Menghadapi Tantangan Zaman

Selasa, 5 Mei 2015 | 15:10 WIB
WARTA KTOA / ANGGA BHAGYA NUGRAHA Obyek wisata Lembah Anai, Padang Panjang, Sumatera Barat.


Kota Padang Panjang di Sumatera Barat dikenal sebagai kota serambi Mekkah. Di kota yang sejuk ini, pendidikan, terutama pendidikan agama, tumbuh. Hasilnya, antara lain, sebagian besar warga malu melakukan sesuatu yang buruk, termasuk merokok. Sejak 2009, pemerintah kota menerapkan peraturan daerah tentang tertib rokok, yang diikuti dengan tidak adanya iklan rokok.

Armen (36), salah seorang warga yang ketika ditemui pada Minggu (26/4) tengah berada di taman, mengatakan, larangan merokok di tempat- tempat umum telah lama diterapkan. Ia kini tak pernah lagi merokok di rumah sakit, sekolah, atau di tempat-tempat bertuliskan larangan merokok.

Di taman itu juga dipasang sebuah papan bertuliskan peraturan daerah tentang kesusilaan. Dalam papan itu tertulis, warga, terutama perempuan, dilarang mengenakan pakaian yang terbuka, seperti rok atau celana pendek, juga pakaian tanpa lengan atau sejenisnya.

"Itu semua orang sudah tahu. Selama ini, sih, tidak ada yang berani melanggar. Kalau melanggar, sama seperti merokok, kalau tidak ditegur, ya, paling ditertawakan sama yang lain. Kalau sudah gitu, kami malu sendiri," katanya.

Aturan-aturan itu secara langsung mendukung iklim keagamaan yang dibangun di kota tersebut, selain keberadaan pondok pesantren besar. Paling tidak, ada empat pondok pesantren besar yang usianya sudah puluhan tahun. Di kota ini pula para cendekiawan Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) bertumbuh, juga pahlawan nasional Hajjah Rangkayo Rasuna Said.

Salah satu pondok pesantren yang sudah berusia lebih dari 100 tahun, yaitu Perguruan Diniyyah Putri, yang berdiri pada 1910 juga ada di kota ini. Tidak hanya santri dari Sumatera, para siswa dari negara-negara lain, seperti Malaysia dan Brunei, pernah menimba ilmu di sana.

Di pondok pesantren, anak- anak dididik agama Islam secara kental, juga nilai-nilai moral seperti kedisiplinan dan kejujuran. Di Pondok Pesantren Diniyyah Puteri, siswa yang kedapatan menyontek saat ujian, baik harian, tengah semester, maupun akhir semester, seketika itu juga dikeluarkan. Hal itu telah disepakati oleh orangtua siswa sebelum anaknya masuk pondok pesantren.

"Inilah yang dapat kami lakukan. Selebihnya tentu berpulang kepada keluarga dan pribadi si anak. Nilai-nilai yang di luar sudah banyak luntur terus kami tanamkan," ujar Kepala Departemen Sumber Daya Manusia Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang Fauzi Fauzan El Muhammady.

Seni tradisi

Tidak hanya pendidikan dan agama, budaya tradisi juga dipertahankan. Keberadaan Institut Seni Indonesia di Padang Panjang juga turut memberi warna pada bertahannya budaya di kota yang wilayahnya terdiri atas empat kecamatan ini.

Pengajar Fakultas Seni Pertunjukan ISI, Oktavianus, mengatakan, ada banyak sanggar seni tradisi yang hidup di Padang Panjang. Mahasiswa dan entitas akademis di ISI selama ini berupaya memberi perhatian dan turut mengembangkan seni tradisi yang dianggap tertinggal, dengan mengemasnya menjadi lebih menarik.

Pendiri Sanggar Aguang dan satu-satunya penari yang menguasai tari tradisi piriang saluah, Asnimar Elkar, kini juga mengajar di ISI. Tari piriang saluah merupakan tari piring dengan penari membawa obor di atas kepalanya.

"Membawa obor di kepala itu tidak mudah, membutuhkan keseimbangan dan konsentrasi tinggi. Obor itu penerang dan tidak mudah menjadi penerang, kita harus melihat lurus ke depan, bukan ke atas atau ke bawah karena pasti akan jatuh," ujar Asnimar.

Dia menyadari banyak pihak, terutama generasi muda, memandang seni tradisi sebagai sesuatu yang membosankan. Namun, ia tak berhenti. Ia pun mengemas tari piriang saluah menjadi lebih menarik. Beberapa tahun lalu, ia menari dengan sawah sebagai panggungnya. Ditambah sedikit tata cahaya, pertunjukan piriang saluah menjadi sangat atraktif. Pekan depan, akan ada pertunjukan serupa di halaman rumahnya.

"Prinsip kami, apa pun bisa menjadi panggung. Dan, siapa pun bebas menari. Kami mencoba mengembangkan tari ini dengan berbagai kreasi. Tetap ada pakem, tetapi setiap penari bebas berekspresi," kata Syahrial, adik Asnimar yang juga penari.

Namun kini, dengan perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat, dengan sangat terbukanya arus informasi, nilai-nilai moral sedikit demi sedikit mulai luntur. Anak-anak muda yang bersekolah atau berkuliah di luar daerah, ketika kembali, membawa nilai-nilai yang lebih bebas.

"Sekarang ini anak-anak lebih asyik dengan gawai. Anak-anak lebih sibuk dengan dunia luar, dengan internet. Masih ada sedikit yang mau berlatih tari. Ini kami pertahankan," ujar Asnimar.

Dia optimistis masih banyak anak-anak yang tetap berpegang teguh pada nilai-nilai luhur, agama, dan tradisi. Peran orangtua, pendidik, serta lingkungan, termasuk di dalamnya upaya pemerintah, akan sangat menentukan pembentukan karakter anak dan bangsa ke depan.

Kehadiran Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM) juga mempertegas upaya Kota Padang Panjang dalam mempertahankan kebudayaan. Pada lahan seluas 2,33 hektar, berdiri dua rumah gadang yang tetap mengedepankan kaidah arsitektur aslinya. Rumah gadang yang menjadi gedung utama digunakan untuk ruang pameran yang berisi buku, foto-foto lama, mikro film, dan pakaian tradisional. Satu lagi digunakan untuk ruang kantor.

Menurut Suaitah, pemandu di PDIKM Padang Panjang, kawasan yang diprakarsai oleh pengabdi pendidikan Sumbar, Abdul Hamid, dan mantan Menteri Koperasi Letnan Jenderal (Purn) Bustanul Arifin yang diresmikan pada 17 Desember 1988 itu kini menyimpan sekitar 3.000 buku, ratusan foto yang rata-rata hasil repro dan fotokopi. (Ismail Zakaria/Amanda Putri Nugrahanti)

Comments: