Faktor Pemicu Terjadinya Pelecehan Seksual di Ruang Publik

Minggu, 26 November 2017 | 08:15 WIB

Direktur Operasional Transjakarta Daud Joseph dalam acara hari peringatakan Kekerasan terhadap Perempuan di Jakarta, Sabtu (25/11/2017).stanly Direktur Operasional Transjakarta Daud Joseph dalam acara hari peringatakan Kekerasan terhadap Perempuan di Jakarta, Sabtu (25/11/2017).

JAKARTA, KOMPAS.com - Kekerasan dan tindak pelecehan seksual terhadap perempuan rentan terjadi di ruang publik. Temuan safety audit UN Women, ada beberapa hal yang menjadi faktor pemicu terjadinya kekerasan maupun pelecehan seksual di Jakarta. 

Pertama adalah soal infrastruktur dan transportasi publik yang kurang memadai. Misalnya, tidak adanya penerangan yang cukup di jalan atau gang, trotoar yang tidak memadai, tidak adanya CCTV di tempat strategis, hingga transportasi publik yang kurang aman.

"Bayangan dan ketakutan akan terjadinya kekerasan dan pelecehan seksual, sering kali membatasi akses dan ruang gerak perempuan dan anak di ruang publik kota," ucap Sabine Machl, UN Women Representative Indonesia di dalam acara peringatan Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan di Jakarta, Sabtu (25/11/2017).

Faktor kedua adalah perilaku dan norma sosial. Hal ini mencakup kekerasan diterima secara budaya, prilaku kekerasan dianggap suatu yang lazim dan dapat diterima secara sosial, kurangnya respons dari penonton yang menyaksikan tindakan kekerasan.

Ketiga dikarenakan pengalaman kekerasan yaitu pernah menyaksikan kekerasan atau mengalami sebelumnya saat kanak-kanak.

Baca juga : Korban Pelecehan Seksual di Transjakarta Diimbau Berani Speak Up

Sementara faktor keempat, korban pelecehan seksual kerap disalahkan, misalnya dari cara berpakaiannya. Pandangan yang salah ini malah menyudutkan korban pelecehan seksual.

Sabine mengatakan, fasilitas publik harus dibenahi agar para perempuan aman dan nyaman beraktivitas.

"Perbaikan infrastruktur dan fasilitas publik sangat penting untuk memastikan keamanan dan keselamatan perempuan dalam konteks perkotaan sehingga memungkinkan mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi, membuka akes pendidikan, dan kesehatan," kata Sabine.

Baca juga: Apa Saja yang Diatur dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual?

Dalam acara yang sama, Direktur Operasional PT Transjakarta Daud Joseph menambahkan, perempuan yang mengalami pelecehan seksual di transportasi massal, diharapkan berani bertindak dan melapor.

"Banyak kejadian (pelecehan seksual), namun dalam proses hukumnya kerap tidak bisa dilanjutkan akibat si korban tidak mau memberikan laporan ke pihak berwenang," ucap Joseph.

Bentuk pelecehan di ruang publik sendiri terdiri dari dua macam, yakni secara verbal seperti memberikan komentar, siulan, seruan yang bernada melecehkan.

Kedua non verbal atau tindakan yang lebih berani layaknya menyentuh, meraba, penyerangan seksual, menguntit, pemerkosaan, sampai menunjukkan alat kelamin.


Penulis : Stanly Ravel
Editor : Dian Maharani