Mengenal Suku Kajang yang "Sederhana"

Kamis, 9 Oktober 2014 | 09:40 WIB
ADM Mempelajari gaya hidup sederhana Suku Kajang di Sulawesi Selatan.

Bulukumba, KompasOtomotif - Masih dalam rangkaian perjalanan Daihatsu Terios 7 Wonders Amazing Celebes Heritage, tim terus bergerak menghabisi etape keenam dari Tanjung Bira menuju Koaka dengan jarak tempuh 155 km.

Dalam perjalanan, tim menyempatkan diri mampir ke salah satu warisan budaya Indonesia, Suku Kajang, atau yang juga disebut masyarakat adat Ammatoa di Tana Toa, Kecamatan Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan, Rabu (8/10/2014).

Luas kawasan ini sekitar 3.000 hektar dengan hutan lebat 600 hektar. Menurut data sensus 2013, terdapat 300 kepala keluarga, tetapi dari masyarakat sekitar mengatakan jumlah penduduknya mencapai 3.947 orang. Dalam kesehariannya, Suku Kajang menggunakan bahasa Konjo untuk berkomunikasi satu dengan yang lainnya.

Mereka menyebut tanah adat dan hutan yang ada di sekeliling permukiman mereka tidak termasuk dalam pemerintahan Republik Indonesia. Tinggal di daerah ini tidak butuh sertifikat tanah, besar bangunan, dan lain sebagainya. Tanah adat yang di mana mereka tinggal tidak bisa diperjualbelikan, apalagi oleh pemerintah.

Rumah yang ada di Suku Kajang terlihat homogen, sama satu dengan yang lainnya, bergaya rumah panggung dengan bahan baku utama, kayu. Keseragaman tempat tinggal sengaja dilakukan supaya tidak menimbulkan kesenjangan di antara mereka. Bangunannya dibuat tidak menggunakan paku besi karena dianggap bagian dari produk modernisasi.

Jalan di permukiman ini juga bukan aspal, tetapi susuanan batu koral, sehingga membentuk jalan setapak. Mirip dengan jalan refleksi yang kerap menghiasi taman-taman di ibu kota.

Filosofi
Menurut mereka, filosofi hidup warga Suku Kajang adalah hidup sangat sederhana dengan menolak segala sesuatu yang berbau teknologi. Ideologi mereka disebut sebagai "tallase kamase-mase", berupa prinsip hidup yang memerintahkan masyarakat untuk hidup bersahaja.

Tidak memiliki keinginan berlebih dalam kehidupan sehari-hari, misalnya makan, pakaian, dan lain sebagainya. Mereka juga sangat menjaga mengambil hasil berlebihan dari dalam hutan, setidaknya bisa ditekan seminimal mungkin sehingga tidak mengganggu kelestarian hutan.

"Salah satu ciri khas yang terlihat kasat mata, adalah warna pakaian yang biasa Suku Kajang gunakan, pasti hitam atau berwarna gelap," jelas Endi Supriatna, salah satu pimpinan rombongan kepada KompasOtomotif, Rabu (8/10/2014). Hitam dipilih karena menggambarkan filosofi jalan hidup mereka di dunia.

"Ketika masih dalam kandungan, situasinya gelap, kemudian akhirnya mati akan masuk liang kubur yang juga gelap. Ini alasan mengapa mereka memilih warna hitam," lanjut Endi.

ADM Kesederhanaan dan bersahaja jadi filosofi hidup mereka.

Mitos
Masyarakat Ammatoa meyakini ajaran agama adat yang disebut Patuntung, yang dalam bahasa Makassar artinya mencari sumber kebenaran. Ajaran Patuntung mengajarkan manusia wajib menyandarkan diri pada tiga pilar utama, yaitu menghormati Turiek Akrakna (Tuhan), tanah yang diberikan Turiek Akrakna, dan nenek moyang.

