Seberapa Sehatkah “Tahu Bulat Digoreng Dadakan”? - Kompas.com
Minggu, 19 Mei 2024

Kaleidoskop 2016

Kaleidoskop 2016

Simak rangkuman peristiwa, informasi, dan ulasan topik hangat yang terjadi selama tahun 2016..

Seberapa Sehatkah “Tahu Bulat Digoreng Dadakan”?

Jumat, 20 Mei 2016 | 21:57 WIB
TribunnewsBogor.com/Soewidia Henaldi Penjual tahu bulat.

JAKARTA, KOMPAS.com - Jajanan tahu bulat saat ini sedang populer dan digemari banyak orang. Dengan cara jualan yang unik, memasarkannya dengan mobil bak terbuka sambil memasang jingle "Tahu bulat, digoreng dadakan limaratusan, anget-anget, gurih-gurih nyoooiii" memang menarik perhatian.

 

Agar tetap hangat dan enak dinikmati, tahu bulat baru digoreng saat ada yang membeli. Digoreng dengan minyak yang banyak dan panas hingga tahu matang dan garing. Rasanya yang gurih akan membuat kita menikmatinya lagi, lagi, dan lagi.

 

Sayangnya, jajanan ini tak bisa dikatakan sehat. Sama seperti jajanan gorengan lainnya. Pasalnya, tahu digoreng dengan minyak panas dalam jumlah banyak. Minyak yang dipanaskan akan berubah menjadi lemak trans, yang membuat komposisi kimia dalam minyak berubah. Inilah yang kemudian memicu penumpukan lemak di pembuluh darah dan bahkan dapat memicu kanker.

 

“Minyak sayur yang dipanaskan dan dipakai berulang kali akan berubah dari minyak tidak jenuh ganda menjadi minyak trans. Dalam sehari, minyak trans ini hanya boleh dikonsumsi kurang dari 1% dari total kalori per hari. Jika lebih dari itu, bisa menjadi sumber penyakit nantinya,” jelas dokter spesialis gizi klinik FKUI Dr. dr. Fiastuti Witjaksono, MSc. MS. Sp.GK saat dihubungi Kompas.com (20/5).

 

Sebenarnya, tahu adalah makanan sehat. Karena, tahu dibuat dari kedelai yang merupakan sumber protein nabati yang penting untuk dikonsumsi tubuh. Namun, cara pengolahan yang tidak tepat justru membuat tahu kehilangan label sehat.

 

“Tahu yang dimasak dengan ditumis dengan sedikit minyak, tentu lebih sehat jika dibandingkan dengan tahu yang digoreng dengan minyak yang sudah berulang kali dipakai,” jelas dr. Fiastuti.

Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:

Editor : Bestari Kumala Dewi