JAKARTA, KOMPAS.com - Kembalinya tren kamera film tak ubahnya oase di tengah kecanggihan teknologi yang serba instan. Menurut Azmi Mudhoffar (25), bermain kamera film adalah melatih kesabaran, belajar menikmati proses panjang, serta menghargai hasil.
Sebelum menjepret, pehobi kamera film harus memilih roll film sesuai kebutuhan. Setelah menjepret pun masih ada proses cuci foto dan menunggu hasilnya. Perkara cuci foto, kata Azmi, tak boleh sembarangan.
Fotografer freelance yang mulai menekuni kamera film sejak setahun terakhir ini rela bolak-balik dari kota domisilinya di Malang ke Jakarta hanya untuk mencuci foto.
“Saya selalu cuci foto di Soup n Film di STC Senayan. Cuma di sana menurut saya yang hasil cucinya berkualitas. Kalau di Malang belum ketemu,” katanya kepada KompasTekno beberapa saat lalu.
Baca: Cerita Tompi Jatuh Hati kepada Kamera Film
Hal serupa diungkapkan Fikri Awan (23), lulusan FISIP UI yang juga gemar menjepret dengan kamera film. “Kalau cuci foto selalu di Soup n Film sih,” ujarnya.
KompasTekno lantas bertandang ke outlet Soup n Film di STC Senayan, lantai 1 No 16, yang digadang-gadang jadi "surga"-nya para pehobi kamera film. Di outlet berukuran sekitar 3x3 meter itu, tak kurang dari 100 orang datang untuk mencuci roll film setiap harinya.
“Rata-rata yang main kamera film anak muda sih. Anak-anak keren lah yang senang vintage,” kata salah satu pendiri Soup n Film, yang sekaligus dikenal sebagai penyanyi dan dokter spesialis bedah plastik, Teuku Adifitrian atau yang lebih tenar dipanggil Tompi.
Digawangi 4 sekawan
Soup n Film sendiri lahir dari kesamaan hobi empat sekawan, yakni Tompi, Jerry Surya, Perry Margono, dan Erwin Kindangen. Belakangan posisi Erwin digantikan Aryo karena ada kesibukan lain.
“Kami nggak ada yang pure kerja di Soup n Film. Masing-masing punya bisnis dan kerjaan yang juga cukup sibuk juga sebenarnya,” Tompi menuturkan.
Umumnya yang digunakan masyarakat adalah film negatif, di mana roll film dicuci untuk mendapatkan negatifnya. Negatif itu di-invert untuk mendapatkan warnanya.
Berbeda dengan film positif yang pemakaiannya lebih ke kalangan fotografer profesional, hasil yang didapatkan adalah film yang bisa langsung dilihat tanpa perlu di-invert.
“Nah, sekarang di lab Soup N Film itu lengkap untuk processing film mulai dari develop film black and white, color, slide, sampai ke cetaknya kami bisa,” Tompi menjelaskan.
Bukan untuk memperkaya diri
Lebih dari setahun pasca Soup N Film pertama kali berdiri, bisnis yang menyasar segmented market tersebut semakin digandrungi. Bukan tanpa alasan anak muda pehobi kamera film banyak yang bertandang ke Soup N Film.
Tompi mengklaim tokonya tersebut memberikan kualitas di atas rata-rata dengan harga ramah kantong, baik untuk jenis film yang dijual maupun ongkos cucinya.
“Saat ini yang jualan film termurah ya Soup N Film. Waktu kami berempat bikin Soup N Film semangatnya satu yaitu untuk dapat film murah buat kami sendiri,” ia menjelaskan.
“Biar temannya (yang main film) semakin banyak,” ia berujar.
Penulis | : | Fatimah Kartini Bohang |
Editor | : | Reska K. Nistanto |