Merdeka Dua Kali - Kompas.com
Sabtu, 6 Juli 2024

Kaleidoskop 2016

Kaleidoskop 2016

Simak rangkuman peristiwa, informasi, dan ulasan topik hangat yang terjadi selama tahun 2016..

Merdeka Dua Kali

Sabtu, 13 Agustus 2016 | 22:59 WIB

Oleh: Yonky Karman

Dalam obrolan bulan lalu dengan beberapa teman dari lingkungan ASEAN, teman dari Singapura dengan ringan berkata, "Kami merdeka dua kali, baru bisa begini." Saya pun bertanya, "Bagaimana bisa?"

Pada 1963, negeri itu mendeklarasikan kemerdekaannya secara sepihak setelah dijajah Inggris lebih dari 140 tahun.

Sebulan kemudian, kota pulau itu bergabung dengan Federasi Malaysia yang juga memerdekakan diri dari Inggris.

Dua tahun kemudian, Singapura dikeluarkan dari Federasi Malaysia. Dalam kondisi sebagai negeri kecil yang tertinggal, terbentuklah Republik Singapura pada 9 Agustus 1965. Warisan kolonial dalam bentuk infrastruktur dan pranata sosial dipelihara baik.

Selama kepemimpinan otoriter Lee Kuan Yew (1965-1990), Singapura berubah dari negeri dunia ketiga jadi dunia pertama.

Dari negeri yang sama sekali tanpa sumber daya alam menjadi negeri perdagangan dan ramah investasi.

Komoditas dagang apa pun bisa dibeli di sini. Bahkan, Indonesia yang kaya gas alam cair (LNG) juga pernah membelinya dari sana.

Profesional bernegara

Profesional dalam perdagangan dan tata kelola pemerintahan, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Singapura dengan skor 85 (peringkat ke-8 dari 167 negara).

Pendapatan rata-rata Singapura pada 2015 sebesar 52.888 dollar AS per kapita per tahun (peringkat ke-6).

Banyak orang kita menyimpan uang dan berinvestasi di sana meski biaya investasinya tinggi. Namun, kepastian hukum memang tidak murah.

Penguasa memerintah dalam arti menguasai dan memberdayakan rakyat. Tak hanya infrastruktur, manusianya juga dibangun.

Singapura memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan skor 0,912 (peringkat ke-11). Manusianya terdidik, berorientasi bisnis, pekerja keras, disiplin, dan taat hukum.

Meski Singapura tidak demokratis, rakyatnya merasa diperlakukan adil dan dimanusiakan. Tindakan represif negara dialami siapa pun begitu terjadi pelanggaran hukum.

Hukuman badan untuk warga AS tetap berlaku kendati ada kritik dari negeri adidaya itu. Kecil tetapi berdaulat penuh,

Indonesia sering dibuat heboh karena pejabatnya tidak cakap mengurus negara. Daripada membenahi birokrasi agar efektif, menteri baru mewacanakan kebijakan baru yang tidak substansial dan hanya mengundang kehebohan yang tidak perlu.

Kejahatan uang palsu yang tergolong subversif, bahkan dengan keterlibatan aparat negara, tak dianggap serius sehingga terus berulang. Demikian juga pemalsuan dokumen kenegaraan (ijazah, STNK).

Kejahatan yang bersifat pribadi meski serius disikapi reaktif dan tak proporsional. Sebelum tuntas di mana akar masalahnya, pejabat yang bukan penegak hukum mengeluarkan berbagai pernyataan dan tuduhan yang justru tambah meresahkan. Padahal, akar masalahnya adalah pengawasan dan kontrol negara yang lemah.

Kekuatan dan efektivitas pembangunan Singapura juga tak lepas dari keberhasilan mengelola kebinekaan.

Tiada tempat kontestasi primordialisme di ruang publik. Tiada toleransi bagi ujaran kebencian.

Politik pecah belah warisan kolonial (divide et impera), yang melemahkan kesatuan bangsa, sejak awal diantisipasi. Tiada politik diskriminatif. Birokrasi tidak dikuasai kelompok tertentu. Bahasa ruang publik adalah kepatuhan kepada hukum dan kontestasi kebaikan sosial.

Page:

Editor : Sandro Gatra
Sumber: Harian Kompas