Empat Roda Pelahap Jalur Sumbawa

Rabu, 15 April 2015 | 11:53 WIB
KOMPAS/MOHAMAD FINAL DAENG Sebuah jip Toyota hardtop menjelajahi medan lereng Gunung Tambora di sisi Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB), Sabtu (4/4/2015). Kendaraan seperti inilah yang diandalkan untuk menembus tantangan beratnya medan bergunung-gunung di wilayah Pulau Sumbawa, NTB.
BANYAK jalan menuju Roma. Begitulah sebuah pepatah kuno berbunyi. Bagi penggemar otomotif beroda empat di Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, hanya ada satu tunggangan yang paling cocok untuk menjelajahi segala rupa jalan di daerah yang terletak di Pulau Sumbawa itu. Bahkan, bila tak ada jalan sekalipun, sang tunggangan siap membuka ”jalan” baru.

Tunggangan itu adalah jip tua berpenggerak empat roda jenis Toyota Hardtop. Selama dua pekan pertama April berada di Dompu, Kompas kerap berpapasan dengan jip-jip itu yang melaju di jalan lintas pedesaan maupun di tengah kota.

Di Dompu, rata-rata pemilik kendaraan tersebut mengandalkannya untuk berbagai keperluan menembus medan, mulai dari berburu rusa di hutan, mengantar wisatawan ke lereng Gunung Tambora, hingga mengangkut hasil bumi dari desa-desa terpencil di wilayah perbukitan.

Amiruddin (50) adalah salah satu pemilik hardtop di Dompu yang menggunakannya sebagai kendaraan untuk hobi berburu di wilayah hutan Gunung Tambora selama 18 tahun terakhir. ”Jip ini tidak mewah, tetapi siap tempur di segala medan,” kata pemilik usaha konstruksi itu.

Amiruddin mengatakan, ada pula kendaraan 4X4 jenis lain yang bisa menembus kontur terjal Tambora dengan permukaan yang terdiri dari pasir, lumpur, tanah, hingga batuan cadas. ”Tetapi kebanyakan tidak tahan lama. Cuma jip ini yang bandel,” katanya.

Hardtop yang dimiliki Amiruddin adalah tipe 1F keluaran tahun 1971 dengan mesin berkapasitas 3.200 cc. Untuk beradaptasi dengan kondisi Tambora, ia melakukan sejumlah modifikasi, terutama pada bodi mobil.

Bodi mobil di bagian kursi penumpang belakang dipapas, sehingga menjadi bak terbuka yang bisa menampung lebih banyak orang dan muatan. Rangka bodi pun diperkuat dengan tambahan pipa-pipa besi. Kaca jendela, kecuali di bagian muka, juga dicopot untuk mengurangi risiko jika terjadi benturan.

”Hampir seluruh hardtop yang dipakai oleh kelompok disini untuk menjelajahi Tambora dimodifikasi seperti ini supaya tidak nyangkut ranting-ranting pohon,” ujar Amiruddin yang rela menguras koceknya hingga Rp 9 juta untuk keperluan modifikasi kendaraan tersebut.

Adapun bagian mesin dan mayoritas komponen lain pada mobil dibiarkan dalam kondisi standar. Hanya ban yang diganti dengan ukuran 31 inci. Kenapa ban 9 inci harus diganti, menurut Amiruddin, ban ukuran besar diperlukan untuk menggilas segala macam permukaan jalur di Tambora yang liar.

Buka jalur

Amiruddin rutin menjelajahi kaki dan lereng Tambora dengan hardtop saat musim berburu rusa tiba, yakni sepanjang bulan Mei-November. ”Rata-rata, yang membuka jalur di Tambora adalah hardtop yang dipakai untuk berburu. Segala medan bisa diterabas dengan kendaraan ini ini,” ujarnya.

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA Toyota Fortuner mengiringi peserta Tambora Bike menyelesaikan etape terakhir Pidang menuju Dorocanga, Nusa Tenggara Barat, Sabtu (11/4/2015). Etape terakhir diselesaikan lebih kurang 10 jam sejauh 120 kilometer di kaki Gunung Tambora.
Selama periode berburu itu, Amiruddin bisa dua kali seminggu naik ke Tambora bersama minimal lima orang rekannya dalam satu mobil. ”Supaya aman di perjalanan dan untuk berjaga-jaga jika ada masalah pada mobil,” katanya.

Di luar hobi berburu, Amiruddin juga kerap memakai hardtop-nya untuk keperluan profesional. Ia banyak mengerjakan proyek-proyek konstruksi di wilayah pedalaman Sumbawa yang sulit diakses kendaraan berat.

