Kota Salatiga: Perpusda Jadi Tulang Punggung

Jumat, 24 Juli 2015 | 15:00 WIB
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA Salah satu pusat kawasan perekonomian dengan pasar dan pertokoan di Kota Salatiga, Jawa Tengah, Selasa (14/4). Kota Salatiga dengan luas 56,78 kilometer persegi berkembang sebagai pusat pendidikan, perdagangan, dan transit wisatawan.


Oleh Adi Prinantyo dan Amanda Putri


Jika yang Anda bayangkan adalah perpustakaan yang sepi dengan deretan buku yang terpajang monoton di rak-rak, itu bukan wajah Perpustakaan Daerah Kota Salatiga di Jawa Tengah. Pada 2013, Pemerintah Kota Salatiga memindah dan mengubah wajah perpustakaan daerah yang suram dan kurang layak untuk menyimpan buku dan arsip menjadi tempat yang menarik untuk dikunjungi.

Pengunjung tidak hanya bisa meminjam buku yang tertata rapi di rak-rak secara gratis, tetapi juga bisa mengakses internet secara gratis, dengan komputer yang disediakan ataupun dengan Wi-Fi. Selain itu, tersedia ruang multimedia yang biasanya digunakan untuk "nonton bareng" film-film bertema pendidikan atau sejarah, dan dapat digunakan warga untuk kegiatan pendidikan, seni, atau budaya.

Di belakang ruangan perpustakaan, tersedia tiga gazebo yang bisa dipakai untuk membaca buku atau berdiskusi. Tersedia pula buku-buku dengan huruf braille untuk penyandang tunanetra. Perpustakaan juga buka setiap hari, pada Senin-Jumat hingga pukul 20.00 dan pada Sabtu-Minggu hingga pukul 16.00.

Seorang pengunjung Perpusda Salatiga, Lugito (48), warga Kelurahan Kutowinangun, Kecamatan Tingkir, mengatakan, sejak perpusda pindah ke lokasi baru, dengan konsep baru pula, dia tertarik meminjam dan membaca buku di sana. "Awalnya saya mengantar anak saya ke perpustakaan. Setelah itu jadi tertarik karena ternyata banyak buku yang berguna," ujarnya.

Lugito mengaku senang membaca buku-buku psikologi populer dan buku-buku tentang sejarah. Buku-buku itu, katanya, membantu dirinya dalam bersosialisasi di lingkungannya serta memperluas wawasannya. "Jadi kalau ngobrol sama orang bisa nyambung," ujarnya.

Lena (57), warga Salatiga lainnya, suatu siang pada April lalu juga bersemangat mengantar cucunya mendaftar sebagai anggota perpusda. "Saya ingin mengajak cucu saya meminjam buku-buku di sini. Awalnya mungkin buku-buku cerita dulu. Nantinya, saya berharap cucu saya juga berminat membaca buku-buku pengetahuan," katanya.

Kepala Perpusda Kota Salatiga Agus Parmadi mengatakan, setelah Pemkot Salatiga mengubah wajah perpusda, minat baca warga Salatiga meningkat tajam. Perpusda, yang sebelumnya minim pengunjung, kini menjadi tempat yang nyaman untuk dikunjungi karena tersedianya berbagai fasilitas penunjang.

Pengunjung yang sebelumnya hanya sekitar 50 orang per hari, kini menjadi 700-1.000 orang per hari. Jumlah ini tergolong sangat tinggi, mengingat jumlah warga Kota Salatiga hanya 186.000 jiwa. "Jika dihitung berdasarkan jumlah kunjungan per tahun, dibagi dengan jumlah penduduk Salatiga, angka minat baca kami mendekati 200 persen," kata Agus.

Wali Kota Salatiga Yuliyanto mengatakan, perubahan wajah perpustakaan daerah itu merupakan salah satu upaya pemerintah kota dalam meningkatkan minat baca warganya. Ini sejalan dengan program Pemkot Salatiga yang memprioritaskan pengembangan di bidang pendidikan.

content
Komitmen

Hal itu diikuti dengan komitmen dalam pembiayaan. Jika sebelumnya anggaran untuk perpusda hanya sekitar Rp 300 juta per tahun, kini menjadi Rp 1,5 miliar pe tahun. "Memang belum banyak sekali penambahannya, tetapi ini sudah sangat bagus. Kami dapat menambah koleksi dan tidak memungut biaya sepeser pun kepada pengunjung, serta (dapat) membayar uang lembur pegawai yang masuk hingga malam hari, atau bertugas di akhir pekan," ujarnya.

Perubahan perpusda ini pun diapresiasi kalangan masyarakat. Direktur Lembaga Persemaian Cinta Kemanusiaan (Percik) Salatiga, Pradjarta mengakui perbaikan perpusda memberi warna bagi suasana di Salatiga.

Namun menurut Bahruddin, pendiri Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah di Kalibening, Tingkir, pendidikan yang menjadi fokus pengembangan Kota Salatiga masih sebatas pendidikan formal. Anak-anak dididik menjadi pintar, bukan menjadi cerdas, dalam arti dapat menguasai pengetahuan dalam konteks kehidupannya.

"Menjadi kota yang cerdas berarti warganya pun harus cerdas. Cerdas berarti pula berkepribadian dan sensitif pada keadilan. Kota yang cerdas juga harus memenuhi hak-hak politik warganya dan lebih memilih berproduksi ketimbang mengonsumsi," katanya.

Karena itu, kata Bahruddin, perpusda akan menjadi lebih baik jika menyediakan buku-buku hasil karya anak-anak Salatiga. Dengan begitu, anak-anak sejak dini didorong untuk berproduksi dan menghasilkan karya.

Seiring program pemkot, inisiatif muncul dari warga. Ini seperti dilakukan Santo Handoyo yang mendirikan komunitas relawan Salatiga Peduli. Komunitas ini mengumpulkan orang-orang yang peduli kepada sesama dan membantu orang-orang yang membutuhkan, misalnya untuk biaya sekolah, kesehatan, atau bedah rumah tidak layak huni.

Selain di bidang pendidikan, pemkot pun memperbaiki wajah kota dengan membenahi taman kota. Taman kota yang terletak di sisi Jalan Lingkar Salatiga ini ditanami tumbuh-tumbuhan langka dan juga dilengkapi jalur khusus untuk sepeda.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Juli 2015, di halaman 22 dengan judul "Perpusda Jadi Tulang Punggung".

Comments: