Catatan Akhir Tahun LBH Jakarta, Memburuknya Proses Demokrasi - Kompas.com
Kamis, 2 Mei 2024

Kaleidoskop 2016

Kaleidoskop 2016

Simak rangkuman peristiwa, informasi, dan ulasan topik hangat yang terjadi selama tahun 2016..

Catatan Akhir Tahun LBH Jakarta, Memburuknya Proses Demokrasi

Sabtu, 17 Desember 2016 | 18:31 WIB
Kristian Erdianto Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa saat peluncuran Catatan Akhir Tahun 2016 LBH Jakarta, di kantor LBH Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (17/12/2016).

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Alghiffari Aqsa menilai, pemerintah belum menjadikan hukum sebagai panglima setiap merumuskan kebijakan.

Menurut Alghiffari, pemerintahan Presiden Joko Widodo lebih fokus pada pembenahan terkait persoalan politik dan kekuasaan. Penegakan hukum terkesan dikesampingkan. 

Hal tersebut, kata Alghiffari, berdampak pada memburuknya proses demokrasi di Indonesia.

"Pemerintah belum menjadikan hukum sebagai panglima. Pemerintah hanya fokus ke soal politik kekuasaan. Hal itu menyebabkan buruknya iklim demokrasi kita," ujar Alghiffari saat peluncuran Catatan Akhir Tahun 2016 Lembaga Bantuan Hukum Jakarta 'Mundurnya Demokrasi dan Kalahnya Negara Hukum', di kantor LBH Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, (17/12/2016).

(Baca: Jika Serius Selesaikan Kasus HAM, Jokowi Bisa Mulai dengan Menemui Peserta Aksi Kamisan)

Alghiffari menuturkan, menurunnya proses berdemokrasi tampak dari maraknya kasus yang muncul terkait pelanggaran hak asasi manusia (HAM) sepanjang tahun 2016.

Sejak awal tahun, tindakan intoleransi masih mewarnai konflik di tengah masyarakat.

Semisal, kata Alghiffari, diskriminasi terhadap anggota eks Gafatar, pengusiran jemaat Ahmadiyah di Bangka Belitung dan menguatnya sentimen kelompok intoleran terhadap etnis Tionghoa yang tidak mendapat penanganan serius dari pemerintah.

Sementara itu, kekerasan juga dialami oleh kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT).

Pemerintah juga dinilai mengekang kebebasan berekspresi dan berpendapat.

LBH Jakarta sempat menerima pengaduan atas pembubaran sejumlah diskusi dengan tuduhan menyebar ajaran komunisme, seperti yang terjadi pada Festivak Belok Kiri dan pemutaran film Pulau Buru Tanah Air Beta.

"Saya melihat ruang ekspresi dan berpendapat bagi masyarakat semakin mengecil," tuturnya.

Pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi, menurut Alghiffari, diperparah dengan kian mudahnya pemerintah menggunakan tuduhan makar.

Alghiffari menuturkan, beberapa waktu lalu LBH jakarta pernah mengadvokasi sejumlah aktivis dan mahasiswa Papua yang ditangkap karena berunjuk rasa.

(Baca: Pemerintah Pastikan Tuntaskan Kasus HAM di Indonesia)

Mereka ditangkap atas tuduhan makar, padahal saat itu aktivis dan mahasiswa Papua mengekspresikan hak sipil politiknya dengan cara damai tanpa kekerasan.

"Mengekspresikan kemerdekaan itu hak asasi, sepanjang tidak menggunakan senjata dan kekerasan. Lalu kami dicap membantu OPM (Organisasi Papua Merdeka). Mereka mengkritik pemerintah tapi dengan mudahnya dituduh makar, tanpa ada bukti yang cukup," kata Alghiffari.

Selain itu, Alghiffari juga menyebut pemerintah telah melakukan pembangkangan terhadap hukum.

Menurut Alghiffari pembangkangan hukum yang dilakukan pemerintah jelas terlihat dalam beberapa kasus, seperti kasus proyek reklamasi Teluk Jakarta, penggusuran paksa di Jakarta yang melibatkan TNI, kasus Petani Kendeng melawan pabrik semen di Rembang dan kasus sengketa informasi terkait berkas penyelidikan TPF (Tim Pencari Fakta) Munir.

"Kasus Munir menangkan gugatan di KIP tidak digubris Kasus petani Rembang melawan perusahaan semen, tapi gubernurnya mengeluarkan izin baru," ungkapnya.

Berdasarkan catatan akhir tahun 2016, LBH Jakarta menerima setidaknya 1444 pengaduan dengan jumlah pencari keadilan sebanyak 121571 orang. LBH menangani lebih lanjut 165 kasus untuk ditangani secara struktural dengan total 8958 pencari keadilan.

Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:

Penulis: Kristian Erdianto
Editor : Krisiandi