Kisah Yuliana, Juara Dunia yang Tekuni Pencak Silat karena Trauma Dikeroyok Kakak Kelas (2)

By Kontributor Kompas TV Mataram, Fitri Rachmawati - Selasa, 31 Juli 2018 | 11:58 WIB
Yuliana (17), atlet Indonesia yang menjadi juara dalam Kejuaraan Dunia Pencak Silat Junior di Thailand pada April 2018, tengah berlatih di Pusat Pendidikan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) NTB di Lapangan Lawata, Kota Mataram.
Yuliana (17), atlet Indonesia yang menjadi juara dalam Kejuaraan Dunia Pencak Silat Junior di Thailand pada April 2018, tengah berlatih di Pusat Pendidikan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) NTB di Lapangan Lawata, Kota Mataram. (KOMPAS.com/Fitri Rachmawati)

MATARAM, KOMPAS.com - Namanya Yuliana. Dia masih berusia 17 tahun dan duduk di kelas 2 SMA. Namun, prestasinya sudah mendunia.

Dia adalah juara dunia Pencak Silat Junior 2018 di Songkhla, Thailand, pada bulan April lalu.

Baca selengkapnya: Kisah Yuliana, Juara Dunia Pencak Silat yang Cuma Bawa Pulang Piala dan Medali (1)

Ketertarikan Yuliana menekuni olahraga pencak silat, bagi Yuliana, berawal dari trauma. Atlet asal Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), ini dulu kerap dikejar dan dikeroyok kakak kelasnya sewaktu masih duduk di tingkat sekolah dasar (SD).

“Saya berdoa waktu itu biar cepat masuk SMP dan ikut ekstrakurikuler sekolah yang ada silatnya, biar tidak diganggu lagi. Makanya saya ingin cepat cepat lulus SD,” tutur Yuliana.

Oleh karena itu, ketika Yuli bersekolah di SMP 2 Kuripan, Lombok Barat, dia langsung mengikuti ekskul Pencak Silat.

Namun dari keinginan hanya untuk membela diri, dia justriu akhirnya mengikuti sejumlah kejuaraan silat. Ini tak lepas dari dorongan guru yang pertama kali melatihnya yang bernama Pak Masahnun.

“Awalnya orangtua tidak tahu saya ikut silat, saya tidak beri tahu. Perjuangan Pak Masahnun yang mengantar dan menjemput ikut kejuaraan karena saya selama SMP pakai sepeda. Guru saya kasihan karena itu dia selalu menjemput dan mengantar jika ada kejuaraan silat,” katanya.

Baca juga: 7 Hadiah untuk Zohri, Sang Juara Dunia dari NTB

Kejuaraan pertamanya adalah Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (OS2N) tingkat Kabupaten, kemudian berlanjut ke tingkat provinsi pada tahun 2015. Yuliana meraih juara pertama.

Ketika itulah, dia mulai dilirik oleh pelatih Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) NTB yang berpusat di Lapangan Lawata, Kota Mataram, termasuk asrama para atlet juga di tempat itu.

Para guru di SMP 2 Kuripan awalnya tak mau melepas Yuli untuk digodok dan dilatih di PPLP dengan pelatih berpengalaman. Hingga akhirnya, mereka mengizinkan Yuli meninggalkan sekolah di kampungnya lalu hijrah ke Kota Mataram demi menggodok kemampuan bela dirinya.

Yuliana mengaku, tidak mudah baginya meninggalkan keluarga dan sekolah yang memberikan ruang belajar berharga baginya, terutama untuk belajar sportif bahwa bela diri bukan untuk ajang balas dendam pada kakak kelasnya di masa SD yang kerap mengganggunya.

Namun itu semua demi masa depan gemilang yang menantinya. Sejumlah kejuaraan tak mungkin bisa diikutinya tanpa melalui wadah yang tepat dan PPLP adalah tempat penggodokan yang paling baik baginya sementara ini.

“Saya akhirnya mengiyakan setelah dijelaskan panjang lebar apa itu PPLP. Saya awalnya tidak pernah dengar apa itu PPLP,” kata Yuli.

