hingga berlanjut menjadi klerk mualim III di kapal Koninklijk Paketvaart Maatschappij, sebuah perusahaan pelayaran Belanda.

Pada masa perjuangan kemerdekan, John Lie bergabung bersama Angkatan Laut RI. Jasa penting John Lie adalah keberaniannya menembus blokade pasukan Belanda, untuk masuk ke kawasan Singapura.

(Baca juga: Kisah John Lie, "Hantu Selat Malaka", Pahlawan Penyelundup Senjata...)

Di sana ia menukar komoditas ekspor dengan senjata yang sangat penting bagi pejuang-pejuang kemerdekaan. Pada saat itu, sangat sedikit orang yang menguasai teritorial lautan serta mempunyai keahlian navigasi yang mampu menembus blokade militer Belanda.

Perjuangan John Lie sebenarnya diingat oleh pemerintah Indonesia, meski lewat beberapa dekade kemudian. Pada 2009, pemerintah Indonesia memberinya anugrah Bintang Mahaputra Adipradana. Nama John Lie juga diabadikan menjadi nama kapal perang KRI John Lie (358) pada akhir 2014.

Pejuang Tionghoa yang juga perlu dicatat nama besarnya adalah Liem Koen Hian. Ia dikenal sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Liem Koen Hian, melalui dua lembaga itu, berjuang sangat gigih untuk mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka. Ia juga berinteraksi dengan tokoh bangsa dari pelbagai kelompok lintas etnis dan agama, serta mengajak orang-orang Tionghoa untuk membantu perjuangan kemerdekaan.

Sebagai wartawan, Liem mengusung ide-ide perjuangan kemerdekaan lewat tulisan. Pada 1925, ia menjadi pemimpin redaksi Pewarta Soerabaia. Liem konsisten dengan gagasan perjuangan nasionalisme Tionghoa serta kritik kerasnya terhadap kolonialisme Belanda. Karena gagasannya itu, Liem terpaksa meninggalkan Pewarta Soerabaia.

Dalam perjalanan karier sebagai wartawan dan pejuang, Liem Koen Hian bertemu Tjipto Mangunkusumo. Keduanya berdiskusi panjang lebar, tentang bagaimana memaknai Tanah Air.

Liem menerima pandangan Tjipto tentang pembentukan bangsa Hindia yang terdiri dari orang-orang yang menganggap Hindia—sebutan yang diusung Tjipto untuk wilayah negara kita dan orang-orang di dalamnya—sebagai Tanah Air mereka.

Karenanya, peranakan Indo-Belanda, peranakan Tionghoa serta peranakan Arab, merupakan bagian dari bangsa yang diperjuangkan itu.   

(Baca juga: Bung Hatta dan Asal-usul Nama Indonesia)

Dalam kisah berikutnya, Liem bertentangan dengan kelompok Sin Po dan Chung Hwa Hui. Kelompok Sin Po mengusung ide perjuangan keturunan Tionghoa agar mendapat hak yang sama dengan keturunan Eropa, pada masa kolonial. Sementara itu, Chung Hwa Hui sangat mendukung kebijakan Belanda.

Karier politik Liem Koen Hian menjadi bagian dari sejarah perjuangan kemerdekaan di negeri ini. Liem mendirikan Partai Tionghoa Indonesia pada 25 September 1932 di Surabaya. Garis partai ini jelas, yaitu mendukung sepenuhnya kemerdekaan Indonesia.

Pejuang-pejuang Tionghoa yang belum tercatat dalam sejarah kemeredekaan kita masih terhampar luas. Penulis mengulas sosok-sosok ini dalam karya terbaru “Gus Dur dan Jaringan Tionghoa Nusantara (2018)” sebagai bagian dari proses menampilkan referensi yang lebih sahih.

Dengan menempatkan sosok-sosok Tionghoa dalam konteks sejarahnya sembari memperlihatkan interaksi dengan tokoh-tokoh pejung lintas agama dan etnis, harapannya akan muncul keindahan dalam memaknai keindonesiaan kita pada masa kini.

Dari narasi ini, jelas bahwa merawat kebinekaan kita saat ini butuh perjuangan dan komitmen lintas kelompok. Perlu ada ruang interaksi sosial yang diciptakan, dirawat, dan didukung bersama-sama, untuk membangun persaudaraan.

Inilah tantangan masa depan kebinekaan kita. Tugas ini menjadi misi penting penggerak perdamaian dari komunitas lintas etnis dan agama. Semata-mata, untuk kemaslahatan bersama dan masa depan keindonesiaan kita.


Penulis : Munawir Aziz
Editor : Palupi Annisa Auliani