Dirjen Planologi: Tahun Ini, Dampak El Nino di Indonesia Lebih Parah

Senin, 7 September 2015 | 17:00 WIB

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO Mamat (10) mencuci muka untuk mengusir panas dari botol bekal air minumnya saat bermain di sekitar kolam salah satu sumber air untuk warga Kampung Campaka, Desa Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, yang mengering, Rabu (29/7). Sejak sebulan terakhir, debit air kolam tersebut terus menyusut hingga pada akhirnya kering saat musim kemarau ini. Mengeringnya kolam dan menyusutnya debit air sejumlah sumber air bersih dirasakan menyulitkan warga.



MAGELANG, KOMPAS.com — Fenomena El Nino tahun ini mengakibatkan peningkatan jumlah kebakaran hutan dibanding tahun lalu. Kini, kebakaran hutan di Indonesia tak hanya terjadi di Sumatera atau Kalimantan. Kebakaran hutan saat ini juga terjadi di Pulau Jawa, khususnya di wilayah timur dan barat.

Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Prof Dr San Afri Awang mengatakan, pemerintah selama ini fokus pada penanganan kebakaran hutan hanya di lima provinsi, yaitu di Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat.

Namun, saat ini dampak El Nino juga terjadi di Pulau Jawa dengan eskalasi lebih besar dan lebih parah. "Dari Jawa Timur hingga Banten muncul beberapa titik api. Apa yang terjadi ini disebabkan El Nino yang begitu berkepanjangan sehingga kejadiannya seperti pada tahun 1997-1998," kata San Afri seusai meninjau lokasi kebakaran di lereng Gunung Sumbing, Desa Mangli, Kecamatan Kaliangkrik, Kabupaten Magelang.

San Afri mengingatkan pemerintah dan masyarakat untuk tidak menganggap remeh perubahan iklim saat ini, apalagi ditambah dengan fenomena El Nino dan La Nina yang diperkirakan memuncak pada September-Oktober mendatang.

"Kedua perilaku inilah yang menghantui daerah Pasifik. Ada penguapan cepat, tetapi tidak membentuk air," ungkap Sri Afri yang juga dosen Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta itu.

Lebih lanjut, San Afri mengatakan, penanganan kebakaran hutan di Pulau Jawa dinilai lebih mudah dibanding luar pulau tersebut. Sebab, kata dia, karakteristik tanah di Pulau Jawa masih berupa tanah mineral yang cukup mudah dipadamkan saat terbakar. Hal ini berbeda dengan karakteristik tanah di Pulau Sumatera dan Kalimantan yang berupa lahan gambut.

"Kalau kebakaran di tanah mineral, tinggal dipukul-pukul saja menggunakan ranting, bisa padam. Beda dengan di luar Jawa yang sebagian besar lahan gambut, bisa sampai 15 meter, apalagi jika sudah tertutup lahan Sawit. (Pemadaman) lebih susah, tidak cukup hanya dipukul-pukul. Cara yang efektif adalah dengan water bombing, tetapi harus lewat posedur panjang dan mahal, Rp 100 juta-Rp 150 juta sekali pemadaman," ungkap dia.

Oleh karena itu, posko pengendalian kebakaran nasional mengimbau semua elemen untuk mewaspadai segala kemungkinan yang akan terjadi. Pemerintah, kata dia, sudah membentuk posko pengendalian kebakaran nasional yang tersebar di setiap provinsi.

Posko ini berguna untuk memudahkan koordinasi antarpihak dalam upaya antisipasi kebakaran hutan dan lahan di tiap-tiap daerah. "Kami siap untuk upaya itu dengan segala keterbatasan yang ada. Namun, kami juga perlu dukungan rakyat," lanjut San Afri.

Pihaknya juga meminta pemerintah daerah untuk intensif berkoordinasi dengan pihak lain, seperti dengan Perum Perhutani, TNI, relawan, Masyarakat Peduli Api (MPA), dan kelompok lain untuk mengantisipasi meluasnya kebakaran hutan ataupun lahan.


Penulis : Kontributor Magelang, Ika Fitriana
Editor : Ervan Hardoko