Tim Terios 7-Wonders Mengulik dan Belajar Sejarah Tenun Mandar

Senin, 6 Oktober 2014 | 08:08 WIB
ADM Kerajinan Tenun Mandar mulai ditinggalkan, berharap bisa menjadi salah satu hasil budaya yang bisa dibanggakan di mata internasional.

Pare Pare, KompasOtomotif - Kembali bergerak bersama rombongan Daihatsu Terios 7 Wonders Amazing Celebes Heritage, kini sudah memasuki etape ketiga dari Mamuju menuju Pare Pare dengan jarak tempuh 327 km, Sabtu (4/10/2014). Dalam perjalanan, tim mampir ke salah satu desa pengerajin kain tenun Mandar, tepatnya Majene, Sulawesi Barat.

Setelah melalui perjalanan cukup panjang, tim tiba dilokasi sekitar pukul 19.00 Wita dan mendapat sambutan hangat oleh warga desa. Mereka bahkan menyajikan kesenian khusus tarian Sayyang pattudu atau Kuda menari, ada juga yang menyebutnya sebagai To messawe (orang yang mengendarai).

"Kami merasa tersanjung, karena tarian ini biasanya hanya dipentaskan khusus untuk tamu spesial, jadi terasa bangga juga," jelas Enuh Witarsa, salah satu punggawa tim Daihatsu Terios 7 Wonders Amazing Celebes Heritage kepada KompasOtomotif, Minggu (5/10/2015).

Tradisi
Biasanya, tarian atau acara Sayyang pattudu dimeriahkan dengan arak-arakan kuda mengelilingi desa yang dikendarai oleh anak-anak yang berhasil tamat Alquran. Setiap anak yang mengendarai sudah dihias sedemikian rupa. Kuda yang dikendarai juga spesial, karena terlatih untuk mengikuti irama tabuhan rebana.

Kali ini, ada sepasang gadis desa yang menari di atas kuda. Cara duduk mereka juga unik, satu kaki ditekuk ke belakang dengan lutut menghadap ke depan. Sedangkan kaki lainnya terlipat dengan lutut dihadapkan ke atas dan telapak berpijak pada punggung Kuda. Dengan posisi seperti itu, para peserta didampingi agar keseimbangannya terpelihara ketika kuda yang ditunggangi menari.

Mereka bergerak, meliuk, mengikuti irama liukan kuda yang juga menari dengan mengangkat setengah badannya ke atas sembari menggoyang-goyangkan kaki dan menggeleng-gelengkan kepala agar tercipta gerakan yang menawan dan harmonis.

Rombongan sebenarnya sudah dinantikan kedatangannya oleh Bupati Majene H Kalma Matta, sejak makan siang. Sudah dinantikan kehadirannya sampai pukul 15.00 Wita, rombongan tak kunjung hadir. Kondisi jalan yang berat di dua etape sebelumnya, membuat jadwal kehadiran tim jadi molor.

ADM Harganya mulari Rp 45.000 sampai Rp 400.000 per lembar.

Tenun Mandar
Tujuan utama tim mampir ke Poewali Mandar adalah untuk mempelajari salah satu warisan budaya Indonesia, tradisi Tenun Mandar. Hasil tenunan sutra Mandar begitu terkenal hingga akhir abad ke dua puluh. Kualitasnya dikenal sangat tinggi karena tenunannya yang halus. Coraknya pun dapat dibedakan secara jelas dari tenunan sutra Bugis dan Makassar.

Corak atau sureq (bahasa Mandar) khas yang dimiliki kain tenun ini, berbentuk kotak-kotak simetris yang dikembangkan dalam berbagai ukuran ketebalan garis dan besarnya kotak. Meskipun masyarakat Mandar telah memasuki era modern dengan berbagai kemajuan teknologi yang semakin canggih namun dalam menenun kain sutra mereka tetap mempertahankan alat tenunan tradisional, gedokan atau dalam bahasa Mandar disebut panette.

