Indonesia Dinilai Belum Lepas dari Isu Sektarian sejak Merdeka - Kompas.com
Sabtu, 6 Juli 2024

Kaleidoskop 2016

Kaleidoskop 2016

Simak rangkuman peristiwa, informasi, dan ulasan topik hangat yang terjadi selama tahun 2016..

Indonesia Dinilai Belum Lepas dari Isu Sektarian sejak Merdeka

Selasa, 2 Agustus 2016 | 20:25 WIB
(Wicak Hidayat/KompasTekno) ilustrasi

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC), R. Alpha Amirrachman menilai Indonesia tidak bisa melepaskan isu sektarian sejak merdeka.

Di era reformasi, pengelompokan masyarakat justru kian menguat. "Identitas lokal menguat begitu masif," kata Alpha saat dihubungi Kompas.com, Selasa (2/8/2016).

Menurut Alpha, menguatnya identitas lokal mengindikasikan perbincangan tentang kebangsaan belum selesai.

Sehingga terkesan masyarakat masih mencari jati diri melalui penguatan identitas lokal.

"Untungnya kita masih punya bahasa Indonesia untuk menyelamatkan bangsa sampai saat ini. Satu hal itu menyebabkan kita masih ketinggalan dengan China dan India. Sedangkan di Indonesia, pikiran dan energi habis mengurusi isu sektarian," ucap Alpha.

Alpha bercerita, suatu ketika ia bertanya kepada salah seorang siswa di sekolah formal mengenai asal usul si murid. Ia mendapatkan jawaban tentang daerah asal dan agama.

"Jawabnya asal usul suku, agama. Di sekolah lain saat saya tanya, mereka jawab sebagai orang Indonesia. Di sekolah itu kepemimpinannya tanpa pandang suku dan agama sehingga identitas kebangsaan menguat," ujar Alpha.

Menurut Alpha, kepemimpinan nasional perlu mengedepankan kepentingan bangsa agar tidak mudah terpecah belah. Dengan begitu, konflik yang tercipta dari aksi radikalisme akan bisa dihindarkan.

Sebelumnya, Survei Wahid Foundation menemukan sejumlah data yang dinilai cukup mengkhawatirkan.

Dari total 1.520 responden, sebanyak 59,9 persen memiliki kelompok yang dibenci. Kelompok yang dibenci meliputi mereka yang berlatarbelakang agama nonmuslim, kelompok tionghoa, komunis, dan lainnya.

Dari jumlah 59,9 persen itu, sebanyak 92,2 persen tak setuju bila anggota kelompok yang mereka benci menjadi pejabat pemerintah di Indonesia. Sebanyak 82,4 persennya bahkan tak rela anggota kelompok yang dibenci itu menjadi tetangga mereka.

Dari sisi radikalisme sebanyak 72 persen umat Islam Indonesia menolak untuk berbuat radikal seperti melakukan penyerangan terhadap rumah ibadah pemeluk agama lain atau melakukan sweeping tempat yang dianggap bertentangan dengan syariat Islam.

Dan hanya sebanyak 7,7 persen yang bersedia melakukan tindakan radikal bila ada kesempatan dan sebanyak 0,4 persen justru pernah melakukan tindakan radikal.

 

Penulis: Lutfy Mairizal Putra
Editor : Krisiandi