RUU Pemilu Tersandera "Presidential Threshold"...

Selasa, 20 Juni 2017 | 12:26 WIB

KOMPAS.com/Nabilla Tashandra Anggota Fraksi PKS Sigit Sosiantomo melayangkan protes rapat paripurna dipimpin oleh Fahri Hamzah

JAKARTA, KOMPAS.com - Pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu sedianya selesai pada akhir April 2017.

Nyatanya, RUU yang mengatur hajat hidup parpol di Indonesia itu molor dan diperpanjang hingga 20 Juli 2017.

Hingga rapat terakhir pada Senin (19/6/2017), pembahasan antara pemerintah dan DPR masih tersandera di isu syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.

Pemerintah bersikeras agar presidential threshold tak berubah, yakni 20 persen kursi atau 25 persen suara sah nasional. Suara fraksi di DPR pun terbelah.

Begitu pula parpol-parpol pendukung pemerintah. PDI-P bersama Golkar dan Nasdem kompak mendukung pemerintah dengan besaran presidential threshold yang sama.

(baca: Masih Alot, Pansus Pemilu Perpanjang Pembahasan hingga 10 Juli)

Namun, parpol pendukung pemerintah lain seperti PPP, PAN, PKB, dan Hanura menginginkan agar besaran presidential threshold diturunkan berkisar di angka 10-15 persen.

Sikap mereka juga didukung oleh dua parpol oposisi, PKS dan Gerindra.

Sementara itu, Demokrat bergeming agar presidential threshold dihapus atau nol persen. Dengan demikian, Demokrat bisa mengusung capres-cawapres tanpa perlu koalisi.

Direktur Eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari, menilai wajar alotnya pembahasan presidential threshol dalam pembahasan RUU Pemilu.

Menurut dia, besaran presidential threshold sangat memengaruhi konstelasi politik dalam pemilu 2019.

"Iya, ini (presidential threshold) sangat memengaruhi konstelasi politik ke depan, karena ada beberapa partai yang hendak mencalonkan kadernya menjadi capres," ujar Qodari saat dihubungi, Selasa (20/6/2017).

Sebab, beberapa partai memiliki figur yang hendak diusung sebagai capres atau cawapres.

Demokrat, misalnya. Hasil rapat kerja nasional di Mataram, Nusa Tenggara Barat, mengharuskan mereka mengusung capres atau cawapres dari internal mereka.

(baca: SBY: Pilpres 2019, Demokrat Usung Pasangan Capres dan Cawapres)

Meski belum ada kebulatan suara mengusung kader tertentu, muncul usulan mencalonkan putra sulung Susilo Bambang Yudhoyono, Agus Harimurto Yudhoyono, sebagai capres.

Demikian pula dengan Gerindra. Sejak awal pencalonan Anies Baswedan - Sandiaga Uno dalam Pilkada DKI Jakarta, pencapresan kembali Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto menguat.

(baca: Prabowo: Kalau Ingin Saya Jadi Presiden 2019, Kalian Harus Kerja Keras)

Prabowo justru menjawab pencapresannya bisa terwujud jika Anies - Sandi menang di Jakarta.

Demikian pula dengan Presiden Joko Widodo. Meski Jokowi belum mendeklarasikan maju kembali dalam Pilpres 2019, beberapa partai pendukung koalisi pemerintahan seperti Golkar dan Nasdem sudah mengumumkan bakal mengusung Jokowi.

Karena itu, Golkar dan Nasdem juga ngotot agar presidential threshol berada di angka 20 persen kursi atau 25 persen suara sah nasional.

(baca: Mendagri Bantah Pemerintah Ingin Calon Tunggal Pilpres 2019)

Qodari menilai, upaya yang dilakukan Golkar dan Nasdem merupakan suatu hal yang realistis agar pemilu berpotensi berlangsung satu putaran.

Dengan presidential threshold saat ini, dipercaya bakal memudahkan Jokowi untuk menang Pilpres 2019.

Sebab, hingga kini elektabilitas Jokowi masih lebih tinggi dibandingkan bakal calon lainnya.

Survei Harian Kompas pada 29 Mei 2017, menunjukan elektabilitas Jokowi berada di posisi pertama dengan angka 41,6 persen, diikuti Prabowo di posisi kedua sebesar 22,1 persen.

(baca: Survei 'Kompas': Elektabilitas Jokowi 41,6 Persen, Prabowo 22,1 persen)

Elektabilitas yang tinggi serta dukungan Golkar dan Nasdem, tentu menjadikan Jokowi di atas angin.

Golkar dengan perolehan kursi di DPR sebesar 16,25 persen dan Nasdem dengan 6,25 persen saja sudah bisa membuat Jokowi melenggang sebagai capres dalam Pilpres 2019.

Jumlah itu belum termasuk Hanura yang juga sudah mendeklarasikan dukungan ke Jokowi di pemilu 2019 dan PDI-P sebagai partai pengusung utama Jokowi di Pemilu 2014.

Sedangkan bagi parpol lain, syarat itu cukup memberatkan karena beberapa partai telah menyatakan sikapnya untuk kembali mengusung Jokowi.

(baca: Golkar Buka Peluang Setya Novanto Jadi Cawapres Dampingi Jokowi)

Kendati demikian, Qodari mengingatkan agar pemerintah dan partai pendukung presidential threshold di angka 20 atau 25 persen, mewaspadai kemungkinan digugatnya usulan tersebut di Mahkamah Konstitusi (MK).

"Biar bagaimanapun, MK telah memutuskan pemilu 2019 berlangsung serentak. Karena itu saya sudah tak melihat lagi perdebatan di antara parpol-parpol di DPR soal usulan presidential threshold, tetapi justru kemungkinannya digugat di MK," lanjut Qodari.

Sebagaimana yang pernah disampaikan mantan Ketua MK, Mahfud MD, meski presidential threshold dalam RUU Pemilu merupakan open legal policy, namun akan lebih aman bila tak ada presidential threshold.

Kompas TV Presiden Joko Widodo tetap pada sikapnya untuk ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen kursi DPR.




Penulis : Rakhmat Nur Hakim
Editor : Sandro Gatra