Inggris Berisiko Alami Resesi Setahun Jika Memilih "Brexit" - Kompas.com
Rabu, 3 Juli 2024

Kaleidoskop 2016

Kaleidoskop 2016

Simak rangkuman peristiwa, informasi, dan ulasan topik hangat yang terjadi selama tahun 2016..

Inggris Berisiko Alami Resesi Setahun Jika Memilih "Brexit"

Senin, 23 Mei 2016 | 08:01 WIB
Hilda B Alexander/Kompas.com Salah satu sudut kota London, Inggris. Transportasi publik di kota ini saling terintegrasi dengan baik.

LONDON, KOMPAS.com - Inggris bisa tenggelam dalam resesi setahun jika memilih hengkang dari keanggotaan Uni Eropa, menurut menteri keuangan George Osborne, dalam upayanya menjaga Inggris tetap masuk dalam koridor Uni Eropa.

"Masyarakat Inggris harus bertanya pada diri sendiri, bisakah kita memilih untuk resesi?" kata Osborne. "Benarkah masyarakat Inggris benar-benar memilih resesi?"

Dengan waktu kurang sebulan sebelum masyarakat Inggris melakukan polling paling strategis bagi keputusan negara ini dalam satu dekade, aneka opini terus berkembang di masyarakat.

Polling apakah Inggris akan tetap di Uni Eropa atau keluar dari Uni Eropa (Brexit) akan dihelat pada 23 Juni 2016 mendatang.

Opini terbaru, sebagian besar masyarakat Inggris masih memilih opsi "In" ketimbang "Out", yang artinya masih banyak yang memilih masuk ke keanggotaan Uni Eropa. Tapi sebagian lembaga polling mengatakan hal tersebut terlalu dini untuk diungkapkan.

Osborne yang memimpin kampanye "In" menekankan risiko Brexit bagi perekonomian negara ini. Dia meramalkan adanya penurunan standar hidup serta jatuhnya harga rumah dan naiknya tagihan belanja.

Analisis baru dari menteri keuangan ini memaparkan dua era paska Brexit skenario.

Pertama, skenario guncangan yang lebih halus (milder shock). Hal ini terjadi jika Inggris mencapai kesepakatan perdagangan dengan Uni Eropa.

hasilnya, ekonomi akan 3,6 persen lebih rendah setelah dua tahun, jika dibandingkan Inggris tetap di Uni Eropa.

Inflasi juga akan naik dan harga rumah akan 10 persen lebih rendah, ketimbang Inggris masih masuk sebagai anggota Uni Eropa.

Kedua, guncangan yang lebih keras (severe shock) jika Inggris meninggalkan Uni Eropa sebagai pasar tunggal, seperti yang disarankan para pendukung opsi "Out". Hal ini akan terjadi, juga jika Inggris meninggalkan WTO, yang akan meningkatkan hambatan perdagangan.

Dibawah skenario tersebut, ekonomi Inggris akan turun 6 persen dalam dua tahun dibanding Inggris tetap di Uni Eropa. Inflasi akan naik tajam dan harga rumah akan jatuh 18 persen, tulis laporan Osborne.

Sementara itu, para pegiat aksi "out" memandang analisis Osrborne hanya sebagai motivasi politiknya saja.

"Dokumen yang dipaparkan Osborne bukanlah penilaian yang jujur datpi banyak bias untuk masa depan dan bukan hal yang harus dipercayai oleh semua orang," kata Duncan Smith, mantan menteri senior dalam pemerintahan konservatif perdana menteri David Cameron.

Sayangnya, pendapat para pendukung aksi "out" ini memiliki batasan pada perekonomian. Lembaga IMF dan OECD bahkan sudah memperingatkan bahaya Brexit.

Akibatnya, aksi "out" kini hanya tinggal memiliki pesan bahwa dengan opsi "out" akan memperlambat migrasi.

Paparan estimasi dari menteri keuangan osborne ini, lebih mengerikan dibandingkan paparan perekonomian paska Brexit oleh Gubernur Bank of England Mark Carney.

Pada awal bulan ini, Carney mengatakan perekonomian Inggris akan masuk ke resesi teknikal, atau sekitar dua kuartal, jika keluar dari Uni Eropa.

Kompas TV Ini Dia Beberapa Fakta Ekonomi Dunia



Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:

Penulis: Aprillia Ika
Editor : Aprillia Ika
Sumber: Reuters