Kejanggalan Pernyataan Polisi Terkait Kasus Bom Bunuh Diri Mapolresta Solo Versi Komnas HAM - Kompas.com
Minggu, 5 Mei 2024

Kaleidoskop 2016

Kaleidoskop 2016

Simak rangkuman peristiwa, informasi, dan ulasan topik hangat yang terjadi selama tahun 2016..

Kejanggalan Pernyataan Polisi Terkait Kasus Bom Bunuh Diri Mapolresta Solo Versi Komnas HAM

Jumat, 15 Juli 2016 | 17:30 WIB
TRIBUNNEWS/HERUDIN Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Hafid Abbas memberikan keterangan pers terkait hasil pemantauan persiapan Pilpres 2014 di Jakarta Pusat, Rabu (2/7/2014). Dari 13 provinsi yang dipantau, Komnas HAM menemukan pelanggaran HAM di seluruh wilayah tersebut, seperti kurangnya pendataan kelompok rentan (warga binaan hukum, kalangan difabel, pasien, tenaga kesehatan, dan penduduk daerah sengketa), kurangnya sosialisasi, netralitas penyelenggara pilpres yang bermasalah, mobilisasi PNS, intimidasi buruh, dan pengurangan jumlah TPS.

JAKARTA. KOMPAS.com - Tim Evaluasi Pemberantasan Terorisme Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai penanganan terorisme harus dilakukan secara hati-hati dan teliti.

Begitu pula dalam menyampaikan informasi. Aparat berwenang harus memberikan informasi yang tidak menimbulkan kebingungan dan meresahkan publik.

Anggota tim evaluasi sekaligus Komisioner Komnas HAM, Hafid Abbas mengatakan pernyataan yang bisa membuat publik bingung terjadi saat penanganan insiden bom bunuh diri di halaman Markas Polres Surakarta, Selasa (5/7/2016). 

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) saat itu, Komisaris Jenderal Tito Karnavian (kini Kapolri dengan pangkat Jenderal) mengatakan teror bom bunuh diri di Mapolresta Solo tidak ada keterkaitan dengan serangan bom di Thamrin, Jakarta yang terjadi Januari 2016 lalu.

"Akan tetapi sehari sebelumnya di berbagai media lain muncul ulasan mengenai keterkaitannya dengan bom Thamrin karena Tito mengatakan bahwa bom bunuh diri di Mapolresta Solo memiliki kaitan dengan peristiwa penyerangan dan bom di Thamrin. Dua aksi itu dilakukan oleh dua jaringan yang terkait," ujar Hafid di Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jakarta Pusat, Jumat (15/7/2016).

Menurut Hafid, penanganan kasus terorisme jangan dilakukan terburu-buru yang bisa berdampak pada penyampaian informasi yang membingungkan.

Hafid mengatakan, tim evaluasi mengikuti perkembangan dan menganalisis kasus ini. Tim kemudian menyimpulkan sosok Nur Rohman sudah diidentifikasi sebagai buronan sejak Tahun 2000. Kemudian diidentifikasi terkait juga dengan jaringan ISIS.

Artinya, kata Hafid, pelaku sudah bergabung dengan jaringan ISIS saat berusia 14 tahun atau dengan kata lain pelaku menjadi teroris saat duduk di bangku kelas 6 SD atau kelas 1 SMP.

Pasalnya, Nur Rohman diketahui lahir pada 1 November 1985. Sementara umumnya anak-anak masuk sekolah pada usia 7 tahun. Maka semestinya, pelaku dengan mudah dapat ditangkap dengan cara mendatangi sekolahnya. Selain itu, jaringan ISIS baru dinyatakan lahir pada 2013.

Hafid mengatakan secara sosiologis diketahui bahwa Nur Rohman merupakan penjual bakso keliling. Tingkat pendidikan dan pergaulannya pun amat terbatas. Namun tiba-tiba disebut bahwa pelaku menjadi bagian dari ISIS di Tanah Air.

"Kondisi ini perlu didalami lebih lanjut apakah orang-orang seperti ini menjadi terget prioritas ISIS dalam meluaskan jaringan di Indonesia," kata dia.

Maka dari itu, pihak berwenang perlu mengklarifikasi inkonsistensi informasi yang disampaikan ke masyarakat. Baik soal status pelaku sebagai anggota jaringan sejak kelas 6 SD atau kelas 1 SMP, serta penjelasan benar atau tidak ada keterkaitan pelaku dengan bom di Thamrin, Jakarta.

Menurut Hafid, konsistensi dan akurasi informasi amat diperlukan masyarakat agar penanganan kasus terorisme tetap menghormati due process law dan terbebas dari kesan penanganan yang menghalalkan segala cara.

"Dan terbebas dari kesan pencarian pemanfaatan momentum untuk mempercepat revisi undang-undang terorisme," kata dia.

Kompas TV Terjadi Ledakan di Area Mapolresta Surakarta



Penulis: Fachri Fachrudin
Editor : Krisiandi