Kaleidoskop 2016: Lima Bencana Besar di Indonesia - Kompas.com
Kamis, 25 April 2024

Kaleidoskop 2016

Kaleidoskop 2016

Simak rangkuman peristiwa, informasi, dan ulasan topik hangat yang terjadi selama tahun 2016..

Kaleidoskop 2016: Lima Bencana Besar di Indonesia

Rabu, 14 Desember 2016 | 06:29 WIB
KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG Warga melintasi bangunan pasar Meureudu yang roboh akibat bencana gempa di Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie jaya, Aceh, Kamis, (8/12/2016). Sebagian korban sudah teridentifikasi dan sebagian lagi masih dalam proses pendataan serta korban luka sendiri berjumlah 128 orang luka berat, dan 489 orang luka ringan, 86 unit rumah, 105 ruko, 13 unit masjid rusak berat.

KOMPAS.com – Indonesia mencatat rekor tertinggi kejadian bencana alam pada 2016. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan, hingga November tahun ini telah terjadi 1.985 bencana di Tanah Air.

Jumlah tersebut dua kali lipat dibandingkan tahun 2007, yang sebanyak 816 bencana. Setahun berikutnya, BNPB mencatat ada 1.073 bencana dan bertambah lagi menjadi 1.246 bencana pada 2009. Jumlah itu terus meningkat menjadi 1.633 bencana (2010), 1.633 (2011), 1.811 (2012), 1.674 (2013), 1.967 (2014), dan 1.677 (2015).

"Jumlah kejadian bencana (2016) ini adalah rekor tertinggi yang pernah terjadi sejak 10 tahun terakhir," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam keterangan pers, Minggu (13/11/2016).

Sutopo mengatakan, terdapat delapan jenis bencana yang paling sering terjadi di Indonesia, yakni banjir, puting beliung, longsor, kebakaran hutan dan lahan, kombinasi banjir dan longsor, gelombang pasang dan abrasi, gempa bumi, serta erupsi gunung berapi.

Berikut lima kejadian bencana alam terbesar yang dicatat oleh Kompas.com.

1. Longsor di Banjarnegara, Jawa Tengah

Longsor di Kabupaten Banjarnegara tidak hanya terjadi sekali, tetapi tiga kali berturut-turut. Longsor pertama melanda Desa Clapar, Kecamatan Madukara, pada Kamis (24/3/2016) pukul 19.00 WIB dan disusul pada Jumat (25/3/2016) pukul 01.30 WIB disusul longsor ketiga pada 06.00 WIB.

Longsor terjadi pada area seluas lima hektar tanah yang bergerak sejauh 1,2 kilometer. Longsoran merayap (soil creep) itu bergerak secara perlahan-lahan sehingga masyarakat dapat mengantisipasi dan melakukan evakuasi.

Terhitung sembilan rumah rusak berat, tiga rumah rusak sedang, dua rumah rusak ringan, dan 29 rumah terancam longsor susulan. Sebanyak 158 jiwa warga RT 3-5 di RW 01 mengungsi ke SD Negeri 2 Clapar, Madukara.

Longsor kedua terjadi di Desa Gumelem Kulon, Kecamatan Susukan, Sabtu (18/6/2016). Sebuah bukit setinggi sekitar 100 meter longsor dan menimpa lima rumah sehingga rata dengan tanah.

Akibat bencana tersebut, enam warga Dukuh Gumelem dan Wanarata tertimbun longsor. Tiga orang ditemukan tewas di Dukuh Gumelem pada Sabtu malam dalam rentang waktu pukul 21.15 WIB hingga 21.33 WIB. Adapun tiga korban lainnya di RW 11 Dukuh Wanarata, Desa Gumelem.

(Baca juga 158 Orang Mengungsi akibat Longsor di Banjarnegara)

Material longsor menutup akses jalan di Desa Wanoharjo, Kecamatan Rowokele, dan Desa Sampang, Kecamatan Sempor, Kebumen.

Adapun longsor ketiga terjadi di Dusun Tambak Sari, Desa Sidengok, Kecamatan Peawaran, Banjarnegara, Minggu (25/9/2016) pukul 07.00 WIB. Longsoran tanah tersebut menimpa rumah milik Sugianto (570.

Kejadian longsor di Dusun Tambak Sari dipicu hujan deras yang terjadi sejak Sabtu (24/9/2016) siang hingga malam hari. Akibat peristiwa tersebut, satu korban bernama Nurhaidin (21) dinyatakan tewas.