Bersambung ke halaman dua: Berjuang demi keluarga dan ingin kuliah fisioterapi

 


Yuliana (17), atlet Indonesia yang menjadi juara dalam Kejuaraan Dunia Pencak Silat Junior di Thailand pada April 2018, tengah berlatih di Pusat Pendidikan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) NTB di Lapangan Lawata, Kota Mataram.
Yuliana (17), atlet Indonesia yang menjadi juara dalam Kejuaraan Dunia Pencak Silat Junior di Thailand pada April 2018, tengah berlatih di Pusat Pendidikan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) NTB di Lapangan Lawata, Kota Mataram. (Kompas.com/Fitri Rachmawati)
Ditinggal pergi bapak

Kehidupan keluarganya di Dusun Trajon, Desa Montong Are, Kecamatan Kediri, Lombok Barat, hanya seadanya. Di rumah seluas 4x6 meter persegi, teras rumah langsung difungsikan menjadi dapur.

Namun Yuliana tak patah arang. Sebagai anak sulung, Yuliana harus tetap semangat. Dia pun memantapkan diri untuk tinggal di asrama PPLP.

“Dia juga satu angkatan dengan Zohri. Sama-sama masuknya di PPLP sama Zohri hanya nasibnya yang tidak seberuntung Zohri kalau kondisi kehidupannya sama. Mereka sama-sama anak yatim, ayahnya Yuli meninggal sejak usianya 3 tahun,” kata Salabi, Pelatih PPLP khusus pencak silat.

Yuli menuturkan, ayahnya, Sahdi (47), meninggal dalam kecelakaan saat mengojek. Ketika itu, usianya masih 3 tahun.

Untuk menghidupi dia dan adiknya, sang ibu, Sumaini (45), sehari-hari berjualan pelecing di depan rumah. Ibunya lalu menikah lagi dengan ayah tirinya saat ini, Suadi, dan memiliki dua orang adik dari pernikahan kedua ibunya.

“Saya beruntung masih memiliki ibu dan ayah lagi. Karena itu, saya terus berdoa terutama dalam kejuaraan pencak silat dunia, Junior 2018 di Songkhla, Thailand bulan April lalu," tuturnya.

“Saya berdoa dalam hati, ya Allah semoga saya juara agar bisa membiayai umrah ibu dan ayahnya. Saya baru buka sekarang setelah juara, tapi mungkin belum rezeki saya ya. Tetapi saya tak mengejar hadiah berlebih untuk berjuang bagi negeri ini, saya sangat bangga atas apa yang sudah Tuhan berikan,” ungkap Yuliana.

Yuli juga tak ingin yang dijalaninya selalu dengan niat mengejar materi. Dia ingin memberikan yang terbaik bagi negeri ini karena janji itulah yang tertanam dalam dada para atlet, apapun kondisi mereka.


Ingin kuliah fisioterapi

Kedua orangtua Yuliani pun tak banyak menuntut. Mereka mendukung apapun langkah Yuliana. Apalagi mereka mengaku hanya orang kecil dengan pekerjaan yang penghasilannya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.

Namun kejuaraan pencak silat bukannya tidak berisiko. Yuliana sempat mengalami cedera di bagian kakinya dan menjalani terapi fisioterapi.

Proses ini membuatnya ingin melanjutkan pendidikan ke jurusan fisioterapi Poltekes Surakarta. Biaya juga menjadi pikirannya.

“Dia itu cerdas. Ndak mau hanya menjadi atlet biasa. Dia mau menjadi atlet yang bermanfaat bagi atlet lainnya, juga menjadi ahli fisioterapi karena bagi Yuli banyak atlet yang butuh penanganan cepat yang harus dilakukan oleh mereka yang memahami atlet,” kata Salabi.

Kalaupun ada bantuan beasiswa, siswa kelas 2 SMU ini akan sangat bahagia.

"Atlet harus mengejar pendidikan yang tinggi sebagai bekal masa depan," tutur Yuliana.

Editor : Caroline Damanik

Close Ads X