”Jadi hardtop itu yang saya pakai untuk mengangkut material proyek,” katanya.

Lain lagi dengan Yuhasmin (54), pemilik hardtop tahun 1982 dan penggemar otomotif di Dompu. Yuhasmin yang juga menjabat sebagai Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Dompu, juga kerap menjadi penggerak event-event off-road di kabupaten tersebut.

Minimal sebulan sekali Yuhasmin jalan ke Tambora dengan hardtop tipe 2F bermesin 4.200 cc miliknya itu untuk berburu rusa. ”Saya mulai pakai jip ini tahun 2000-an dan sudah berburu hampir di seluruh Pulau Sumbawa,” kata pria yang juga penggemar motor trail itu.

Menurut Yuhasmin, kendaraan itu paling cocok untuk medan Tambora karena sasis dan sumbu roda yang relatif lebih pendek ketimbang jenis kendaraan 4X4 lainnya. Kontur jalur di Tambora banyak memiliki patahan dalam yang akan mengandaskan mobil bersumbu roda panjang.

Namanya melahap medan keras, setiap perjalanan off-road pasti berdampak pada kondisi mobil. Amiruddin, contohnya, harus menyiapkan setidaknya Rp 400.000 untuk servis ringan mobil setiap kali pulang berburu. Biaya servis itu bisa membengkak berkali-kali lipat jika terjadi kerusakan parah pada mobil, misalnya patah gardan.

Disewakan

Menurut Yuhasmin, biaya perawatan dan operasional hardtopnya itu bisa mencapai Rp 4 juta-Rp 6 juta per bulan. Biaya perawatan yang tidak sedikit ini yang mendorong dirinya untuk mencari cara mendapatkan insentif baru untuk menutup kekurangan biaya.

Yuhasmin akhirnya memanfaatkan kendaraannya untuk kepentingan komersial. Ia menyewakan mobil kesayangannya tersebut kepada pemburu lain atau wisatawan yang ingin pergi melihat cantiknya puncak Tambora. Mereka ingin merasakan sendiri indahnya pemandangan dan savana Tambora.

Hardtop bisa dipakai untuk mengantar sampai Pos III Tambora, titik tertinggi yang hanya bisa ditempuh oleh kendaraan off-road. Baru setelah itu wisatawan melanjutkan jelajah dengan berjalan kaki ke kawah gunung tersebut. Dalam satu bulan, Yuhasmin biasa mendapatkan 2-3 pelanggan.

Tarif yang dibanderol oleh Yuhasmin Rp 3,5 juta per hari. Jumlah itu sudah termasuk jasa sopir yang berpengalaman menangani medan Tambora dan biaya bahan bakar.

”Penghasilan dari menyewakan hardtop itu dipakai untuk sekadar membantu menutupi biaya perawatan mobil,” katanya.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG Para penggemar mobil off-road berpose di Dompu, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kamis (9/4/2015).
Sementara itu, menurut Suratman (35), pemilik hardtop tahun 1977, jip tua itu juga menjadi andalan warga desa di pelosok Dompu untuk mengangkut hasil pertanian berupa jagung, padi, atau kacang-kacangan. ”Satu mobil bisa mengangkut muatan hingga dua ton,” katanya.

Hardtop biasanya disewa petani atau pembeli hasil panen di kawasan pegunungan atau berbukit-bukit yang sulit diakses kendaraan beroda empat lainnya. ”Biasanya pada musim hujan yang jalurnya susah dilewati truk sekalipun, hardtop bisa tembus,” ujar Suratman.

Meskipun belum ada wadah berupa komunitas, para pemilik dan penggemar hardtop di Dompu kerap bertemu dalam berbagai kesempatan.

Salah satunya di Taho Mena, bengkel mobil yang biasa menangani perawatan dan perbaikan hardtop yang terletak di Jalan Syekh Muhammad, pusat kota Dompu. ”Kalau bertemu sesama pemilik hardtop di bengkel itu biasanya membicarakan suku cadang mobil atau modifikasi,” kata Amiruddin.

Sesekali juga, beberapa pemilik hardtop menggelar safari bersama ke Tambora atau daerah-daerah lain di Pulau Sumbawa. Tertarik menjelajah cantiknya Tambora, tak ada salahnya untuk berani mencoba hardtop ’pelahap’ jalur Sumbawa untuk menikmati eksotika Nusantara di Nusa Tenggara Barat. (MOHAMAD FINAL DAENG)

Gallery

challenge