BPBD BANJARNEGARA Longsor di Desa Clapar, Kecamatan Madukara, Banjarnegara, sejak Kamis (24/3/2016) merusak bangunan.

2. Banjir di Bandung, Jawa Barat

Sepanjang 2016, kawasan Bandung Raya beberapa kali terendam banjir. Banjir merendam 15 kecamatan di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, setelah hujan deras mengguyur sejak Sabtu hingga Minggu (12-13/3/2106) dini hari.

Banjir itu merendam ribuan rumah warga dan menyebabkan dua orang tewas serta tiga orang hilang. Korban tewas di Desa Citeureup, Kecamatan Dayeuhkolot, dan Desa Sukasari, Kecamatan Pameungpeuk.

Berdasarkan data BNPB pada Selasa (15/3/2016) pukul 07.00 WIB, terdapat sebanyak 5.900 kepala keluarga atau 24.000 jiwa terdampak banjir. Sebanyak 2.840 kepala keluarga atau 10.344 jiwa mengungsi akibat banjir tersebut. Mereka tersebar di 28 titik pengungsian seperti di GOR Baleendah, POM Cikarees, Masjid Nurul Iman, Waskita, Warakawuri, Masjid Unilon.

Banjir juga memutus arus lalu lintas di beberapa lokasi dari arah Bandung menuju Kecamatan Bojongsoang, Baleendah, Ciparay, dan Majalaya, yang melintasi Sungai Citarum. Begitu juga jalur lalu lintas dari arah Bandung melintasi Dayeuhkolot, Pameungpeuk, Katapang, dan Banjaran tak bisa dilewati karena kecamatan-kecamatan itu terendam hingga setinggi 3 meter.

Banjir kembali melanda Kecamatan Dayeuhkolot, Baleendah, dan Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Rabu (21/9/2016). Hujan yang turun pada Selasa (20/9/2016) malam membuat debit air Sungai Citarum meluap. Ribuan rumah pun kembali terendam, sedangkan sejumlah jalan tidak bisa dilalui karena tergenang air.

Dari data BPBD, total ada 101 jiwa yang terpaksa tinggal di tiga lokasi pengungsian. Sebanyak 50 jiwa mengungsi di Inkanas Baleendah, 7 jiwa di Gor Baleendah dan 44 jiwa di Desa Dayeuhkolot.

Kompas/Rony Ariyanto Nugroho Warga berusaha menembus aliran deras banjir bandang luapan Sungai Citepus yang meluber hingga Jalan Astana Anyar, Bandung, Jawa Barat, akibat hujan disertai badai yang menghantam Kota Kembang ini, Minggu (13/11/2016). Sejumlah titik terdampak hujan disertai badai seperti banjir, pohon tumbang, serta lumpuhnya sarana transportasi kereta api selama beberapa jam.
Banjir besar juga terjadi di Kota Bandung. Banjir kali ini menjadi yang terparah dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Apalagi, banjir terjadi di lokasi bukan langganan banjir, seperti Gedebage.

Banjir besar pertama tahun ini terjadi di Jalan Dr Djunjunan (Pasteur) pada 24 Oktober 2016 sekitar pukul 12.00 WIB. Ketinggian air mencapai satu meter dan mengakibatkan lalu lintas di depan Bandung Trade Center (BTC) lumpuh total akibat air dengan volume besar tumpah ke jalan. Gerbang tol Pasteur ditutup selama sejam.

Di saat yang sama, banjir lebih parah terjadi di ruas Jalan Pagarsih, Kelurahan Cibadak, Kecamatan Astana Anyar. Amukan Sungai Citepus membuat pembatas sungai jebol.

Seorang warga bernama Ade Sudrajat (30), seorang karyawan swalayan Borma, tewas dalam musibah tersebut. Korban yang hendak menolong warga lain terpeleset dan terseret arus air deras dalam parit depan SMP Negeri 15 Bandung di Jalan Setiabudi.

Hingga akhir bulan Oktober, laporan masyarakat soal banjir terus bermunculan seiring tingginya intensitas hujan di Bandung.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat memperkirakan kerugian materiil akibat banjir itu mencapai Rp 16 miliar. Total rumah terendam dari tiga kelurahan terdampak banjir mencapai 813 unit. Selain itu, satu unit sekolah dengan enam ruang kelas dan satu ruang guru mengalami kerusakan.

Sungai Citepus di Pagarsih kembali meluap pada 9 November 2016 sore hari. Sama seperti banjir sebulan sebelumnya, banjir kali ini juga mengakibatkan mobil terseret arus deras.

