Ketua DKPP: Kalau Tanpa Cuti Kampanye, Gerak Petahana di Daerah Sulit Diawasi - Kompas.com
Rabu, 3 Juli 2024

Kaleidoskop 2016

Kaleidoskop 2016

Simak rangkuman peristiwa, informasi, dan ulasan topik hangat yang terjadi selama tahun 2016..

Ketua DKPP: Kalau Tanpa Cuti Kampanye, Gerak Petahana di Daerah Sulit Diawasi

Jumat, 5 Agustus 2016 | 14:13 WIB
KOMPAS.com/Nabilla Tashandra Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Jimly Ashidiqqie di Grdung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa (8/12/2015)

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie menyatakan aturan yang mengharuskan petahana cuti sepanjang masa kampanye sejatinya bertujuan baik, yakni mencegah terjadinya konflik kepentingan.

Hal itu disampaikan Jimly menanggapi polemik Gubenur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang mengajukan judicial Review terhadap pasal 70 ayat 3 Undang-undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

"Saya tak hendak ikut campur soal Gubernur DKI yang mengajukan judicial Review, saya mengomentari aturan itu secara universal bahwa pasal itu memang dibuat untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan," ucap Jimly saat dihubungi Kompas.com, Jumat (5/8/2016).

Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu, di Indonesia ada kecenderungan petahana memanfaatkan sumber daya birokrasi dan fasilitas negara saat berkampanye sehingga wajar bila pasal tersebut muncul.

(Baca: Mendagri Ingatkan Ahok untuk Tetap Ambil Cuti Kampanye)

Jimly menambahkan cuti kampanye ini penting bagi kepala daerah yang tak terpantau radar pengawasan media massa. Dengan adanya aturan cuti dimasa kampanye, maka petahana tak bisa memanfaatkan birokrasi dan fasilitas negara untuk membantu dia berkampanye.

"Kalau di DKI masih bisa dipantau sama media tetapi untuk daerah yang tak terjamah media kan sulit kita mengontrol kalau tidak ada aturan cuti petahana," papar Jimly.

Meski demikian Jimly juga tak menyalahkan bila nanti aturan cuti itu berubah. Menurutnya jika konteksnya memungkinkan, tidak ada masalah. Dia mencontohkan di Jerman seorang petahana tak perlu mundur atau cuti dari jabatannya semasa dia berkampanye.

"Jangankan petahana, di Jerman itu tentara atau PNS yang hendak mencalonkan diri di pemilu dan pilkada tidak perlu mundur dan hanya perlu mengajukan cuti setelah terpilih, dan setelah mengabdi lima tahun di jabatan politik itu dia bisa kembali menjadi tentara dan PNS," papar Jimly.

(Baca: Jika Cuti Kampanye, Ahok Takut Bawahannya Tak Bisa Lawan Oknum DPRD Saat Pembahasan APBD)

Menurut Jimly, Jerman bisa seperti itu karena pejabat publiknya memiliki kesadaran yang tinggi untuk memisahkan kepentingan pribadi dan institusi.

"Kalau di Indonesia rasanya belum bisa seperti itu makanya ada pasal cuti bagi petahana semasa kampanye, kita lihat saja nanti hasilnya seperti apa dan harus kita hormati putusan MK nanti bila memang gugatan soal cuti di masa kampanye disidangkan," tutur Jimly.

Sebelumnya, Ahok mengajukan peninjauan kembali ke MK terkait cuti kampanye pejabat yang menjabat atau petahana. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, calon gubernur dan wakil gubernur yang menjabat harus mengambil cuti selama masa kampanye.

(Baca: Ahok Sudah Ajukan "Judicial Review" ke MK agar Tak Perlu Cuti Kampanye)

Untuk pilkada serentak 2017, masa cutinya dimulai 26 Oktober 2016 hingga 11 Februari 2017, atau sekitar empat bulan.

Ahok mengatakan, sebenarnya dirinya setuju jika calon petahana harus cuti selama masa kampanye. Namun, dia ingin ada pilihan bagi calon petahana yang tidak ingin berkampanye.

Ahok mengatakan dirinya tidak ingin melakukan kampanye sehingga dia tidak perlu cuti. Dia lebih memilih beraktivitas seperti biasa dan menjaga APBD DKI.

"Ngajuin cuti itu kan pilihan. Dilindungi UU bahwa saya bertugas sampai 5 tahun. Saya menyatakan tidak mau kampanye, saya mau bahas APBD," kata Ahok di Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Rabu (3/8/2016).

Kompas TV Ahok: Makin Banyak, Makin Baik



Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:

Penulis: Rakhmat Nur Hakim
Editor : Sabrina Asril