Turiek Akrakna (Tuhan) menurunkan wahyu pada masyarakat Kajang dalam melalui manusia pertama yang bernama Ammatoa. Masyarakat Kajang meyakini kalau tempat pertama kali Ammatoa diturunkan ke bumi adalah kawasan yang sekarang menjadi tempat tinggal mereka. Makannya, lokasi ini mereka sebut sebagai Tana Toa atau tanah tertua.

Di tempat ini juga mereka percaya manusia pertama diciptakan, dengan proses turunnya To Manurung (manusia dari langit) atas perintah Turek Akrakna. Dalam perjalanannya menuju bumi, To Manurung dipercaya menunggangi seekor burung Kajang. Nama ini kemudian dijadikan komunitas mereka sampai sekarang.

Suku Kajang dipimpin oleh ketua adat berdasarkan garis keturunan dan menjabat semur hidupnya. Mereka percaya kalau sudah hidup sejak ratusan tahun yang lalu. Hingga kini, sudah mencapai 22 generasi ketua adat memimpin Suku Kajang.

Jalan akses menuju Tana Toa dari Bulukumba, relatif pendek sekitar 5 km dari jalan utama dan ditempuh tim dalam waktu singkat. Lokasi ini juga tidak terisolasi, relatif dekat dengan peradaban modern. Berbeda dengan Suku Badui Dalam di Banten atau Kampung Naga di Garut, Jawa Barat, yang relatif lebih terpencil.

Tapi, meski tidak berjauhan dengan peradaban modern, bukan lantas menjadikan warga Suku Kajang ini kehilangan jati diri. Mereka tetap berpegang teguh pada keyakinannya, soal hidup sederhana dan bersahaja, sesuai ajaran kepercayaannya.

Bakar Linggis
Ketika tim tiba permukiman Suku Kajang, ternyata lagi dilakukan acara adat, upacara
attunu panrolik (membakar linggis). Seperti terjemahannya, upacara ini dilakukan dengan membakar linggis sampai merah membara. Biasanya diselenggarakan jika terjadi pencurian kayu tanpa diketahui siapa pelakunya.

Dalam upacara ini, seluruh warga akan dikumpulkan dan orang yang dicurigai diminta memegang bagian linggis yang merah membara. Jika yang memegang tidak terluka sama sekali, artinya bukan ia pelakunya. Sebaliknya, jika terluka, maka dipastikan dia pelakunya.

Ujung linggis yang membara ditaruh di atas tumpukan jerami dan langsung terbakar. Upacara ini dilakukan untuk mengingatkan warga agar bersikap benar. Filosofinya, bagi siapa yang melakukan pelanggaran maka dianggap salah. Tetapi, jika merasa benar, seseorang tidak perlu takut sama sekali.

Bertolak Belakang
Meskipun sebagian besar warga Suku Kajang memegang teguh konsep kehidupan sangat sederhana dan bersahaja, tetapi bersinggungan dengan dunia modern sulit dihindari. Salah satunya, ketika tim tiba di desa, para tetua Suku Kajang mewajibkan peserta untuk mengenakan pakaian tradisional mereka.

"Kami hanya di minta 10 orang wajib pakai baju tradisional Suku Kajang, caranya dengan menyewa, setiap set baju dan sarung, Rp 250.000," jelas Endi.

Ada patokan harga yang ditetapkan membuat uang sebagai hal yang sangat bernilai di Bulukumba. Mayoritas warga Suku Kajang juga gemar merokok dan menilai rokok bukan bagian dari produk modernisasi.

Bahkan, salah satu pemandu tim, yang mengaku warga asli Suku Kajang mengatakan dengan berbisik pada salah satu peserta rombongan untuk bisa menghubunginya via ponsel jika butuh bantuan selama berkunjung. Ironis bukan?

Saat ini rombongan sudah kembali melakukan perjalanan menuju Kolaka, menyeberang menggunakan feri menuju Kolaka. (ADV)

Penulis : Agung Kurniawan
Editor : Azwar Ferdian