Sejumlah pengamat perkotaan menduga banjir besar tersebut terjadi karena adanya perubahan tata guna lahan dan tata ruang di wilayah tangkapan air. Curah hujan tinggi dan tak siapnya drainase kian memperburuk keadaan.

"Urban flood semacam ini hampir selalu mengancam kota besar di Indonesia. Terlebih lagi secara geomorfologi Kota Bandung berupa cekungan yang dikelilingi oleh banyak pegunungan," ucap Ketua Ikatan Ahli Bencana (IABI) Sudibyakto, Selasa (25/10/2016).

Ketua Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Supardiono Sobirin mengatakan, Bandung seharusnya tidak banjir karena memiliki kontur miring yang bisa membuang air hujan ke 47 sungai yang melewati kota ini. Akar masalahnya ada pada saluran drainase yang buruk dan infrastruktur yang tidak selaras dengan alam.

Dewan Eksekutif Kemitraan Habitat, Nirwono Joga, menilai bahwa banjir Bandung memperlihatkan komitmen pemerintah untuk melindungi warga masih rendah.

Pemkot Bandung menyusun sejumlah strategi penangkal banjir. Solusi jangka pendek, Dinas Bina Marga dan Pengairan Kota Bandung membuat bak kontrol yang dilengkapi pipa berdiameter sekitar 40 sentimeter di titik banjir. Dibantu mesin pompa, pipa itu berfungsi untuk mempercepat buangan air di jalan. Teknologi itu dikenal dengan sebutan tol air.

Wali Kota Bandung Ridwan Kamil mengatakan bahwa solusi jangka pendek itu tidak menyelesaikan masalah sepenuhnya. Ridwan mengerahkan tim ahli untuk mencari tahu sebab dan solusi banjir Bandung.

Selain karena cuaca ekstrem, Ridwan mengungkapkan bahwa banjir terjadi karena banyak bangunan yang mempersempit badan sungai. Ridwan mengambil langkah membongkar paksa sejumlah bagian rumah, pertokoan, hingga jembatan yang dibangun serampangan.

"Ditemukan fakta menurut ahli ITB seperti di Pagarsih hanya dengan ada dua bangunan yang menghalangi air. Air itu bisa masuk ke jalan," kata Ridwan, Senin (14/11/2016).

Pemkot Bandung juga tengah memproses pembangunan kolam retensi di delapan titik, yakni di Babakan Jeruk, Jalan Bima, Sirnaraga, Pagarsih, Cigadung, Cikutra, Sarimas, dan Danau Gedebage sebagai proyek terbesar.

3. Banjir di Garut dan longsor di Sumedang, Jawa Barat

Hujan lebat pada Selasa (20/9/2016) malam menyebabkan dua musibah secara bersamaan di dua kabupaten di Jawa Barat.

Di Kabupaten Sumedang, dua rumah Kampung Cimareme, Kelurahan Pasanggrahan Baru, Kecamatan Sumedang Selatan, rusak tertimbun material longsor. Longsor juga mengakibatkan lima orang meninggal dunia dan dua korban luka.

Di Desa Baginda, Kecamatan Sumedang Selatan, tanah longsor menimbun rumah warga. Nana Hermawan (56) tewas dan 722 orang mengungsi akibat bencana tersebut. Mereka mengungsi di Gor Tadjimalela dan bekas kantor proyek Waduk Jatigede.

Longsor juga memutus jalur penghubung antarkota, seperti Bandung-Sukabumi serta Majalengka-Cirebon.

(Baca juga 4 Orang Tewas Tertimbun Longsor di Sumedang)

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO Warga Korban Banjir Bandang - Warga korban banjir bandang Sungai Cimanuk di Desa Haur Panggung, Kabupaten Garut, Jawa Barat, menyelamatkan barang-barang yang masih bisa diselamatkan di sekitar rumahnya yang hancur, Kamis (22/9/2016). Pada hari kedua pasca peristiwa musibah banjir bandang, warga dibantu TNi dan relawan masih mencari keluarganya yang hilang dan barang-barang yang masih bisa diselamatkan.
Di hari yang sama, banjir bandang di Garut, Jawa Barat. Musibah itu terjadi pada 20 September tengah malam setelah hujan deras terus mengguyur daerah itu sejak pagi sampai malam hari.

Air Sungai Cimanuk yang melewati tengah perkotaan meluap hingga ketinggian sekitar 12 meter. Ribuan rumah di sepanjang pinggiran sungai pun tersapu sampai ada bangunan yang tak tersisa.

