Batalkan Pembicaraan Damai, Duterte Siap Perang Lawan Pemberontak?

Rabu, 22 November 2017 | 15:58 WIB

Milisi bersenjata pemberontak komunis di Filipina, New Peoples Army (NPA).NOEL CELIS / AFP Milisi bersenjata pemberontak komunis di Filipina, New Peoples Army (NPA).

MANILA, KOMPAS.com - Pemerintah Filipina telah memutuskan untuk menghentikan seluruh rencana pembicaraan damai dengan pemberontak komunis.

Penasihat Perdamaian Pemerintah, pada Rabu (22/11/2017) mengatakan, Presiden Rodrigo Duterte telah memerintahkan untuk membatalkan seluruh rencana pembicaraan damai dengan kelompok pemberontak komunis di Filipina (CPP-NPA-NDF).

Kurangnya kemauan negosiasi juga menjadi alasan pembatalan tersebut.

Baca juga: Amnesti Internasional Sebut Militer Filipina Lakukan Pelanggaran HAM di Marawi

"Tidak ada lagi perundingan damai dengan CPP-NPA-NDF sampai waktu yang diharapkan kondusif untuk perubahan pada posisi pemerintah menjadi jelas," tulis Jesus Dureza, Sekretaris Penasihat Perdamaian Presiden dalam pernyataan di laman resmi pemerintah.

"Presiden Duterte telah mengambil langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya dan telah menempuh cara lain untuk menuju perdamaian."

"Namun Partai Komunis dan elemen bersenjatanya tidak menunjukkan timbal balik," tambah pernyataan itu.

Sementara Departemen Pertahanan akan terus melanjutkan operasi perburuan terhadap pasukan bersenjata CPP, NPA.

"Presiden merasa sudah cukup dengan kecenderungan gerakan komunis yang bicara tidak konsisten dan terus melakukan kekejaman terhadap warga Filipina."

"Kami tegaskan kepada NPA untuk segera meletakkan senjata, menyerah dan kembali pada masyarakat," lanjut pernyataan itu.

Pekan lalu, pihak berwenang mengumumkan telah menangkap dua pemimpin tinggi NPA, yakni Rosario Delambaca Tabanao dan Leonardo Jacotin di kota Pagadian.

Keduanya dituduh bertanggung jawab atas tindak perampokan, pembunuhan, penyebaran senjata, serta peledakan bom.

Duterte telah menyebut pemberontak komunis sebagai teroris dan kriminal setelah aksi mereka yang menewaskan bayi berusia empat bulan dan dua warga sipil pada serangan 9 November di Bukidnon.

Baca juga: Duterte Ingin Filipina Jadi Tuan Rumah World Summit Bahas HAM


Penulis : Agni Vidya Perdana
Editor : Agni Vidya Perdana