"Membuat tenun Mandar wajib memiliki teknik khusus, mulai dari memintai benang, memisahkan helaian sutera, dari satu kepompong ke yang lain, penjemuran, sampai proses tenun dilakukan. Jika tidak dilakukan dengan tahapan yang benar, kain tenun yang jadi tidak akan sesuai yang diinginkan," jelas Andi Beda, Kepala Bidang Kebudayaan dan Situs Purbakala Dinas Pemuda Olahraga Budaya dan Pariwisata (Disporabudpar) Majene menjelaskan pada tim rombongan.

Proses pemintalan benang saja membutuhkan waktu 3 hari sampai sepekan penuh. Satu lembar kain sutra berukuran 30x60 cm dijual antara Rp 75.000 - Rp 400.000. Variasi harga sangat ditentukan dengan kualitas bahan, corak, termasuk banyaknya benang emas atau perak yang digunakan pada kain ini.

Mencekam
Setelah bercengkrama dan belajar Tenun Mandar di Majene, Sulawesi Barat, rombongan kemudian melanjutkan perjalanan menuju Parepare, Sulawesi Selatan, setelah waktu Isya. Berjalan di bawah sinar rembulan dan gema takbir menyambut datangnya Idul Adha, rombongan sempat tertahan di Kabupaten Pinrang, karena ada tawuran remaja.

Tim sempat menunggu satu jam, sambil mengumpulkan informasi dari warga sekitar, akhirnya rombongan memutuskan terus melanjutkan perjalanan dengan memilih jalur alternatif.

"Informasi dari kendaraan yang datang dari arah berlawanan, tawuran masih berlangsung bahkan kendaraan lewat ada yang terkena lemparan kapak. Suasana sempat mencekam selama kami melintasi jalur alternatif, karena menembus Jalur Lorong, tetapi syukur bisa dilalui dengan baik," jelas Indra Aditya, salah satu pemimpin tim.

Sekitar pukul 1.00 Wita, rombongan tiba di Parepare, dan bermalam. Keesokan paginya, sebagian anggota tim yang merayakan Hari Raya Idul Adha melakukan shalat berjamaah di Masjid Agung Parepare. Setelah selesai ibadah, perwakilan dari tim menyumbangkan tujuh ekor kambing atau domba sebagai hewan kurban, diterima oleh pengurus masjid, Rahman.

ADM Perwakilan peserta Daihatsu Terios 7 Wonders Amazing Celebes Heritage menyerahkan sumbangan 7 kambing atau domba untuk hewan kurban ke Masjid Agung Parepare, Sulawesi Selatan.

Penyerahan sumbangan juga disaksikan langsung oleh Asjoni, Kepala Departemen CSR PT Astra Daihatsu Motor (ADM). Seharusnya, Walikota Parepare Taufan Pawe datang dalam penyerahan sumbangan ini, tetapi karena tugas lain, posisinya digantikan dengan staf ahli bidang pemerintahan. Walikota, dalam pernyataan yang dibacakan, menyatakan "Sumbangan ini salah satu bentuk postif dari ADM, yang tidak hanya mencari keuntungan semata, tetapi mau berbagi, menjalin tali silahturami dengan masyarakat Parepare."

Selain merayakan Hari Raya Idul Adha, di masjid ini juga diselenggarakan Lomba Marawis tingkat Kabupaten Parepare. Pesertanya meliputi seluruh siswa SMA, SMK, dan Pondok Pesantren di wilayah sekitar kabupaten.

Setelah penyerahan sumbangan, tim melanjutkan kembali perjalanan dari Parepare menuju Tana Toraja. (ADV)

ADM Jalur yang dihadapi mirip dengan Puncak, Jawa Barat, tetapi dengan jurang yang lebih terjal.

Penulis : Agung Kurniawan
Editor : Aris F. Harvenda