Banjir bandang terlebih dulu melanda Desa Mulya Sari, Kecamatan Bayongbong, dan berlanjut ke Tarogong Kidul, Garut Kota, hingga Cibatu. Daerah yang paling parah terlanda banjir bandang adalah Desa Haurpanggung Kelurahan Sukakarya, Kecamatan Tarogong Kidul, serta Kelurahan Sukamentri dan Paminggit di Kecamatan Garut Kota.

"Saya masih terbayang-bayang sampai sekarang melihat kejadian mengerikan di Garut itu. Bagaimana tidak, ribuan rumah dan puluhan orang meninggal terbawa banjir dan belasan orang sampai sekarang tak ditemukan entah dimana," jelas Feri (30), salah seorang warga Garut kepada Kompas.com, Selasa (5/12/2016).

Sedikitnya 34 orang meninggal dunia dan 19 orang hilang hingga kini. Data pengungsi yang terdampak banjir bandang berjumlah 787 kepala keluarga atau 2.525 jiwa. Sebanyak 2.529 unit rumah rusak, dengan rincian 830 rusak berat, 473 rusak sedang, dan 1.226 rusak ringan. Total kerugian diperkirakan mencapai Rp 288 miliar.

Presiden Joko Widodo yang berkunjung ke tempat itu memerintahkan kepada pemerintah daerah setempat untuk mengkaji ulang keberadaan permukiman yang ditengarai berada di kawasan rawan bencana.

"Untuk sementara para korban banjir yang kehilangan rumahnya sampai sekarang masih berada di rumah susun milik pemerintah. Mereka ditampung di bangunan yang awalnya diperuntukan bagi warga yang belum memiliki tempat tinggal," kata Bupati Garut Rudy Gunawan.

Dari penelusuran sementara tim investigasi khusus, diketahui bahwa banjir bandang terjadi akibat pengalihan fungsi lahan kawasan hutan.

Sebagian besar lahan hutan di sekitar hulu sungai berubah menjadi kawasan perkebunan sayuran dan pembangunan kawasan wisata alam yang menyebabkan rawan longsor. Namun, sampai sekarang belum ada kejadian pasti terkait banjir bandang tersebut.

Berbagai upaya dan rencana program sebagai solusi mencegah kejadian terus digulirkan berbagai pihak mulai dari pemerintah, aktivis lingkungan, lembaga masyarakat, sampai para tokoh masyarakat yang peduli terhadap penanggulangan pasca bencana banjir di Garut.

Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, misalnya, meminta para penghayat adat supaya tinggal di sepanjang bantaran sungai untuk melakukan pemeliharaan alam dan mendatangkan ahli geologi Prof Surono.

Sementara itu, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil bekerja sama dengan pengembang membangun perumahan bagi korban bencana.

Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan memberikan alokasi dana khusus perbaikan pascabencana. Menteri Sosial Khofifah Indar Parawangsa juga memberikan bantuan dan jaminan kematian bagi keluarga korban meninggal.

4. Banjir bandang di Gorontalo

Hujan deras yang mengguyur sepanjang hari memicu terjadinya banjir di Kabupaten Gorontalo, Selasa (25/10/2016). Banjir bandang melanda lima kabupaten/kota di Provinsi Gorontalo, yakni Kota Gorontalo serta Kabupaten Gorontalo, Gorontalo Utara, Boalemo, dan Bone Bolango.

Di Kecamatan Sumalata, Gorontalo Utara, air bah melanda Desa Hutokalo dengan korban 20 KK atau 86 jiwa, Desa Kasia 22 KK atau 93 jiwa, Desa Mebongo 10 KK atau 42 jiwa.

Bencana serupa juga dialami di Desa Motihelumo dan Bulontio Timur di Kecamatan Suwawa Timur yang mengakibatkan hewan ternak dan tanaman jagung terendam.

Di Boalemo, banjir bandang menggenangi 300 rumah di Desa Harapan, 75 rumah di Desa Dulohupa, dan 90 rumah di Desa Sukamaju. Sawah yang rusak akibat banjir mencapai 630 hektar dan lima ekor sapi terbawa arus.

Adapun di Kecamatan Paguyaman, banjir menggenangi lima rumah di Desa Rejonegoro, di Desa Mustika 53 rumah, Wonggahu 10 rumah, dan Wonosari dengan korban 100 KK.

Banjir di Kabupaten Gorontalo meliputi Kecamatan Limboto, Limboto Barat, Tolangohula, Tibawa, Asparaga, Bilato, Dungaliyo, Tilango, dan Boliyohuto. Jumlah korban banjir di wilayah itu tercatat 9.686 jiwa atau 2.904 KK.

