Hanura Sayangkan Momentum Putusan MK yang Larang Pengurus Partai Masuk DPD

By Rakhmat Nur Hakim - Selasa, 24 Juli 2018 | 09:29 WIB
Ketua DPP Partai Hanura, Benny Ramdhani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (28/7/2017).
Ketua DPP Partai Hanura, Benny Ramdhani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (28/7/2017). (KOMPAS.com/Nabilla Tashandra)

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua DPP Partai Hanura Benny Ramdhani menyayangkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang pengurus partai politik menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Ia menghormati putusan tersebut, namun menyayangkannya lantaran MK mengeluarkan putusan di menit-menit akhir pendaftaran calon anggota DPD dan legislatif.

Menurut Benny, hal itu mengancam hak politik para pengurus partai yang tetap ingin mempertahankan keanggotaannya, namun tak sempat menyiapkan proses perpindahan untuk pendaftaran calon anggota legislatif (caleg) di DPR.

"Jika ada pengurus partai yang akhirnya dengan putusan ini dia tidak mau tinggalkan partai sehingga konsekuensinya dia tidak lanjutkan pencalonan DPD dan memilih DPR, pencalonan DPR juga kan sudah jalan," kata Benny saat dihubungi, Senin (23/7/2018) malam.

Ia menambahkan, semestinya sebelum mengeluarkan putusan itu, MK mempertimbangkan aspek teknis bagi pengurus partai yang sudah mendaftar sebagai calon anggota DPD untuk pindah ke pencaonan di DPR .

Baca juga: MK: Pelarangan Pengurus Parpol Jadi Anggota DPD untuk Hindari Distorsi Politik

Ketika ditanya berapa jumlah pengurus Partai Hanura yang tak bisa mendaftar sebagai calon anggota DPD, Benny tak mengetahui secara pasti.

Namun, hingga akhir 2017 tercatat sebanyak 28 pengurus Partai Hanura berstatus sebagai anggota DPD.

Saat ditanya mengapa sejak awal para pengurus Partai Hanura itu tak mendaftar sebagai caleg di DPR, ia menjawab hal itu menjadi bagian dari strategi partainya agar tetap bisa memperjuangkan aspirasi di level politik nasional.

Partai Hanura berasumsi dengan putusan sebelumnya yang memperbolehkan pengurus partai menjadi anggota DPD sehingga langkat tersebut tetap ditempuh.

"Jadi secara substantif apa yang menjadi putusan MK kami hormati. Larangan terhadap pengurus partai mencalonkan sebagai anggota DPD. Tapi secara praktis implementatif, putusan ini jelas berbahaya dan mengancam banyak orang yang kehilangan hak politiknya," kata Benny.

Baca juga: Dilarang MK, Pengurus Parpol yang Kini Anggota DPD Harus Mengundurkan Diri

MK sebelumnya melarang pengurus parpol untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Ini merupakan putusan atas permohonan uji materi Pasal 182 huruf l Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam pasal tersebut, terdapat frasa "pekerjaan lain" dalam persyaratan pendaftaran calon anggota DPD dalam pasal tersebut.

Dalam frasa tersebut tidak dijelaskan secara rinci apakah pengurus partai politik (parpol) diperbolehkan mendaftar sebagai calon anggota DPD.

Menurut MK, ada ketidakpastian hukum terkait tak adanya penjelasan atas frasa "pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, atau hak sebagai anggota DPD sesuai dengan peraturan perundang-undangan" dalam pasal tersebut.

Lalu, bagaimana nasib pengurus parpol yang sudah telanjur mendaftar sebagai calon anggota DPD pada Pemilu 2019?

MK menyatakan dalam amar putusannya hari ini, Senin (23/7/2018), ada kemungkinan pengurus parpol terdampak keputusan tersebut. Terkait hal ini, MK menyatakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dapat memberikan kesempatan bagi pengurus parpol untuk mengundurkan diri dari keanggotaannya di partai.

"KPU dapat memberikan kesempatan bagi yang bersangkutan untuk tetap sebagai calon anggota DPD sepanjang telah menyatakan mengundurkan diri dari kepengurusan parpol," tulis MK.

Kompas TV Pengamat politik menilai rencana uji materi terkait syarat cawapres bukan merupakan pendidikan yang baik.



Editor : Bayu Galih
Artikel Terkait


Close Ads X