Posisi Jokowi Dinilai Lebih Rumit dalam Menghadapi Pilpres 2019

By Dylan Aprialdo Rachman - Rabu, 11 Juli 2018 | 07:35 WIB
Presiden Joko Widodo menyampaikan tanggapan terkait teror bom di Polrestabes Surabaya di Jakarta, Senin (14/5). Presiden mengecam aksi teror bom yang terjadi di Surabaya dan Sidoarjo, serta meminta DPR untuk segera mengesahkan revisi UU Tindak Pidana Terorisme atau Presiden akan mengeluarkan Perppu apabila Revisi UU tersebut tidak kunjung disahkan hingga Juni 2018.
Presiden Joko Widodo menyampaikan tanggapan terkait teror bom di Polrestabes Surabaya di Jakarta, Senin (14/5). Presiden mengecam aksi teror bom yang terjadi di Surabaya dan Sidoarjo, serta meminta DPR untuk segera mengesahkan revisi UU Tindak Pidana Terorisme atau Presiden akan mengeluarkan Perppu apabila Revisi UU tersebut tidak kunjung disahkan hingga Juni 2018. (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)

JAKARTA, KOMPAS.com — Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Adjie Alfaraby, menilai, Presiden Joko Widodo masih berada dalam posisi yang rumit menjelang Pilpres 2019.

Pertama, kata dia, posisi elektoral Jokowi lebih rendah dibandingkan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada kontestasi politik keduanya. Pada waktu itu, dalam berbagai survei, elektabilitas SBY pada periode keduanya berada di atas 60 persen.

Baca juga: Saat Dua Menteri Mengungkit Masa-masa Jadi Timses Jokowi-JK di Hadapan Anies...

Sementara Jokowi saat ini masih di bawah 50 persen dalam berbagai survei.

"SBY begitu leluasa memilih siapa cawapres di Pilpres 2009. Karena itu, kita terkejut saat muncul nama Boediono sebagai pendamping SBY. Memang poin pertama faktor elektoral membuat situasi siapa cawapres Jokowi makin rumit," ujarnya di kantor LSI, Jakarta, Selasa (10/7/2018).

Ia menuturkan, faktor elektoral membuat posisi Jokowi yang juga merupakan petugas partai PDI-P cenderung rumit dalam penentuan cawapresnya.

Baca juga: Pengamat: Mahfud MD Figur Komplet Jadi Cawapres bagi Jokowi

Sebab, calon dari partai biasanya harus mengikuti keputusan partai yang datang dari ketua umumnya, dalam hal ini Megawati Soekarnoputri.

Adjie juga menduga ada proses diskusi dan perdebatan alot di internal koalisi Jokowi maupun internal PDI-P dalam penentuan cawapres.

"Mengapa sampai saat ini nama cawapres belum muncul? Salah satu faktornya adalah perdebatan di internal koalisi Jokowi," kata dia.

Baca juga: Politisi PKS: Prabowo Penantang Kuat Jokowi, yang Lain Masih Berat

"Ini jadi posisi yang rumit. Tapi di sisi lain kita lihat, Jokowi diuntungkan beberapa partai yang telah secara resmi mendeklarasikan dukungan ke Jokowi," lanjutnya.

Dengan tiket dari partai koalisi lainnya, Adjie juga menilai posisi Jokowi cenderung lebih kuat dan sedikit leluasa dalam menentukan nama cawapresnya dibandingkan posisi Megawati.

"Kalau kita lihat dari sisi bergaining, saat ini PDI-P tidak punya pilihan yang banyak ya untuk memaksakan internal dari PDI-P karena tadi tiket sudah diraih Jokowi. Jadi posisi Jokowi lebih kuat dibandingkan posisi Megawati  untuk menentukan siapa cawapres Jokowi," ungkap dia.

Baca juga: Jelang Pilpres 2019, Jokowi Ingatkan Pandai-pandai Memilih Pemimpin

Selain itu, kata Adjie, PDI-P tak bisa memaksa Jokowi untuk menentukan cawapresnya dari internal PDI-P. Sebab, partai ini tak memiliki kader yang mampu mendongkrak elektabilitas Jokowi secara signifikan dan meningkatkan kualitas pemerintahan nantinya.

"Dari nama yang sempat muncul kan seperti Puan Maharani. Itu adalah nama yang sebetulnya tidak populer di publik dan secara kualitatif tidak kuat meningkatkan kualitas pemerintahan," ujarnya.

Kompas TV Simak dialognya dalam Kompas Petang berikut ini



Editor : Diamanty Meiliana
Artikel Terkait


Close Ads X