Kalijodo, Lokalisasi, dan Jalur Kereta Api - Kompas.com
Jumat, 3 Mei 2024

Kaleidoskop 2016

Kaleidoskop 2016

Simak rangkuman peristiwa, informasi, dan ulasan topik hangat yang terjadi selama tahun 2016..

Kalijodo, Lokalisasi, dan Jalur Kereta Api

Rabu, 2 Maret 2016 | 05:23 WIB
KOMPAS.COM/ANDRI DONNAL PUTERA Tampak papan pengumuman dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang didirikan di atas reruntuhan Kalijodo, Jakarta Utara, Senin (29/2/2016). Ke depan, bekas lokalisasi dan tempat hiburan malam selama puluhan tahun itu akan menjadi ruang terbuka hijau, ruang publik ramah anak, jogging track, dan lapangan futsal.
JAKARTA, KOMPAS.com - Seorang wartawan senior mengungkapkan, betapa lokalisasi tidak pernah berada terlalu jauh dari jalur atau stasiun kereta api.

Pendapatnya tiba-tiba menimbulkan pertanyaan demi pertanyaan. Benarkah demikian? Walau setelah ditelusuri, pendapatnya ternyata sungguh adalah sebuah kenyataan.

Saritem, misalnya, adalah sebuah lokalisasi ternama di Kota Bandung. Saritem bahkan kerap diidentikkan dengan Bandung.

Dan, laman-laman turis mancanegara terang-terangan menunjuk Saritem sebagai kawasan "lampu merah" di "Kota Kembang" itu.

Berlokasi di antara Jalan Astana Anyar dan Jalan Gardu Jati, Saritem sungguh berlokasi tidak jauh dari Stasiun Kereta Bandung.

Bahkan, sejarah berdirinya Saritem tidak dapat dilepaskan dari sejarah pembangunan kereta api oleh pemerintah kolonial Belanda di bumi Priangan.

Boleh jadi, para pekerja seks komersial di Saritem juga didatangkan ke lokalisasi tersebut menggunakan rangkaian kereta api yang ketika itu sudah membentang dari Bogor-Sukabumi-Cianjur-Bandung dan dari Bandung-Tasikmalaya-Ciamis hingga Yogyakarta.

Bicara soal Yogyakarta, ternyata lokalisasi ternama Pasar Kembang alias Sarkem juga tidak jauh dari Stasiun Tugu.

Lokasinya tepat berada di sisi selatan dari jalur kereta api yang dibangun pada akhir abad ke-19 itu.

Sebelum era 1970-an, lokalisasi di Yogyakarta bahkan lebih dikenal dengan nama Balokan.

Nama Balokan ternyata berasal dari timbunan-timbunan balok rel yang disimpan di sisi selatan Stasiun Tugu tersebut.

Aktivitas prostitusi di lokasi itu awalnya muncul karena kebutuhan para pekerja konstruksi jalur kereta api.

Namun, lambat laun para pelancong yang tiba di Yogyakarta dengan kereta api membutuhkan tempat penginapan lengkap dengan "teman bermalam" sehingga kawasan Sarkem makin berkembang.

Pemerintah bukannya tidak tahu dengan kawasan Pasar Kembang. Arsip harian Kompas memperlihatkan bahwa pada Rabu (25/2/2004), Gusti Kanjeng Ratu Hemas, istri Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, sempat menyambangi permukiman Sarkem.

"Saya datang ke tempat ini karena ditugaskan oleh Bapak Gubernur selaku anggota tim pemerintah untuk menangani masalah-masalah berperspektif jender, antara lain, ya, problem kesehatan masyarakat tidak mampu," kata GKR Hemas, ketika itu.

Menurut GKR Hemas, penghapusan lokalisasi (tempat pelacuran) di wilayah Yogyakarta justru dikhawatirkan akan memicu tidak terkontrolnya kondisi kesehatan masyarakat Yogyakarta akibat penyakit menular.

Bongkaran

Bagaimana dengan di Jakarta? Warga Ibu Kota ternyata juga mengenal kawasan lokalisasi yang terkoneksi dengan jalur kereta api.

Adalah kawasan Bongkaran yang seolah menjadi lokalisasi yang "terintegrasi" dengan Stasiun Tanah Abang.

Lokasi pelacuran lain di Jakarta yang juga nyaris menempel dengan stasiun adalah Planet Senen yang kini tinggal cerita.

Tampaknya lokasi "remang-remang" itu erat dengan stasiun yang dulu identik pula dengan pusat kegiatan dan keramaian.

Hingga dua dekade silam, pelanggan Bongkaran bahkan mengenal istilah "gubuk dorong", yakni bangunan semipermanen yang ditaruh di atas rel sehingga dapat dengan mudah dipindahkan. Di dalam bangunan "gubuk dorong" itulah aktivitas seksual dilakukan.

Namun, pada Agustus 2014 aktivitas di Bongkaran telah dihentikan. Bukan organisasi masyarakat atau organisasi keagamaan yang meluluhlantakkan Bongkaran, melainkan pembongkaran dikerjakan oleh PT Kereta Api Indonesia.

Seusai penertiban oleh PT KAI, kini Bongkaran tinggal menjadi kisah di masa lalu. Riwayat Bongkaran kini sudah ditamatkan.

Jalur KRL Jabodetabek tidak lagi menjadi sarana penyuplai pelanggan ke Bongkaran.

Kalijodo, yang pada beberapa hari belakangan dilanda penertiban, mungkin punya kisah berbeda.

Berada tepat di tepian Kali Angke, dahulu kawasan tersebut dijangkau dengan naik perahu.

Tradisi Tionghoa, Peh Cun, pula yang makin menyemarakkan kawasan itu menjadi kawasan perjodohan.

Walau entah bagaimana dari kawasan yang oleh muda-mudi sekaligus dimanfaatkan untuk mencari jodoh, kawasan itu berubah fungsi menjadi kawasan cari jodoh dalam "hitungan jam".

Akan tetapi, kita paham bahwa kini tidak ada satu kapal pun yang berlayar di Kali Angke. Jadi, dari mana para pelanggan Kalijodo? Dapat saja dari pusat-pusat aktivitas bisnis dari sekitar kawasan tersebut.

Namun, setelah diamat-amati, ternyata Stasiun Angke berjarak tidak sampai satu kilometer dari Kalijodo..


(HARYO DAMARDONO).


---

Arttikel ini dimuat dalam Kompas Siang, edisi Selasa 1 Maret 2016, dengan judul "Kalijodo, Lokalisasi, dan Jalur Kereta Api"

Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:

Editor : Icha Rastika
Sumber: Kompas Siang