Revisi UU Terorisme, LPSK Soroti Poin-poin Ini sebagai Hak Korban

Rabu, 28 Desember 2016 | 17:04 WIB

KOMPAS.com/Nabilla Tashandra Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Abdul Haris Semendawai saat menyampaikan catatan akhir tahun LPSK di Kantor LPSK, Jalan Raya Bogor, Jakarta Timur, Rabu (28/12/2016).

JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyoroti sejumlah poin dalam revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme.

Poin itu terutama mengenai hak-hak korban terorisme.

Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan, dalam pemberantasan terorisme, pemerintah cenderung terfokus pada penghukuman pelaku terorisme.

Sementara, hak korban masih minim diperjuangkan.

"Hak-hak korban ini sudah diakui, sebenarnya. Tapi ada hal-hal yang bersifat teknis yang masih harus diatur," ujar Semendawai, seusai merilis catatan akhir tahun LPSK, di Kantor LPSK, Jalan Raya Bogor, Jakarta Timur, Rabu (28/12/2016).

Ia menyebutkan, salah satu contohnya mengenai kompensasi. 

Menurut dia, perlu ada hukum acaranya.

Dengan demikian, ke depannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) di pengadilan tidak lagi ragu-ragu memperjuangkan kompensasi terhadap korban terorisme.

Selain itu, juga melalui penyederhanaan pemberian kompensasi. Misalnya, tak perlu melalui pengadilan.

"Cukup dinyatakan penggantian kerugian dengan skema tertentu yang sudah ditentukan pemerintah. Model asuransi atau kecelakaan lalu lintas kan sudah ada. Tanpa harus menunggu putusan (pengadilan)," kata dia.

Ketiga, mengenai pihak yang berwenang menyatakan bahwa seseorang merupakan korban tindak pidana terorisme.

Hal itu diperlukan agar jelas siapa saja yang berhak mendapatkan kompensasi.

"Tapi yang jadi masalah, adalah belum ada kepastian lembaga mana yang berwenang," kata Semendawai.

Menurut dia, pihak yang bisa diberi kewenangan adalah Kepolisian.

Sebab, mereka adalah pihak yang mengetahui persis siapa pelaku dan korban dari peristiwa terorisme.

Namun, selama ini Kepolisian terkadang masih tidak berani atau ragu-ragu dalam memberikan kererangan tersebut.

Padahal, keterangan itu sangat berguna bagi korban agar bisa mendapatkan layanan. Sebab, dalam kasus Bom Thamrin dan Bom Bali, misalnya, masih banyak korban yang hingga saat ini masih menunggu haknya.

"Ini perlu ada kejelasan. Dalam revisi juga perlu diwajibkan bahwa polisi bisa mengeluarkan surat keterangan tersebut," ujar dia.

Namun, ia meyakini revisi UU Terorisme akan mengakomodasi itu.

Beberapa anggota Dewan yang tergabung dalam panitia khusus (Pansus) Terorisme dinilainya sudah sangat memperhatikan kepentingan korban.

"Pansus juga pernah mengundang LPSK untuk menyampaikan masukan. Terakhir soal definisi terorisme karena masih simpang siur. Jangankan teroris, siapa korban terorisme saja masih simpang siur," papar Semendawai


Penulis : Nabilla Tashandra
Editor : Inggried Dwi Wedhaswary