Kompas.com
Kamis, 2 Mei 2024

Rayakan Perbedaan

TAG

Pidato Kebudayaan DKJ Tampilkan Menteri Agama

Senin, 7 November 2016 | 01:32 WIB
Ambaranie Nadia K.M Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin



JAKARTA, KOMPAS.com--Dewan Kesenian Jakarta memilih dua pembicara untuk tampil dalam Forum Pidato Kebudayaan 2016, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dan ‎ahli astronomi dari Institut Teknologi Bandung Premana W Permadi. Program tahunan DKJ yang digelar pada 10 November 2016 itu mengangkat tema  Menuju Polemik Kebudayaan: Quo Vadis Indonesia?

Lukman akan berbicara tentang kedewasaan beragama dan masalah-masalah kemanusiaan masa kini. Adapun Premana‎ membahas mengenai membudayakan nalar ilmiah dalam menghadapi konflik sosial yang meluas. ‎"Baru pertama kali ini ada dua pembicara, makanya kami beri nama Forum Pidato Kebudayaan. Agar lebih menarik, dinamis, dan makin banyak pemikiran bisa disampaikan," kata Ketua DKJ Irawan Karseno di Jakarta, Senin (31/10).

Ketua Bidang Program DKJ Helly Minarti menambahkan, gagasan utama menampilkan dua pembicara pada tahun ini karena permasalahan Indonesia sudah makin kompleks. Dibutuhkan tidak hanya satu perspektif untuk menganalisisnya.  Penyampaian gagasan bersama menjadi suara-suara terkini bagi keadaan terkini kebudayaan Indonesia.

Pidato kebudayaan menjadi tradisi yang diselenggarakan sejak 1989 dan digelar sebagai bagian dari perayaan ulang tahun Taman Ismail Marzuki. Saban tahun DKJ mengundang tokoh nasional untuk mengupas persoalan kebudayaan yang penting dan aktual. Para pembicara berusaha menjawab tantangan yang tengah dihadapi oleh bangsa dengan pemikiran-pemikiran jernih dan perspektif kebudayaan.

Lukman, ketika dikonfirmasi, tidak mengira dirinya bakal didaulat untuk berpidato kebudayaan. Akan tetapi, ia belakangan ini memang kerap hadir dalam acara-acara kebudayaan, dan kadang-kadang juga mengisi acara, seperti berorasi di acara AJI dan membaca puisi di TIM saat Hari Puisi. "Lalu diminta memberi pidato kebudayaan di TIM dan dalam waktu yang sama juga diminta baca puisi di Tempo.Kini saya sudah berubah wujud jadi Mendikbud? He-he-he," tutur Lukman.

Persimpangan

Irawan mengatakan, Indonesia pada 2016 mengalami situasi persimpangan kebudayaan kembali. Revolusi demokrasi tahap lanjut pada 1998 telah membuka sebuah era yang dipenuhi tawaran-tawaran aneka kelompok dalam masyarakat mengenai bagaimana seharusnya "menjadi Indonesia" pada Abad ke-21.

Ada tawaran visi berwatak liberal, agamis, sosialis, pragmatik. Ada pula visi militeristik atau fasis. Kadang tawaran-tawartan itu dibarengi kekerasan-kekerasan bahasa, ruang, psikologis, hingga fisik. ‎Tema Polemik Kebudayaan: Quo Vadis Indonesia? merujuk pada polemik kebudayaan pada 1935 di antara pada seniman dan cendekiawan Indonesia. "Ini merangsang publik untuk mencari jawaban dan solusi bagi masalah-masalah bangsa ini," kata Irawan.

Pidato kebudayaan pertama pada 1989 menyuguhkan Umar Kayam dengan judul Pembebasan Budaya-budaya Kita. Selanjutnya, sejumlah tokoh yang mengisi program ini di antaranya Emil Salim, BJ Habibie, Mochtar Kusumaatmadja, dan Fuad Hasan, WS Rendra, Ali Sadikin, dan Todung Mulya Lubis. Tiga tahun terakhir menampilkan Karlina Supeli dengan tema Kebudayaan dan Kegagapan Kita, Hilmar Farid dengan tema Arus Balik Kebudayaan: Sejarah Sebagai Kritik, dan Nirwan A Arsuka dengan tema Percakapan dengan Semesta.

Indonesia pada 2016 tampaknya mengalami situasi persimpangan kebudayaan kembali. Tawaran-tawaran aneka kelompok dalam masyarakat mengenai bagaimana seharusnya "Menjadi Indonesia" pada abad ke-21 ini mengemuka. Ada yang menawarkan visi berwatak liberal, ada yang menawarkan visi agamis, visi sosialistik, visi pragmatik, bahkan ada juga yang militeristik dan/atau berwatak fasis. Kadang, tawaran-tawaran itu dibarengi kekerasan-kekerasan bahasa, ruang, psikologis, hingga kekerasan fisik.

Hanya dengan melihat lalu-lintas percakapan di media sosial dan media daring yang menyangkut peran agama di dalam masyarakat modern saat ini, khususnya yang terkait dengan konflik politik seputar Pilpres dan Pilkada. Tampak sebuah oposisi biner: pertarungan antara kaum “liberal” vs. kaum “jihadis”, kaum “progresif” vs. kaum “(ultra)konservatif”, yang masing-masing menganggap pihak seberang sebagai sesat. Retorika kekerasan seperti “bunuh”, “penggal”, “dungu”, “bakar”, dsb. Hal itu membanjir setiap pagi hingga pagi Lagi di Facebook, Twitter, dan Whatsapp berbahasa Indonesia.

Forum Pidato Kebudayaan ini tidak dipungut biaya. Kapasitas terbatas 1500 kursi. Untuk reservasi mohon mengisi data diri di link berikut: http://bit.ly/forumpidatokebudayaan. (Susi Ivvaty)

Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:

Editor : Jodhi Yudono