Ahli Pidana Nilai KPK Bisa Pakai Bukti yang Sama untuk Jerat Setya Novanto

Kamis, 5 Oktober 2017 | 20:11 WIB

Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto (tengah) disaksikaan Wakil Ketua Dewan Kehormatan Golkar Akbar Tanjung (kanan) dan Ketua Harian DPP Golkar Nurdin Halid (kiri) seusai melakukan pertemuan di kediaman Ketua Dewan Kehormatan Golkar BJ Habibie di Jakarta, Senin (24/7). Pertemuan Setya Novanto beserta jajaran pimpinan DPP Golkar dengan BJ Habibie itu membahas situasi yang terjadi di Golkar serta kasus hukum yang menjeratnya. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc/17.Hafidz Mubarak A Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto (tengah) disaksikaan Wakil Ketua Dewan Kehormatan Golkar Akbar Tanjung (kanan) dan Ketua Harian DPP Golkar Nurdin Halid (kiri) seusai melakukan pertemuan di kediaman Ketua Dewan Kehormatan Golkar BJ Habibie di Jakarta, Senin (24/7). Pertemuan Setya Novanto beserta jajaran pimpinan DPP Golkar dengan BJ Habibie itu membahas situasi yang terjadi di Golkar serta kasus hukum yang menjeratnya. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc/17.

JAKARTA, KOMPAS.com - Ahli Hukum Pidana Ganjar Laksmana menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa memakai bukti yang sudah digunakan pada tersangka lain untuk menjerat Setya Novanto dalam kasus e-KTP. Namun, bukti tersebut harus memenuhi syarat.

Hal itu disampaikan Ganjar usai diskusi bertajuk "Bebasnya Sang Papa, Senjakala Pemberantasan Korupsi di Indonesia", di UI Salemba, Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, Kamis (5/10/2017).

"Alat bukti untuk tersangka lain boleh digunakan lagi sepanjang memang memenuhi syarat sebagai alat bukti bisa mengaitkan pelaku ke tindak pidana," kata Ganjar.

Dia menganalogikan sebuah kasus pembunuhan di mana alat buktinya adalah pisau. Kemudian tertangkaplah pembunuhnya karena dia yang pegang pisau. Ketika dikaitkan, pisau yang dipegang pelaku ternyata ada yang menyediakan.

(Baca: Menangkan Setya Novanto, Hakim Cepi Dilaporkan ke Badan Pengawas MA)

"Bagaimana membuktikan orang menyediakan pisau itu kalau bukan pisaunya sebagai alat bukti. Ya pisau yang dia beli digunakan oleh dia, diserahkan ke orang lain sebagai pembunuhnya, itu kan mengaitkan," ujar dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu.

Oleh karena itu, menurut dia, tidak masalah jika alat bukti dari tersangka lain digunakan sepanjang masih ada kaitannya.

"Alat bukti kan terkait dengan peristiwa dan perbuatan. Pertama memastikan bahwa ada tindak pidana. Kedua lalu terkait dengan pelakunya, bisa dikaitkan dengan pelaku tertentu. Jadi enggak masalah sama sekali," ujar dia.

Hakim Cepi sebelumnya menilai bahwa barang bukti KPK terkait penyidikan kasus Novanto didapat secara tidak sah.

(Baca: Ketua KY: Hakim Cepi Sudah Empat Kali Dilaporkan)

Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP oleh KPK pada 17 Juli 2017. Ia lalu mengajukan praperadilan ke PN Jakarta Selatan pada 4 September 2017. Novanto keberatan atas status tersangka dari KPK.

Ketua Umum Partai Golkar itu diduga telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi dan menyalahgunakan kewenangan dan jabatan, pada kasus E-KTP. Sewaktu menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR, Novanto diduga ikut mengatur agar anggaran proyek E-KTP senilai Rp 5,9 triliun disetujui anggota DPR.

Selain itu, Novanto diduga telah mengondisikan pemenang lelang dalam proyek E-KTP. Bersama pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, Novanto diduga ikut menyebabkan kerugian negara Rp 2,3 triliun.

Pihak Novanto sebelumnya meminta KPK mengentikan sementara penyidikan hingga ada putusan praperadilan. Novanto dua kali tak memenuhi panggilan pemeriksaan sebagai tersangka lantaran dirawat di rumah sakit.

Kompas TV Komisi Pemberantasan Korupsi memastikan akan terus melanjutkan penyidikan terhadap kasus dugaan korupsi KTP elektronik.




Penulis : Robertus Belarminus
Editor : Sabrina Asril