Kompas.com
Minggu, 7 Juli 2024

Rayakan Perbedaan

TAG

Keanekaragaman Hayati dan Eksistensi Kelapa Sawit di Indonesia

Sabtu, 28 Juli 2018 | 07:08 WIB
Buruh memanen kelapa sawit di Desa Sukasirna, Cibadak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Jumat (13/7/2018). Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) optimistis produksi kelapa sawit tahun ini akan mengalami peningkatan produksi sebesar dua persen atau sebanyak 40 juta ton dibandingkan dengan dengan tahun lalu yang hanya 38 juta ton. ANTARA FOTO/RAISAN AL FARISI Buruh memanen kelapa sawit di Desa Sukasirna, Cibadak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Jumat (13/7/2018). Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) optimistis produksi kelapa sawit tahun ini akan mengalami peningkatan produksi sebesar dua persen atau sebanyak 40 juta ton dibandingkan dengan dengan tahun lalu yang hanya 38 juta ton.

INDONESIA menjadi negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tak terelakkan. Menurut data Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 2015 -2020 yang dibuat oleh Bappenas, Kementerian lingkungan hidup dan Kehutanan (KLHK), dan LIPI, sebanyak 15,5 persen dari total jumlah flora di dunia ada di Indonesia.

Jumlah itu terdiri dari 1.500 spesies alga, 80.000 spesies tumbuhan berspora (jamur, lumut, kerak, paku-pakuan), 30.000 hingga 40.000-an spesies tumbuhan berbiji.

Untuk fauna, terdapat 8.157 spesies fauna vertebrata (mamalia, burung, herpetofauna, dan ikan), 1.900 spesies kupu-kupu yang merupakan 10 persen dari spesies dunia. Bahkan, Indonesia juga memiliki endemisitas spesies fauna yang sangat tinggi, seperti burung, mamalia, dan reptil yang tertinggi di dunia.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, sumber-sumber keanekaragaman hayati di Indonesia sendiri tersebar di beberapa tempat, seperti di hutan dan laut.

Keragaman berbagai flora dan fauna tersebut hidup berdampingan di alam yang terjaga kelestariannya. Sayangnya, tidak semua hewan dan tumbuhan bisa hidup berdampingan secara heterogen.

Beberapa jenis harus tumbuh sendiri. Salah satunya adalah efek budidaya kelapa sawit terhadap lingkungan. Beberapa pakar lingkungan mempunyai klaim masing-masing terhadap kelapa sawit.

Ada golongan akademisi mengatakan, kelapa sawit bukanlah penyebab deforestasi alias alih fungsi lahan. Adapun akademisi lain menyebut sistem penanaman sawit dengan monokultur (homogen) mengikis keragaman hayati dan kerentanan alam seperti kualitas lahan menurun, terjadinya erosi, serta merebaknya hama dan penyakit tanaman.

Terlepas dari analisis para akademisi, penjarahan hutan untuk kepentingan hutan homogen adalah logika yang mudah kita pahami. Forest Watch Indonesia mencatat kerusakan hutan di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat, saat ini telah mencapai 2 juta hektar per tahun.

Global Forest Watch 2017 Peta Indonesia dengan klasifikasi warna berdasarkan tahun deforestasi


Peta Indonesia dengan klasifikasi warna berdasarkan tahun deforestasi (sumber: Global Forest Watch 2017)

Bila kita melihat gambar di atas, kita akan melihat gambaran kondisi hutan di Indonesia selama 2017. Warna biru menunjukkan terjadinya deforestasi selama 2017 saja, warna merah adalah hutan yang terdeforestasi selama 2016, warna kuning yang terdeforestasi sejak 2000. Hitam untuk hutan yang masih bertahan.

Warna kuning yang mendominasi banyak titik menjelaskan deforestasi telah terjadi sebelum periode kepemimpinan presiden sekarang. Hal itu menjelaskan juga, mengapa selama itu kita mendapati terjadinya kebakaran hutan massal. Apa lagi kalau bukan untuk alih fungsi hutan menjadi komoditas yang menghasilkan uang untuk pemangku kepentingan tertentu.

Mungkin hal itu juga bisa menjelaskan, jumlah pertumbuhan perusahaan kelapa sawit di Indonesia sekarang berkembang biak. Salah satu komoditas perubahan lahan hutan yang seksi memang adalah kelapa sawit.