Di Kota Gorontalo, luapan air Sungai Bulango merendam sejumlah rumah warga di Kelurahan Siendeng dan Biawu.

Di Kabupaten Bone Bolango, banjir terjadi di bantaran sungai di Kecamatan Bulango Utara, yang meliputi Desa Tupa, Kopi, dan Lomaya.

Dari lima kabupaten/kota di Provinsi Gorontalo, sebanyak 5.903 KK atau 18.022 jiwa menjadi korban banjir bandang. Tujuh anak terseret arus saat banjir bandang susulan terjadi di Kabupaten Gorontalo, Minggu (30/10/2016). Tiga di antaranya meninggal dunia.

Kontributor Gorontalo, Rosyid Azhar Kondisi rumah warga di Kabuoaten Gorontalo yang terendam banjir hingga mencapai atap. Sebanyak 2904 kepala keluarga atau 9686 jiwa warga menjadi korban

KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG Warga melintas di depan bangunan pondok pesantren di bawah Lembaga Pendidikan Islam Ma'hadal Ulum Diniyah Islamiyah roboh akibat gempa di Samalanga, Kabupaten Bireun, Aceh, Sabtu (10/12/2016). Presiden joko Widodo berjanji untuk secepatnya dilakukan pembangunan kembali dan akan ditangani oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

5. Gempa Aceh

Di akhir tahun, Indonesia mengalami musibah besar akibat gempa di Kabupaten Pidie Jaya, Provinsi Aceh. Gempa berkekuatan magnitudo 6,5 terjadi pada 7 Desember 2016 pagi. Pusat gempa bumi terletak pada 5,25 derajat Lintang dan 96,24 derajat Bujur Timur, tepatnya di darat pada jarak 106 km arah tenggara Kota Banda Aceh pada kedalaman 15 km.

Setelah gempa itu, BMKG mencatat telah terjadi gempa susulan sebanyak 88 kali, yang terakhir pada Senin (12/12/2016) pukul 01.27 WIB dengan kekuatan magnitudo 3,5.

Gempa di Pidie Jaya telah menimbulkan kerusakan di tiga kabupaten, yaitu Pidie Jaya, Pidie, dan Bireuen. Sebanyak 102 orang tewas akibat kejadian tersebut, yakni 96 jiwa di Pidie Jaya, 4 jiwa di Pidie, dan 2 jiwa di Bireuen.

Adapun korban luka-luka akibat gempa sebanyak 857 orang dan jumlah pengungsi akibat gempa tersebut mencapai 83.838 orang. Di Kabupaten Pidie Jaya, pengungsi tersebar di Kecamatan Meurudue, Meurah Dua, Trieng Gadeng, Bandar Baru, Pante Raja, Banda Dua, dan Jangka Buya. Di Kabupaten Pidie, pengungsi ditempatkan d Kecamatan Kembang Tanjong dan Bandar Baru.

Adapun di Kabupaten Bireuen, titik pengungsian berada di Matang Menasah Blang, Masjid Matang Jareung, Masjid Al Ghamamah, dan Masjid Kandang.

Gempa mengakibatkan 11.267 rumah di Pidie Jaya mengalami kerusakan, terdiri dari 2.874 rumah rusak berat dan 8.393 rumah rusak ketagori ringan. Di Kabupaten Bireun, tercatat ada 56 unit rusak berat, 74 rusak sedang, dan 141 rusak ringan. Di Pidie, sebanyak 143 rumah megalami kerusakan.

Pemerintah pusat menyebutkan rumah yang rusak total akan diberikan bantuan dana sebesar Rp 40 juta. Sementara, bantuan kemanusiaan dari berbagai pihak terus diterima Posko Utama Tanggap Darurat Bencana Gempa Aceh.

Bantuan logistik mulai dari makanan, air kemasan, tikar, selimut, pakaian, kelambu, dan sebagainya diberikan oleh kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dunia usaha, kelompok masyarakat maupun individu. Selain menerima bantuan berupa barang, posko utama juga menerima bantuan berupa uang.

Gempa bumi besar juga sempat melanda Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, pada 2 Maret 2016 malam. Gempa berkekuatan M7,8 tersebut terjadi di 682 km arah barat daya Kepulauan Mentawai. Tidak ada tsunami akibat kejadian itu. Juga tidak ada korban jiwa dan kerusakan bangunan akibat gempa tersebut.

Page:

Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:

Penulis: Kontributor Tasikmalaya, Irwan Nugraha
Editor : Laksono Hari Wiwoho