Rizal Ramli: Sistem Kuota Hanya Untungkan Pedagang Perantara

Senin, 21 September 2015 | 13:46 WIB

KOMPAS.com/Abba Gabrillin Menko Kemaritiman Rizal Ramli

JAKARTA, KOMPAS.com – Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli meyakini, sistem kuota yang sejak dulu diterapkan untuk sejumlah komoditas impor seperti gula, garam, dan juga daging tidak pernah menguntungkan konsumen dalam negeri. Sistem kuota hanya memberikan keuntungan kepada pedagang perantara, atau pemegang kuota.

“Misalnya, harga gula sangat murah di luar negeri, rakyat Indonesia tidak menikmati itu. Tapi yang menikmati adalah para pemegang kuota gula,” kata Rizal usai rapat koordinasi di kantornya, Jakarta, Senin (21/9/2015).

Sama halnya seperti gula dan daging, Rizal menyebutkan, garam adalah contoh klasik di mana perdagangannya diatur dengan menggunakan sistem kuota, baik secara eksplisit maupun implisit.

“Sistem ini sangat merugikan, karena yang menarik manfaat dari sistem itu bukan rakyat tapi para pedagang perantara, atau pemegang kuota,” kata Rizal.

Rizal mengutip Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, mengakui adanya ‘Tujuh Samurai Garam’ yang selama ini menjadi pemain dominan dalam importasi garam. “Saya anggap mereka tujuh begal, begal bukan samurai,” ucap Rizal.

Lebih jauh dia mengatakan, tidak hanya memegang kuota terbesar untuk importasi garam, ‘Tujuh Begal Garam’ ini juga secara sengaja mempermainkan pasokan-permintaan di pasar.

Rizal mengistilahkan, pada importir ini adalah kartel yang predatoris. Untuk mengurangi tindak kartel garam ini, pemerintah pun akan mengubah sistem kuota menjadi sistem tarif.

“Artinya apa? Siapapun boleh impor asal bayar tarif,” kata Rizal.

Adapun tarif yang nantinya dikenakan untuk importasi garam masih akan dikaji oleh Kementerian Perdagangan bersama tim tarif.

Namun, perkiraan Rizal tarif yang dikenakan antara Rp 150-Rp 200 per kilogram (kg) garam. Menurut Rizal, cara ini cukup baikuntuk memberikan perlindungan harga kepada para petani, sehingga pendapatan petanipun meningkat.

“Cara-cara begini lebih baik daripada memberikan subsidi langsung kepada nelayan. Lebih bagus mereka kita subsidi lewat pricing policy,” kata dia.

Setiap tahun, Indonesia mengimpor garam untuk mencukupi kebutuhan industri dan aneka-pangan mencapai 2,2 juta ton.


Penulis : Estu Suryowati
Editor : Erlangga Djumena