HET Beras Rp 9.000 per Kg Dinilai Tidak Tepat

Jumat, 28 Juli 2017 | 06:00 WIB

Buruh mencampur beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur, Rabu (26/7/2017). Penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk komoditas beras memberikan pengaruh yang besar kepada para petani dan pedagang sehingga menyebabkan pasokan beras ke pasar induk anjlok.KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG Buruh mencampur beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur, Rabu (26/7/2017). Penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk komoditas beras memberikan pengaruh yang besar kepada para petani dan pedagang sehingga menyebabkan pasokan beras ke pasar induk anjlok.

JAKARTA, KOMPAS.com - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didik Rachbini mengatakan, penetapan harga eceran tertinggi (HET) beras Rp 9.000 per kg merupakan langkah yang kurang tepat

Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah menerbitkan Permendag Nomor 47 tahun 2017 Tentang penetapan harga acuan beras tingkat konsumen Rp 9.000 per kilogram.

"Presiden mau harga beras Rp 9.000 per kilogram dalam rangka membela konsumen, tapi harga Rp 9.000 per kilogram masuk akal atau tidak? Tidak masuk akal," tegas Didik di Kantor Indef, Pejaten, Jakarta, Selatan, Kamis (27/7/2017).

Menurutnya, penetapan harga beras Rp 9.000 per kilogram tidak melihat kondisi riil di lapangan, dalam hal ini tingkat usaha tani dan juga usaha penggilingan gabah. Didik menambahkan, harga beras di tingkat penggilingan gabah di sudah mencapai Rp 7.800 per kilogram.

"Angka dan perhitungannya kurang tepat. Harga beras di penggilingan saja sudah Rp 7.800 kilogram, belum masuk ke gudang, transportasi, dan lainnya," ungkapnya.

Direktur Eksekutif Indef, Enny Sri Hartati mengatakan, seharusnya aturan harga acuan beras atau Harga Eceran Tertinggi (HET) tidak berlaku pada semua jenis beras.

"HET harus disesuaikan dengan kondisi pasar beras. HET tidak memukul rata seluruh jenis beras yang dijual, ada medium ada premium," jelas Enny.

Menurutnya, penetapan HET oleh pemerintah menjadi kekhawatiran tersendiri bagi dunia usaha. Akibatnya banyak pedagang ataupun pelaku usaha perberasan yang tidak beroperasi.


Penulis : Pramdia Arhando Julianto
Editor : Muhammad Fajar Marta