Bagaimana tidak, Indonesia menjadi primadona dalam pembahasan parlemen Uni Eropa karena kelapa sawit. Apakah lebih baik? Daripada disorot karena terorisme.

Buktinya, jumlah perusahaan kelapa sawit di Indonesia terus meningkat. Berdasarkan data Direktori Perkebunan Kelapa Sawit pada 2015, ada 1.599 perusahaan kelapa sawit di 24 provinsi di Indonesia.

Lima provinsi dengan jumlah perusahaan kelapa sawit terbanyak adalah Sumatera Utara (328 perusahaan), Riau (192 perusahaan), Kalimantan Barat (175 perusahaan), Kalimantan Tengah (145 perusahaan), dan Sumatera Selatan (138 perusahaan).

Berikut ini peta persebaran perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang dicatat dalam Direktori Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit BPS tahun 2015.

Persebaran perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia (data BPS, Direktori Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit 2015)BPS Persebaran perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia (data BPS, Direktori Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit 2015)

Data tersebut cukup menjelaskan, kenapa Asia Tenggara menderita darurat kabut asap akibat kebakaran hutan Indonesia sepanjang 2013. Selama Juni 2013, mayoritas kebakaran yang terjadi terpusat di Provinsi Riau, Pulau Sumatera, Indonesia (WRI, 2014).

Bukti lainnya, bila pada 2004 terdapat 5.284.723 hektar total perkebunan kelapa sawit di Indonesia, pada 2014 luas area tersebut menjadi 10.754.801 ha. Total produksi sawit ikut meningkat dari 2.267.271 ton pada 2004 menjadi 5.855.638 ton pada 2014 (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2015).

Dengan kata lain, dalam jangka waktu 10 tahun, jumlah luas lahan perkebunan dan produksi kelawa sawit meningkat hingga 100 persen.

Melihat angka peningkatan yang pesat, tidak heran dalam jangka waktu 10 tahun tersebut, Indonesia sudah dikenal sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia.

Laporan dari Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PAPSI) pada 2014 menyebutkan bahwa produksi kelapa sawit Indonesia mencapai 20.433 ton. Lima negara pengimpor kelapa sawit terbesar adalah India, Uni Eropa, Tiongkok, Pakistan, dan Bangladesh.

Kelapa sawit juga dinilai memberikan andil dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia. Salah satu faktornya, karena banyak menyerap tenaga kerja.

Pada 2000, terdapat 2.077.916 orang yang bekerja di sektor perkebunan kelapa sawit. Angka tersebut meningkat jadi 7.988.464 pada 2015 (PAPSI). Belum termasuk lagi sumbangan kelapa sawit sebagai salah satu komoditas ekspor non-migas terbesar.

Seorang warga yang tinggal di daerah perkebunan kelapa sawit di Samarinda, Kalimantan Timur, mengatakan, "Jalan aspal yang membentang di daerah-daerah kecil rumah saya baru dibangun sejak ada perkebunan kelapa sawit di desa saya. Kami ikut senang karena sawit memberikan dampak pembangunan pada desa kami."

Pengakuan tersebut hanyalah satu dari sekian orang yang merasakan dampak perkebunan kelapa sawit yang merajalela. Entah, mengertikah ia bahwa jalan aspal di desanya mungkin tidak akan bertahan dalam jangka panjang.

Atau, orang awam seperti dia tidak menyadari berapa hektar hutan yang harus dikorbankan untuk membuat jalan desanya menjadi beraspal.

Atau, jangan-jangan di daerah perkebunan kelapa sawit lebih banyak masyarakat yang merasakan hal yang sama seperti di atas.

Menggabungkan problem kelapa sawit dalam konteks keanekaragaman hayati di Indonesia adalah hal yang kompleks. Namun, yang tetap harus ditekankan adalah bagaimana pencarian solusi untuk masalah ini memprioritaskan hajat hidup orang banyak. Bukan hanya para pemilik modal.

Dinda Lisna Amilia, MA
Ketua Dewan Pengawas PPI India
Wakil Kantor Komunikasi PPI Dunia (ppidunia.org)

Penulis: Perhimpunan Pelajar Indonesia
Editor : Laksono Hari Wiwoho